Kamis, 25 Juli 2013

Keselamatan dan Pertanggungjawaban Manusia.

(Bagian keenam dari studi sistematis tentang keselamatan)

oleh Pendeta Eric Chang

Di pesan yang lalu kita membahas tentang kasih karunia Allah - tentang makna kasih karunia. Kita melihat bahwa kasih karunia adalah Allah memberikan diri sepenuhnya kepada kita melalui Kristus. Seperti yang Paulus sampaikan di dalam Roma 8:32, Allah "yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua." Allah menyerahkan anakNya kepada kita semua. Suatu pemahaman tentang kasih karunia yang sangat indah! Di pesan yang lalu (Keselamatan dan Kasih Karunia), kita juga melihat bahwa iman adalah tanggapan kita kepada kasih karunia dari Allah itu.
Jadi, pada dasarnya, iman adalah tanggapan kepada Allah, namun kita juga telah melihat bahwa iman secara sendirian tidak akan menyumbangkan apa-apa bagi karya keselamatan, karena apa yang kita perbuat adalah seperti menyerahkan diri kita ke dalam penanganan dokter. Penyerahan diri seseorang ke dalam penanganan dokter tidak menyumbangkan apa-apa bagi tindakan operasi, atau tindakan apapun yang dilakukan dalam penyembuhannya. Hal ini bukan berarti bahwa iman itu tidak penting. Tentu saja, iman itu sangatlah penting, karena kita telah melihat bahwa jika si pasien tidak menempatkan dirinya ke dalam penaganan dokter, maka sekalipun dokter yang terbaik di dunia ini juga tidak akan bisa menyembuhkannya. Jadi, iman adalah penyerahan diri sepenuhnya dalam pengertian menempatkan diri Anda sepenuhnya ke dalam tangan Allah, supaya Dia bisa menyembuhkan Anda. Namun hari ini, kita perlu memeriksa lebih lanjut, apakah makna iman yang sejati?

Kasih karunia dan tanggung jawab
Kasih karunia adalah unsur yang selalu ada di dalam hidup kita. Tak ada saat di dalam kehidupan Kristen di mana kita tidak membutuhkan kasih karunia lagi karena bahkan pekerjaan yang sedang kita jalankan adalah pekerjaan kasih karunia. Artinya, bahkan pelayanan yang sedang saya jalankan, buah yang saya hasilkan di dalam kehidupan Kristen saya, adalah buah dari kasih karunia. Ini berarti bahwa setiap bagian kehidupan Kristen bergantung pada kasih karunia. Namun jika kita berkata bahwa segala sesuatunya bergantung pada kasih karunia, lalu hal apa yang tersisa untuk dikerjakan oleh manusia? Jika kita menekankan kasih karunia sampai pada poin bahwa segala sesuatunya bergantung kepada Allah, lalu hal apa yang bergantung kepada kita? Maksud saya, jika segalanya bergantung pada kasih karunia, adakah tanggung jawab yang tersisa bagi manusia?
Di zaman sekarang ini, di dalam khotbah dan pengajaran di tengah gereja, ada bahaya penekanan yang berlebihan pada kasih karunia sehingga manusia tidak masuk hitungan lagi. Allah yang mengerjakan segala sesuatunya, sampai pada titik di mana manusia tidak perlu berbuat apa-apa lagi; keselamatan itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Allah dan bukan tanggung jawab kita. Apakah ini benar?
Apakah segala sesuatunya bergantung sepenuhnya kepada kasih karunia saja sehingga upaya, perbuatan dan tanggung jawab manusia, dalam hal apapun, tidak masuk hitungan. Jika demikian halnya, entah saya meresponi atau tidak, hal itu tidak menjadi masalah. Karena segala sesuatu bergantung pada kasih karunia, berarti saya pasif sepenuhnya, saya tidak perlu melakukan apapun. Di sini, Anda bisa melihat bagaimana ajaran yang benar bisa diterapkan secara salah dan berujung pada suatu kekeliruan yang besar.
Suatu kali ketika saya sedang berkunjung ke Swiss saya tidak tahu akan ke gereja mana pada hari Minggu. Sambil berjalan kaki saya melihat-lihat siapa tahu bertemu dengan sebuah gereja. Melihat ada sebuah gereja, saya langsung masuk ke sana. Khotbah yang disampaikan adalah tentang kedaulatan Allah, bahwa segala sesuatunya berdasarkan kasih karunia dan kuasaNya. Sejauh ini, segalanya baik-baik saja. Pernyataan itu memang benar. Namun kemudian, pengkhotbah melanjutkan dengan berkata, "Karena segala sesuatunya bergantung kepada kasih karunia Allah, berarti tidak ada hal yang bergantung pada diri Anda! Tak ada hal yang bergantung pada manusia. Dan ini berarti bahwa Allah akan menyelmatkan siapa yang ingin Dia selamatkan, dan membinasakan siapa yang ingin Dia binasakan."
Pernahkah Anda mendengar ajaran ini? Ini adalah pengajaran ekstrim dari kaum Kalvinis, di mana manusia menjadi tidak ada artinya - manusia menjadi pasif, tidak mengerjakan apa-apa sama sekali. Inilah persoalannya. Jika Allahlah yang bekerja di dalam diri Anda untuk menyelamatkan Anda dan segala sesuatunya bergantung pada kasih karunia, maka apakah Anda sama sekali tidak berperan? Apakah Anda memiliki tanggung jawab dalam perkara keselamatan ini?
Namun jika Anda  menjawab, "Ya, kita punya tanggung jawab tertentu," lalu, bagaimana kita bisa berkata bahwa semua itu karena kasih karunia? Jika ada bagian yang menjadi tanggung jawab Anda, maka itu berarti bahwa, bagaimanapun juga, tak semuanya berdasarkan kasih karunia, melainkan ada sebagian yang merupakan hasil kerja Anda, usaha Anda. Bagaimana kita memahami hal ini?

Kesalahpahaman: "Iman adalah Anugerah dari Allah"
Ajaran ini berlanjut dengan mengatakan, "Bahkan iman adalah anugerah atau hadiah dari Allah." Ini berarti bahwa bahkan iman yang Anda miliki adalah iman yang diberikan oleh Allah. Anda benar-benar pasif sepenuhnya sehingga bahkan iman Anda bukanlah iman Anda yang sesungguhnya, ini adalah iman pemberian dari Allah.
Saudara-saudari, waspadailah kalimat yang terdengar religius dan alim akan tetapi tidak benar, karena bahkan setan akan tampil sebagai malaikat terang. Di Matius 24:24, Yesus memperingatkan kita bahwa akan datang para penyesat yang, jika mungkin, bahkan akan menyesatkan orang-orang yang terpilih, umat pilihan Allah. Dengan cara apakah Anda bisa menyesatkan umat pilihan Allah? Jika Anda sampaikan hal yang sepenuhnya sesat kepada mereka, mereka akan segera melihatnya: "Itu salah! Kami tidak akan mau ikut ajaran itu!" Satu-satunya jalan bagi Anda untuk menyesatkan umat pilihan Allah adalah dengan menyampaikan hal yang terdengar sangat rohani, tetapi tidak sepenuhnya benar. Saya selalu menyampaikan bahwa kebenaran yang separuh-separuh justru jahu lebih berbahaya daripada kesesatan total.
Renungkanlah sejenak. Jika iman adalah hadiah dari Allah, maka pertanyaan saya adalah: Mengapa Allah tidak memberikan hadiah ini kepada semua orang? Karena Dia tidak memberikan hadiah itu kepada saya, maka saya tidak bisa memilikinya. Ini berarti bahwa jika Allah tidak memberi saya iman, tentu saja, saya tidak akan bisa memiliki iman. Ini berarti bahwa pada Hari Penghakiman nanti, maka saya tidak bersalah atas ketiadaan iman pada diri saya, karena Allah tidak memberikannya kepada saya. Bisakah Anda melihat bahaya dari ajaran ini?
Jika saya berkata kepada orang non-Kristen, "Iman adalah hadiah dari Allah," tidakkah menurut Anda semua orang non-Kristen yang bisa bepikir akan berkata kepada saya, "Aku tidak menjadi Kristen karena Allah tidak memberi saya iman"? Jika demikian halnya, apalah gunanya saya memberitakan Injil memohon agar orang-orang mau datang kepada Kristus? Mereka tidak bisa datang kepada Krsitus, karena satu-satunya jalan bagi mereka untuk bisa datang kepada Kristus adalah jika Allah memberi mereka anugerah itu. Jika Allah tidak memberi mereka anugerah itu, maka boleh saja saya berkhotbah sampai tenggorokan saya kering, namun tidak ada sesuatu hal yang terjadi.
Persisnya, hal semacam itulah yang disampaikan oleh pendeta di Swiss itu. Itulah persisnya, kata-kata yang dia sampaikan. Katanya, "Tak ada gunanya memberitakan Injil karena jika Allah tidak memberikan hadiah itu, tidak ada apapun yang terjadi. Mereka yang akan diselamatkan oleh Allah, akan diselamatkan oleh Allah. Mereka yang tidak akan diselamatkan, Anda boleh saja berkhotbah sampai mulut Anda kering dan lidah Anda kelu, namun dia tetap tidak diselamatkan." Itulah sebabnya mengapa saat itu pengkhotbah itu berkata, "Orang-orang seperti Billy Graham itu bodoh. Mereka bodoh karena mereka tidak paham bahwa iman itu adalah hadiah dari Allah. Artinya, jika Allah ingin menyelamatkan seseorang, maka Dia pasti akan menyelamatkan orang itu - tidak peduli apakah Anda mengkhotbahi dia atau tidak." Bukankah khotbah itu terdengar religius? Bukankah terdengar sangat indah betapa Allah mengendalikan segala sesuatunya?

Menerima kasih karunia menambah tanggung jawab kita
Anda mungkin berkata kepada saya, "Akan tetapi di pesan yang lalu Anda berkata bahwa segala sesuatu berdasarkan kasih karunia. Apa bedanya dengan yang disampaikan oleh pendeta di Swiss itu?" Perbedaannya sangatlah mendasar. Apa yang saya sampaikan adalah segala sesuatunya bergantung pada kasih karunia dalam kaitannya dengan karya keselamatan.
Saya katakan, "Dalam kaitannya dengan karya keselamatan." Apakah yang dimaksudkan dengan "karya keselamatan"? Artinya, hanya Allah yang bisa menyingkirkan hukuman dosa. Itulah yang dimaksudkan sebagai karya keselamatan. Hanya Allah yang bisa menyingkirkan hukuman dosa saya, dengan dia sendiri melunasi hukuman itu. Saya katakan, "Hanya Dia!" Tak ada orang lain yang bisa melakukannya. Itulah sebabnya mengapa keselamatan itu sepenuhnya berdasarkan kasih karunia.
Kedua, hanya Allah yang bisa menyingkirkan kuasa dosa dari dalam hidup saya. Tak ada orang lain yang dapat melakukannya! Saya tidak bisa memerdekakan diri saya sendiri; saya juga tidak bisa memerdekakan orang lain; hanya Allah, hanya Dia yang bisa memerdekakan kita dari kuasa dosa. Itulah sebabnya mengapa keselamatan dari dosa adalah hal yang hanya bisa digenapi olehNya.
Seperti ilustrasi yang saya pernah berikan. Hanya dokter yang bisa menyembuhkan penyakit Anda, hanya dia yang bisa membedah Anda; Anda tidak bisa membedah diri Anda sendiri. Dalam kaitannya dengan hal penyembuhan medis, Anda tidak berperan apa-apa di dalam kerja penyembuhan itu. Dia yang menuliskan resepnya; dia yang melakukan pembedahan; dia yang melakukan diagnosis. Dia yang melakukan semua itu!
Demikianlah, Alkitab mengajarkan kita dengan jelas, bahwa keselamatan adalah murni kasih karuniaNya. Namun kita tidak boleh menempatkan kasih karunia sedemikian rupa sehingga menghilangkan tanggung jawab kita. Sebaliknya, kasih karunia menurut Alkitab justru meingkatkan tanggung jawab Anda. Inilah yang dikatakan oleh Kitab Suci: "... kepada siapa yang banyak dipercayakan (yaitu kasih karunia), dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut." [Luk 12:48] Semakin banyak kasih karunia yang Anda terima, maka semakin berat pula tanggung jawab Anda. Alkitab mengajarkan hal yang justru bertentangan dengan ajaran dari pendeta tersebut. Kasih karunia bukan saja tidak menyingkirkan porsi tanggung jawab Anda, namun sebaliknya, kasih karunia justru menambah tanggung jawab Anda! Itu berarti bahwa mendengarkan Injil adalah suatu kesempatan istimewa; adalah suatu kasih karunia. Namun mendengarkan Injil lalu menolaknya, akan memperberat tanggung jawab Anda.
Mari kita kembali ke dalam ilustrasi tentang dokter tersebut. Anggaplah Anda sedang sakit parah, dan Anda tidak tahu harus berbuat apa. Selama Anda tidak tahu apa yang harus diperbuat, beban tangung jawab Anda sedikit saja, karena tak ada hal yang bisa Anda perbuat. Tapi sekarang, saya sampaikan satu kabar baik. Anda sedang sakit, Anda sedang sekarat, dan saya berkata, "Saya ada kabar baik buatmu! Saya telah menemukan dokter spesialis yang sangat hebat! Dia bisa menyembuhkanmu." Itulah Injil! Itulah kabar baiknya. Kabar baik itu sudah datang!
Anggaplah sesudah Anda mendengarkan kabar baik ini, Anda berkata, "Oh, aku tidak percaya hal ini. Tak seorangpun yang bisa menyembuhkanku."
Lalu saya terus berusaha meyakinkan Anda dan berkata, "Dokter ini telah menyembuhkan begitu banyak orang dengan penyakit yang sama denganmu. Saya mohon padamu, datangilah dokter ini."
Anda berkata, "Tidak, aku tidak mempercayainya. Penyakitku ini sudah tidak bisa disembuhkan lagi, tak seorangpun yang bisa menolongku."
Dapatkah Anda melihat bahwa setelah saya memberitahu Anda tentang adanya dokter yang bisa menyembuhkan Anda namun Anda menolaknya, maka penolakan ini memberatkan tangung jawab Anda? Karena sesungguhnya Anda seharusnya bisa disembuhkan, namun Anda tidak mengingininya. Fakta bahwa dokter ini bisa berbuat sesuatu bagi Anda, akan tetapi Anda tidak mau mengunjunginya, hal ini membuat Anda sendiri bertanggung jawab atas keadaan Anda sekarang. Dapatkah Anda melihat pokok ini?
Jadi, saudara-saudari, berhati-hatilah akan ajaran kasih karunia yang sering kita dengarkan sekarang, yang mengajarkan tentang kasih karunia yang berhujung pada Anda tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. Namun jika Anda menyadari bahwa hal mendengarkan Firman Allah serta memperoleh kasih karunia itu malahan memperbesar tanggung jawab Anda, maka itu berarti bahwa Anda telah memahami arti kasih karunia dengan benar.

Apakah Efesus 2:8 berkata "Iman adalah hadiah"
Banyak orang yang mengutip Efesus 2:8, sebagai ayat favorit untuk mengatakan bahwa iman adalah hadiah dari Allah. Akan tetapi Efesus 2:8 tidak menyatakan bahwa iman adalah hadiah dari Allah - Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah. Subyek dari ayat 8 ini bukanlah iman, melainkan keselamatan. Sangatlah penting untuk memahami ayat-ayat tersebut dalam bahasa aslinya. Dilihat dari segi tata bahasanya Anda akan melihat bahwa kata 'itu', yang di dalam bahasa Yunaninya menggunakan jenis kata netral, tidaklah mengacu pada kata 'iman' yang merupakan jenis kata feminin di dalam bahasa Yunani. Pokok utama ayat Efe 2:8 sama sekali tidak menyatakan bahwa iman adalah suatu hadiah atau pemberian. Yang merupakan pemberian itu adalah keselamatan Anda. Seorang ekseget yang jujur akan segera tahu bahwa subyek dari kalimat ini adalah keselamatan, bukanya iman. Iman adalah sekadar sarana bagi keselamatan. Ayat ini tidak berkata, "iman adalah hadiah dari Allah". Iman adalah tanggapan Anda kepada Allah. Anda bertanggung jawab atas iman Anda. Alkitab tidak menyebutkan bahwa Allah bertanggung jawab atas iman Anda.

Iman yang sejati melibatkan perbuatan
Saya akan berpaling pada Yohanes pasal 6 untuk menjelaskan tentang ciri-ciri iman yang sejati. Di Yohanes 6:27-29 ada tertulis, "Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya." Lalu kata mereka kepada-Nya: "Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?" Jawab Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah."
Ayat-ayat ini sangatlah berharga. Sekarang ini, karena adanya penekanan yang salah tentang kasih karunia; ada ketakutan besar dalam membicarakan tanggung jawab dan peran manusia dalam kaitannya dengan keselamatan. Ada ketakutan untuk melibatkan kata 'bekerja' atau 'pekerjaan'. Mereka begitu takut dengan kata ini, padahal Yesus tidak takut memakai kata ini dan rasul Paulus tidak takut memakai kata ini.
Di ayat 27, Yesus berkata, "Bekerjalah, bukan untuk..." - yang berarti, janganlah bekerja, janganlah pusatkan segenap upayamu untuk mendapatkan makanan yang akan binasa, tetapi bekerjalah untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu. Ini adalah hal yang menarik. Perhatikan unsur mendasar dari kasih karunia di sini. Makanan yang akan bertahan sampai kepada hidup kekal, makanan yang akan memberi Anda hidup yang kekal adalah hal yang hanya bisa diberikan oleh Yesus kepada Anda. Di sana dikatakan, "Yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu." Yakni, hanya dia yang bisa memberinya kepada Anda. Namun perhatikan, Yesus juga berkata, "Hanya Anak Manusia yang bisa memberikannya kepadamu, akan tetapi kamu harus bekerja untuk mendapatkannya." Renungkanlah kalimat ini sekali lagi, "(Bekerjalah) untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu." Sungguh sangat menarik! Dia memberikannya, akan tetapi Anda harus bekerja untuk mendapatkannya.
Pengajaran Yesus sangat sempurna, bukankah begitu? Semakin saya mempelajari ajaran Tuhan, semakin hati saya dipenuhi oleh kekaguman. Saya sangat terpesona pada ajaran Tuhan. Ajaran manusia tidaklah sempurna, selalu berat sebelah. Jika mereka menekankan satu hal, mereka akan mengabaikan sisi-sisi lainnya. Jika mereka menekankan kasih karunia, mereka mengabaikan perbuatan baik atau pekerjaan. Jika mereka menekankan pekerjaan atau perbuatan baik dan iman, maka mereka akan melupakan kasih karunia. Dan saat mereka mengabaikan kasih karunia, mereka akan menekankan bahwa Anda diselamatkan oleh usaha Anda sendiri, suatu hal yang tidak akan pernah bisa Anda capai. Demikianlah, manusia tidak bisa menjaga keseimbangan sudut pandang kebenaran dari Allah. Dapatkah Anda memahami ajaran yang indah dari Yesus? Sungguh sangat indah!
"Anugerah hidup kekal dariku ini adalah pemberian buatmu." Hal itulah yang senang disampaikan oleh para penginjil; mereka hanya menyampaikan potongan kebenaran yang separuh. Padahal itu bukanlah apa yang disampaikan oleh Yesus. Dia berkata, "Bekerjalah untuk makanan itu." Bagaimana mungkin pemberian itu disebut sebagai anugerah atau hadiah jika Anda harus bekerja untuk mendapatkannya?
Ingatkah Anda pada orang muda yang kaya? Dia sangat memahami situasinya. Ingatkah Anda pada pertanyaannya? "Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh (mewarisi) hidup yang kekal?" Oh, dia sangat mengerti! Warisan adalah suatu pemberian. Bagaimana caranya supaya saya bisa memperoleh warisan? Saya harus menjadi anak seseorang untuk mendapat warisan. Tak ada hal yang bisa saya usahakan untuk memperoleh warisan, untuk memperoleh pemberian. Akan tetapi ada satu hal yang bisa Anda perbuat: Anda bisa menjadi anak Allah untuk memperoleh warisan dariNya. Anda bisa diangkat menjadi anakNya. Di Yoh 1:12 dikatakan, "Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya"? Demikianlah, kita bisa melihat bahwa orang muda yang kaya ini tidak mengajukan pertanyaan yang bodoh. Malahan, kita melihat bahwa pertanyaan ini sangat mendalam dan bijak. Dia tahu bahwa dia tidak bisa mendapatkan hidup yang kekal sebagai hasil upayanya; hidup yang kekal itu adalah warisan. Namun karena hidup yang kekal itu adalah warisan atau pemberian, bukan berarti bahwa Anda tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjadi layak memperolehnya. Sebaliknya, Anda harus berbuat sesuatu agar layak memperolehnya. Hidup yang kekal adalah pemberian dari Allah, akan tetapi Yesus berkata, "Bekerjalah untuk mendapatkannya."
Dengan kata lain, Yesus menyatakan, "Berjuanglah untuk bisa masuk melalui pintu itu." [Mat 7:13]. Hal terbukanya pintu gerbang itu adalah kasih karunia, hanya Tuhan yang bisa membukanya. Saya tidak bisa membobol pintu gerbang hidup kekal itu untuk masuk ke dalamnya. Kasih karunialah yang membukakan pintu surga bagi kita. Akan tetapi Allah tidak akan melemparkan tali lalu menyeret saya, yang berkeras menolak, untuk masuk. Sebaliknya, Dia berkata, "Nah, Aku telah membuka pintu gerbang kasih karunia buatmu. Sekarang, menjadi tanggung jawabmu untuk berjuang masuk." Kasih karunia menurut Alkitab tak pernah menyingkirkan tanggung jawab dan tekad manusia.

Kehendak kita tidak dibelenggu!
Namun di sini, muncul satu pertanyaan: Apakah saya, sebagai orang berdosa, mampu untuk menanggapi kasih karunia Allah? Ada orang yang berkata bahwa kita ini begitu kuat dibelenggu oleh dosa sehingga kita tidak bisa menanggapi kasih karunia Allah sekalipun kita ingin melakukannya. Jika hal itu benar, maka apa gunanya Yesus menyuruh kita berjuang untuk masuk melalui pintu gerbang yang sempit itu padahal kita tidak bisa memasukinya? Apakah gunanya berkata bahwa kita harus berseru pada Allah jika kita tidak bisa melakukannya? Apa gunanya menyuruh saya untuk mengikut Tuhan, untuk percaya kepadanya jika saya tidak bisa melakukannya? Demikianlah, ada yang mengajarkan bahwa kehendak manusia itu berada dalam belenggu - ada semacam belenggu keinginan. Dan karena kehendak saya terbelenggu, maka saya tidak bisa menanggapi Allah. Hal ini, sekali lagi, kembali menempatkan manusia ke dalam kedudukan yang pasif, tidak berbuat apa-apa dan menunggu Allah berbuat sesuatu bagi mereka.
Apakah yang menjadi dasar pernyataan bahwa kehendak manusia itu berada di bawah belenggu? Apakah bukti alkitabiah bagi pernyataan semacam ini? Ayat yang sering dikutip adalah di Roma 7:19, Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Apakah Paulus berkata bahwa dia tidak bisa berkehendak? Yang dikatakan oleh Paulus di ayat 18 adalah, "Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik."" Paulus tidak berkata bahwa Anda tidak bisa berkehendak. Dia hanya berkata bahwa Anda tidak bisa melakukannya. Paulus bisa berkehendak. Tidak ada belenggu terhadap kehendak; memang ada belenggu pada dirinya tapi bukan pada kehendaknya. Ini adalah hal yang penting untuk dipahami.
Anda mungkin bertanya, "Bagaimana membedakan belenggu pada diri dengan belenggu pada kehendak?" Cukup sederhana! Silakan pergi ke penjara. Orang-orang di sana memang terkurung, akan tetapi mereka bisa berkehendak untuk keluar. Mereka bisa menginginkan apapun yang mereka mau, akan tetapi mereka tidak bisa keluar dari sana. Fakta bahwa diri mereka terkurung di dalam penjara tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kehendak untuk bebas.
Di sini, pembedaan itu sangatlah penting, karena jika saya tidak bisa memahami apa yang benar, jika saya bahkan tidak memilki keinginan untuk merdeka, maka tentu saja, tamatlah riwayat saya. Berarti saya tidak perlu bertanggung jawab atas tindakan-tindakan saya. Akan tetapi, ajaran bahwa kehendak berada di dalam belenggu ini menjadi bagian dari ajaran beberapa gereja sekarang. Namun jika hal tersebut benar, tidakkah Anda melihat bahwa para pendosa tidak perlu bertangung jawab atas tindakan mereka? Lalu, mengapa Allah memasukkan orang ke dalam neraka karena berbuat dosa yang tidak dapat dia hindarkan? Jika memang demikian halnya, dapatkah Anda katakan bahwa Allah adil? Lagi pula, orang tersebut tidak bisa menolak untuk berbuat dosa.
Namun bukan hal itu yang dikatakan oleh Paulus di kitab Roma. Dia berkata, "Aku melakukan apa yang kubenci. Aku membenci tindakan tersebut, akan tetapi aku melakukannya. Kehendakku bukanlah untuk mengerjakan hal tersebut. Akan tetapi, entah bagaimana, kuasa dosa begitu kuat, karena aku adalah budak dosa, sehingga aku mengerjakan hal yang aku benci!" Tak heran jika dia melanjutkan dengan jeritan, "Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?" [Rom 7:24]. Dia berada dalam tekanan besar dosa, kemudian dia beralih kepada kasih karunia. Dia berkata, "Syukur kepada Allah! Karena Allah akan memerdekakan saya dari belenggu dosa." Lalu di pasal berikutnya, di Roma pasal 8, Paulus berbicara tentang hidup yang berkemenangan, bahwa di dalam Kristus kita dimerdekakan dari kuasa dosa. Sebenarnya, kemerdekaan kehendak ini, sudah dia bahas dari Roma pasal 2. Di sana Paulus berbicara tentang orang asing yang tidak mengenal Hukum Taurat, namun oleh nalurinya menjalankan apa yang dituntut oleh hukum Taurat. Hal ini tentu saja dilandasi oleh kemerdekaan kehendak.

"Mati di dalam dosa" bukan berarti bahwa kehendak itu dibelenggu
Ayat lain yang gemar dikutip untuk mengatakan bahwa kehendak itu tidak bebas adalah di Efesus 2.1. Kalimat yang dari Paulus yang berkata "dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa" kita [Efesus 2:1]. Mereka ingin mengatakan, "Anda lihat, dulu Anda mati." Benar, saat kita menjadi Kristen, kita juga mati. Namun apa pengertian mati di sini? Saat kita dibaptiskan, kita mati bersama Kristus. Apakah hal itu berarti bahwa kehendak kita juga ikut mati? Apakah hal itu berarti bahwa kita kehilangan kepribadian kita? Paulus tidak bermaksud menyatakan hal-hal semacam itu. "Mati bagi dosa," berarti hubungan kita dengan dosa telah diputuskan. Hubungan dengan dosa sudah berakhir. Hal ini berarti bahwa, ketika saya menjadi Kristen, maka hubungan saya dengan dosa dan dunia sudah berakhir. Saya mati bagi dunia berarti hubungan saya dengan dunia telah berakhir. Ini adalah bahasa gambar. Dan ketika saya masih di dalam pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa saya, maka hal yang sebaliknyalah yang berlaku. Hubungan saya dengan Allah terputus. Saya tidak punya hubungan yang hidup denganNya.
Ungkapan tentang mati di dalam dosa ini bukan sekadar berlaku pada orang-orang non-Kristen, melainkan juga berlaku pada orang Kristen. Hal ini juga berlaku bagi jemaat di Sardis. Yesus berkata, "Engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!" Dia berkata kepada orang-orang percaya, "Engkau telah mati!" Apa yang dimaksudkan oleh Yesus? Apakah dia bermaksud mengatakan bahwa orang-orang Kristen telah kehilangan kehendaknya? Jika 'mati' itu berarti kehilangan kehendak mereka, bagaimana mungkin Yesus melanjutkan dengan berkata, "Bertobatlah!"? Bagaimana mungkin mereka bertobat jika mereka telah mati?
Saat Yesus berkata, "Kamu itu mati sekalipun kamu disebut hidup," dia tidak bermaksud mengatakan bahwa kehendak mereka telah musnah. Yang dimaksudkan adalah, "Hubunganmu denganku telah berakhir. Engkau telah kembali hidup di dalam dosa." Dari sini, kita bisa melihat bahwa kasih karunia itu sama sekali tidak menyingkirkan tanggung jawab kita.  Dan 'kematian kita di dalam dosa' sama sekali tidak menyingkirkan tanggung jawab kita atas perbuatan dan kehendak kita. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Paulus, "Sebab kehendak memang ada di dalam aku." Saya bisa menginginkan apa yang benar. Saya tidak bisa melakukannya, akan tetapi saya bisa menginginkannya (Rom 7:18). Jadi jangan biarkan kutipan tentang hal 'mati di dalam dosa-dosa' membuat Anda menjadi bingung; kutipan tersebut tidak menunjukkan bahwa Anda bebas dari tanggung jawab. Para pendosa akan senang sekali jika tidak perlu bertanggung jawab.
Keadaan 'mati' ini adalah suatu ungkapan yang cukup terkenal di kalangan orang Yahudi. Makna dasarnya adalah hubungan yang terputus. Itulah sebabnya mengapa Anda bisa temukan juga ungkapan ini di dalam Perumpamaan tentang Anak yang Terhilang. Ingatkah Anda akan kalimat, "... anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali"? Si anak ini tidak mati secara jasmani. "... anakku ini telah mati" berarti bahwa si anak telah terpisah dari sang ayah, si anak menghilang dari tempat ayahnya. Sekarang, si anak itu 'hidup kembali' (Luk 15:24). Demikianlah, kita mulai melihat semakin jelas, fakta bahwa kasih karunia Allah menempatkan tanggung jawab yang besar pada kehendak saya untuk memberikan tanggapan.

Allah tidak memaksa kita masuk ke dalam Kerajaan
Ada banyak hal yang perlu dibahas akan tetapi waktu kita tinggal sedikit saja. Pembahasan akan kita lanjutkan lain kali. Sangatlah penting untuk memahami arti keselamatan. Sangatlah penting untuk tidak salah paham dan mengartikan bahwa "karena keselamatan itu adalah masalah kasih karunia, maka manusia tidak perlu bertanggung jawab." Sebaliknya, karena keselamatan itu berdasarkan kasih karunia, maka tanggung jawab Anda justru menjadi sangat besar. Ketika pintu gerbang keselamatan sudah dibuka bagi Anda, namun Anda tidak melangkah masuk, maka tanggung jawab Anda sangat berat. Allah menarik kita dengan tali kasihNya, akan tetapi tali kasihNya itu tidak Dia pakai untuk menyeret Anda masuk.
Ada banyak orang yang gemar mengutip Yoh 6:1. Di sini tertulis, "Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman." Kata yang dipakai di sini adalah kata 'ditarik'. Di Yoh 12:32, kata Yunani yang sama digunakan: "Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku." Saat Yesus berkata bahwa kita tidak bisa datang tanpa ditarik, bukan berarti bahwa hanya sebagian orang yang ditarik dan sebagian yang lainnya dibiarkan. Bagaimana orang ditarik kepada Tuhan? Dengan kasihnya yang diungkapkan kayu salib! "Saat Aku ditinggikan di kayu salib, Aku akan menarik semua orang kepadaKu dengan kasihKu." Kata 'menarik' ini selalu merupakan ungkapan dari kasih. Anda tidak pernah boleh memasukkan makna menyeret ke dalam kata 'menarik' ini, seolah-olah Allah menyelamatkan kita dengan cara menyeret kita masuk ke dalam kerajaan. Sama sekali bukan itu maksudnya. Kata ini muncul di dalam Kidung Agung 1:4, "Tariklah aku di belakangmu..." menarik saya dengan kasihNya. Dan di dalam Yer 38:3, Yeremia berkata bahwa Dia menarik kita dengan kasih kebaikanNya. Dan lagi, di dalam Hosea 11:4, di sana ada gambaran tentang Allah yang sedang menarik Israel dengan kasihNya.
Namun tindakan 'menarik' ini tidak boleh diartikan sebagai tindakan yang tak dapat ditentang, yang tidak dapat ditolak. Sebenarnya, Israel telah menolak kasih Allah. Ketika Allah menarik mereka dengan kasih kebaikanNya, mereka tidak menanggapi. Itulah pokok di dalam kitab Hosea.

Kita bertanggung jawab untuk menanggapi kasih karuniaNya
Karya keselamatan sepenuhnya berdasarkan kasih karunia. Dan iman yang sejati adalah tanggapan terhadap kasih karunia itu, dan kita bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakan kita untuk menanggapi atau tidak menanggapi.
Alkitab memberitahu kita bahwa Allah begitu mengasihi dunia. Rasul Yohanes memberitahu kita bahwa Yesus telah mati bagi kita bukan sekadar bagi dosa-dosa kita, melainkan bagi dosa dunia. Akan tetapi tidak semua orang di dunia ini diselamatkan. Allah mengasihi segenap isi dunia, akan tetapi tidak semua isi dunia menanggapi kasih Allah. Rasul Petrus berkata, "Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." [2Pet 3:9]. Allah ingin agar setiap orang diselamatkan, akan tetapi tidak semua orang diselamatkan karena tidak semua orang memberi tanggapan terhadap kasihNya. Jadi, apakah jawabannya? Adalah merupakan tanggung jawab kita untuk memberikan tanggapan itu!
Mungkin ada yang akan berkata, "Mengapa Allah tidak 'menyeret' atau membuat semua orang masuk ke dalam kerajaan dan menyelamatkan mereka?" Apakah menurut Anda akan merupakan hal yang baik mendapatkan banyak orang yang gemar mengeluh dan menggerutu: "Siapa yang mau masuk ke dalam Kerajaan Allah? Aku diseret masuk ke sini!"
Saya beritahu Anda: Allah menghormati Anda. Manusia mungkin tidak menghormati Anda, akan tetapi ajaibnya, Allah menghormati Anda. Allah menghormati dan memperlakukan Anda sebagai satu pribadi. Allah memperlakukan Anda sebagai satu pribadi, bukan sebagai hewan, bukan sebagai anjing yang diberi rantai dan kalung, atau kuda yang diberi tali kekang. Allah juga tidak memperlakukan Anda sebagai benda. Mengapa? Karena Dia ingin Anda menjadi satu pribadi. Dia menciptakan Anda tidak untuk sekadar menjadi benda atau binatang, melainkan menjadi satu pribadi. Binatang memang sangat menyenangkan, akan tetapi Anda tidak bisa memiliki persahabatan dengan binatang. Benda-benda juga sangat menyenangkan, akan tetapi Anda tidak bisa menjalin persahabatan dengan benda. Hanya suatu pribadi yang bisa bersahabat dengan pribadi yang lain. Allah hanya bisa memiliki persahabatan dengan manusia. Itulah sebabnya mengapa Allah menciptakan kita dalam gambaranNya, untuk bisa bersahabat dengan kita. Jika yang Allah inginkan hanya perangkat audio super untuk menyanyikan pujian bagiNya, tentunya Dia tidak perlu menciptakan kita.
Hal apakah yang menjadi ciri bagi sebuah kepribadian? Ciri utama suatu pribadi adalah unsur tangung jawab. Hanya manusia yang bisa memberi tanggapan berdasarkan pilihannya sendiri; berdasarkan kehendak bebasnya. Hal itulah yang membuat Anda menjadi satu pribadi yang khusus. Jika saya singkirkan tanggung jawab Anda, maka itu berarti saya memperlakukan Anda bukan sebagai satu pribadi, melainkan sebagai hewan atau benda. Saya memperlakukan Anda sebagai 'obyek' jika saya mengacungkan senjata ke arah Anda dan berkata, "kamu harus melakukan ini. Kalau kamu tidak mengerjakan ini, aku akan menembakmu." Dengan demikian, maka saya telah menyingkirkan peluang Anda untuk memilih dan bertanggung jawab.
Allah tidak memperlakukan kita seperti itu. Dia berkata, "Inilah kasih karuniaKu, Aku telah membuka pintu gerbang kerajaan bagimu." Dia tidak memaksa kita untuk menerimaNya. Dalam surat kepada jemaat di Laodikia, kita temukan kata-kata berikut, "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk" (Wah 3:20). Yesus tidak mendobrak pintu. Dia tidak berkata, "kau tahu siapa aku? Kau berani berkata tidak kepadaku?" Raja dari segala raja, berdiri di muka pintu dan mengetuk. Hanya pribadi-pribadi hina - seperti bandit dan penjahat - yang mendobrak pintu untuk bisa masuk. Mereka tidak memperlakukan Anda sebagai pribadi. Mereka tidak peduli apakah Anda berkata ya atau tidak. Yang aku inginkan akan aku kejar, aku akan masuk ke dalam rumahmu dan mengambil barang-barangmu, aku akan membobol pintu untuk melakukannya. Hanya para penjarah yang berbuat seperti itu. Akan tetapi, ternyata ada orang yang memberitakan Injil dan berharap agar Allah melakukan hal yang sama. Mereka tidak mengerti mengapa anak Allah justru berdiri di muka pintu dan mengetuk. Anak Allah tidak menjebol pintu. Karena mentalitas manusia adalah seperti ini: kalau aku memiliki kekuasaan yang mencukupi, maka aku tidak akan mengetuk pintu, aku akan mendobraknya. Karena tidak memiliki kekuatan, maka aku harus mengetuk pintu. Allah tidak berperilaku seperti itu. Hanya manusia yang berperilaku seperti ini.
Saya pernah bertemu dengan seorang Jendral dari China. Dia adalah panglima pasukan lapis baja di masa Perang Dunia II, dan di masa perang itu, dia pernah bergerak melintasi daerah kekuasaan Perancis di Shanghai - di wilayah Shanghai ada daerah kekuasaan Perancis, Inggris, dan yang lain-lainnya - untuk menyerang wilayah Jepang. Tentu saja, jika dia tidak melintasi daerah kekuasaan Perancis, maka dia harus memutar cukup jauh untuk bisa mencapai daerah kekuasaan Jepang. Karena kekuatannya - yang mencakup berbagai kendaraan lapis baja itu - tak akan bisa dihadang oleh pihak Perancis, maka dia memutuskan untuk melintasi daerah kekuasaan Perancis tanpa meminta persetujuan mereka. Ketika dia sampai di sektor yang dikuasai oleh Perancis, pasukan Perancis menghadangnya dan berkata, "Tidak, Anda tidak boleh lewat. Ini adalah wilayah kekuasaan Perancis." Dan Jendral itu berkata, "Jika Anda tidak menyingkir dari hadapan saya, maka saya akan melindas kalian. Silakan kalian ambil keputusan." Lalu pasukan Perancis itu berkata, "Kami akan mengajukan protes ke Nanking!" Dia menjawab, "Silakan kalian berbicara dengan para politisi di sana. Saya seorang perwira militer. Menyingkir dari hadapan saya atau saya akan melindas kalian." Kemudian, dia perintahkan barisannya, "Maju terus!" dan pasukannya bergerak maju dengan semua senjata siap tembak. Tentu saja, pihak Perancis tidak berani menghentikannya.
Tahukah Anda, ada satu hal yang sungguh lucu! Jika Anda mendengarkan kisah tersebut, Anda akan merasa sangat senang! Anda akan berkata, "Ah, bagus sekali! Begituah caranya memperlakukan mereka. Begitulah cara memperlakukan orang-orang asing tersebut. Tank-tank China itu memang harus maju. Jika tidak mengizinkan, maka mereka harus merasakan kekuatan kita." Ketika Jendral ini bercerita kepada saya, dia merasa sangat senang akan hal tersebut. Itulah mentalitas dunia. Jika Anda memiliki kekuatan, Anda akan menggunakannya! Anda tidak akan menunggu dan mengetuk pintu orang lain. Anda tidak akan peduli apakah orang lain akan setuju atau tidak. "Aku punya kekuatan, aku bebas mengerjakan apa yang aku mau."
Namun itu bukanlah cara Allah berpikir dan bertindak. Karena Dia lebih besar daripada Anda, bukan berarti Dia akan menggilas Anda. Ingatlah bahwa Allah memperlakukan Anda sebagai pribadi. Dia memperlakukan Anda sebagai pribadi karena Dia sangat mengasihi Anda. Dan tanggung jawab Anda adalah untuk menanggapi kasih tersebut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar