Leo Tolstoy
(Ini adalah penyusunan kembali
kisah Kristiani lama. Daya tariknya terletak dalam kesederhanaannya, dan
menjadi salah satu kisah di antara karya Tolstoy yang paling disukai.)
Di sebuah kota kecil di Rusia
pernah tinggal seorang tukang memperbaiki sepatu, Martin Avedeitch
namanya. Ia punya kamar kecil di ruangan bawah tanah, dengan satu
jendela dengan pemandangan ke jalan. Melalui jendela itu, kita hanya
bisa melihat kaki mereka yang berlalu lalang, tetapi Martin mengenal
orang dari sepatu but yang dikenakan. Sudah lama ia tinggal di tempat
itu dan punya banyak kenalan. Hampir tidak ada sepasang sepatu but di
lingkungan itu yang tidak pernah disentuh tangannya satu dua kali, jadi
ia sering melihat hasil karyanya sendiri melalui jendela itu. Beberapa
ia pasangkan sol baru, beberapa ditambal, beberapa dijahit, dan pada
beberapa ia bahkan meletakkan dasar sepatu yang baru di atas sol. Banyak
sekali pekerjaannya, karena hasil kerjanya baik; hanya bahan bermutu
digunakan, murah meriah, dan bisa diandalkan. Jika ia bisa menyelesaikan
pesanan pada hari yang diminta, ia mengerjakannya; jika tidak, ia
menyatakan yang sebenarnya dan tidak memberi janji palsu. Jadi ia
terkenal dan tidak pernah kekurangan pekerjaan.
Martin selalu merupakan orang yang
baik, tetapi di hari tuanya ia mulai lebih banyak berpikir tentang
jiwanya dan lebih mendekati Tuhan.
Sejak saat itu itu seluruh
kehidupan Martin berubah. Kehidupannya menjadi damai dan penuh
kegembiraan. Ia duduk melakukan pekerjaan di pagi hari, dan apabila ia
sudah menyelesaikan pekerjaannya di hari itu, ia menurunkan lampu dari
dinding, mendirikannya di meja, mengambil Alkitabnya dari rak,
membukanya, dan duduk untuk membaca. Semakin banyak ia membaca, semakin
ia bisa mengerti, dan semakin jernih dan bahagia ia rasakan pikirannya.
Pernah terjadi Martin duduk sampai
larut malam, tenggelam dalam kitabnya. Ia sedang membaca Injil Lukas,
dan dalam pasal ke-enam ia menemukan ayat-ayat ini.
Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan uga ia mengambil bajumu. Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamya, dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanma. Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
Ia merenungkan ini, dan sudah
bersiap-siap untuk pergi tidur, tetapi ia enggan meninggalkan kitabnya.
Jadi ia meneruskan membaca pasal ke-tujuh - mengenai si perwira, anak
laki-laki seorang janda, dan jawaban kepada para murid Yohanes - dan ia
tiba di bagian di mana orang Farisi kaya raya mengundang Yesus ke
rumahnya. Dan ia membaca bagaimana wanita pendosa itu mengurapi kaki
Yesus dengan minyak dan membasuhnya dengan air matanya, dan bagaimana
Yesus membenarkannya. Sampai ke ayat ke-empat, ia membaca:
Dan sambil berpaling kepada perempuan itu, ia berkata kepada Simon: "Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan aku air untuk membasuh kaki-ku, tetapi ia membasahi kaki-ku dengan air mata an menyekannya dengan rambutnya. Engkau tidak mencium aku, tetapi sejak aku masuk ia tiada henti-hentinya mencium kaki-ku. Engkau tidak meminyaki kepala-ku dengan minyak, tetapi dia meminyaki kaki-ku dengan minyak wangi."Martin membaca ayat-ayat ini dan berpikir, "Ia tidak memberi air untuk kaki-nya, tidak memberi cium, kepalanya tidak ia urapi dengan minyak..." Dan Martin menanggalkan kacamatanya sekali lagi, meletakannya di atas kitabnya, dan merenung.
"Ia pasti seperti aku, orang Farisi
itu. Ia juga seperti aku hanya memikirkan dirinya sendiri - bagaimana
mendapat secangkir teh, bagaimana menjaga agar diri hangat dan nyaman,
tidak pernah memikirkan tamunya. Ia mengurus dirinya sendiri, tetapi
tamunya sama sekali tidak ia pedulikan. Tetapi siapa tamunya? Tuhan
sendiri! Jika Ia datang kepadaku, apakah aku juga akan mengambil sikap
demikian?"
Kemudian Martin meletakkan
kepalanya pada kedua lengannya dan, sebelum ia menyadarinya, ia
tertidur.
"Martin!" ia mendadak mendengar
suara, seakan ada orang menghembuskan kata itu di atas telinganya.
Ia terjaga dari tidurnya. "Siapa di
sana?" ia bertanya.
Ia berpaling keliling dan memandang
ke pintu; tidak ada orang yang di sana. Ia menyerukan pertanyaannya
lagi. Kemudian ia mendengar jelas: "Martin, Martin! Lihat ke jalan esok,
karena Aku akan datang."
Martin bangun, bangkit dari
kursinya dan menggosok kedua matanya, tetapi ia tidak tahu apakah ia
mendengar kata-kata itu dalam mimpi atau waktu ia sadar. Ia mematikan
lampu dan membaringkan diri untuk tidur.
Keesokan hari ia bangkit sebelum
fajar menyingsing, dan setelah mengucapkan doa ia menyalakan api dan
menyiapkan samovar-nya, mengenakan celemeknya, dan duduk di
jendela menekuni pekerjaannya. Ia lebih banyak memandang ke jalan
daripada bekerja, dan setiap kali ada orang yang lewat dengan sepatu but
yang ia tidak kenal, ia akan membungkuk dan menengadah, supaya bukan
saja melihat kaki tetapi juga wajah orang yang lewat. Seorang penjaga
rumah lewat dengan sepatu but yang baru, kemudian seorang pengangkut
air. Tidak lama kemudian prajurit tua dari zaman pemerintahan Nicholas
datang ke dekat jendela, dengan sekop di tangan. Martin mengenalnya dari
sepatu butnya, yang suatu ketika terbuat dari kain wol yang lusuh.
Laki-laki tua itu bernama Stephanitch. Seorang tetangga memberi
tumpangan padanya di rumahnya sebagai amal, dan tugasnya ialah membantu
sang penjaga rumah. Ia mulai membersihkan salju di depan jendela Martin.
Martin melirik kepadanya dan kemudian melanjutkan pekerjaannya.
Setelah ia membuat seratus rajutan
ia merasa bahwa sudah waktunya lagi untuk melongok ke luar. Ia melihat
bahwa Stephanitch bersandar di sekopnya pada dinding, dan sedang
beristirahat atau mencoba menghangatkan dirinya. Laki-laki itu tua dan
rapuh, dan rupanya tidak punya cukup tenaga bahkan untuk membersihkan
salju.
"Bagaimana kalau akau memanggil ia
masuk dan memberinya minum teh?" pikr Martin. "Air dalam samovar
itu baru saja mendidih."
Ia menyematkan jarum besar yang
sedang ia gunakan kembali ke tempatnya, dan kemudian ia bangkit, dan
sambil meletakkan samovar itu di meja, ia membuat teh. Kemudian
ia mengetuk jendela dengan jari-jarinya. Stepanitch berpaling dan
mendekati jendela. Martin membuat gerakan dengan tangan agar ia masuk,
dan kemudian ia sendiri pergi membuka pintu.
"Masuklah," katanya, "dan hangatkan
dirimu sedikit. Aku yakin kau pasti kedinginan."
"Semoga Tuhan memberkatimu!"
Stepanitch menjawab, "Tulang-tulangku memang ngilu." Ia masuk, mula-mula
menepuk-nepuk lepas salju, dan karena tidak mau meninggalkan bekas di
lantai ia mulai mengelap kakinya. Tetapi sementara ia melakukannya ia
terhuyung-huyng dan hampir jatuh.
"Jangan repot-repot mengelap
kakimu," kata Martin. "Aku akan mengepel lantai nanti - semua bagian
dari pekerjaan sehari-hari. Ayolah, kawan, duduklah dan minum teh."
Setelah mengisi dua gelas minum, ia
menyodorkan sebuah ke tamunya, dan menuangkan tehnya sendiri ke piring
kecil, lalu ia mulai meniup-niupnya.
Stepanitch menghabiskan tehnya dan,
sambil membalikkan gelasnya, meletakkan sisa potongan gulanya di atas
meja. Ia mulai mengucapkan terima kasih, tetapi jelas sekali bahwa ia
ingin ditambah tehnya.
"Ayo, minum segelas lagi," kata
Martin, sambil mengisi gelas minum tamunya dan gelas minumnya sendiri.
Tetapi sementara ia meminum tehnya Martin terus saja memandang ke jalan.
"Apakah kau menunggu seseorang?"
bertanya tamunya.
"Apakah aku menunggu seseorang?
Yah, aku sesungguhnya tidak menunggu siapa-siapa, tetapi aku mendengar
sesuatu semalam yang tidak bisa aku keluarkan dari pikiranku. Apakah itu
suatu penglihatan, atau hanya angan-angan saja, aku tidak bisa
mengatakannya. Kau tahu, teman, semalam aku sedang membaca Injil,
mengenai Kristus, bagaimana ia menderita, dan bagaimana ia bertindak di
bumi. Kau pernah mendengar orang menceritakannya, bukan?"
"Aku pernah mendengarnya,"
Stepanitch menjawab. "Tetapi aku bukan orang sekolahan dan tidak mampu
membaca."
"Yah, kau tahu, aku sedang membaca
bagaimana perilakunya di bumi. Aku sampai ke bagian, kau tahu, di mana
ia pergi ke seorang Farisi yang tidak menerimanya dengan baik. Yah,
teman, sementara aku membacanya, aku berpikir tentang orang itu yang
menerima Kristus tanpa memberi kehormatan yang memadai. Andaikan hal
seperti itu terjadi kepada seseorang seperti aku sendiri, apa yang tidak
akan kulakukan untuk menerimanya! Tetapi orang itu sama sekali tidak
menyambutnya dengan baik. Yah, teman, sementara aku merenungkan hal itu,
aku mulai tertidur, dan aku kira kau mendengar seseorang berbisik,
"Nantikan aku. Aku akan datang besok." Ini terjadi dua kali. Kata-kata
itu meresap ke dalam pikiranku sedemikian rupa, sehingga meskipun aku
malu terhadap diriku sendiri, aku masih menantikan dia!"
Stepanitch menggeleng kepalanya
tanpa mengeluarkan suara, menghabiskan isi gelas minumannya, dan
meletakkannya pada sisinya, tetapi Martin mengisinya kembali.
"Terima kasih Martin Avedeitch,"
katanya. "Kau sudah menjamu aku dan memberi kenyamanan untuk jiwa dan
raga."
"Terima kasih kembali. Mampir lagi
lain kali. Aku senang kau bertamu ke mari," kata Martin.
Stepanitch pergi, dan Martin
menuang sisa teh the dan meminumnya. Kemudian ia menyimpan perangkat
pembuat teh itu dan duduk menekuni pekerjaannya lagi, mengerjakan
jahitan belakang sepatu but. Sambil bekerja ia terus saja melongok ke
luar jendela, dan memikirkan tentang apa yang ia baca dalam Alkitab, dan
kepalanya penuh dengan kata-kata Kristus.
Dua prajurit lewat: seorang memakai
sepatu but Pemerintah, yang lain dengan sepatu butnya sendiri; kemudian
tuan rumah salah satu rumah tetangganya, dengan sepatu but kedap air
yang mengkilat; kemudian tukang pembuat roti yang membawa keranjang.
Semua ini lewat. Kemudian seorang wanita datang dengan kaos kaki panjang
terbuat dari kain wol licin. Ia berhenti di dinding dengan punggungnya
menghadap angin, mencoba membungkus bayi, meskipun ia hampir tidak punya
apa-apa untuk membungkus bayi itu. Wanita itu hanya mengenakan baju
musim panas, dan bahkan baju itu sudah tua dan lusuh. Melalui jendela
Martin mendengar bayi itu menangis, dan si wanita mencoba menghiburnya,
tetapi tidak berhasil melakukannya. Martin bangkit, dan keluar dari
pintu dan menaiki tangga ia berseru kepada wanita itu, "Nyonya, nyonya!"
Wanita itu mendengar, dan
membalikkan tubuh ke arahnya.
"Mengapa Anda berdiri di luar sana
di udara dingin dengan bayi Anda? Marilah masuk. Anda bisa membungkusnya
lebih baik di tempat yang hangat. Marilah ikut ke mari!"
Wanita itu tekejut dan
terheran-heran melihat laki-laki tua bercelemek, dengan kata mata di
hidung, memanggilnya, tetapi ia mengikutinya masuk.
Mereka menuruni tangga, memasuki
ruangan kecil, dan laki-laki tua itu menuntunnya ke ranjang.
"Nah, duduklah nyonya, dekat
perapian. Hangatkan diri Anda, dan beri makan bayi itu."
"Tidak punya susu. Saya sendiri
tidak makan apa-apa sejak pagi ini," kata wanita itu, tetapi masih
memeluk bayi itu ke dadanya.
Martin menggeleng kepala. Ia
mengelurkan mangkok dan sedikit roti. Kemudian ia membuka pintu oven
dan menuangkan sedikit sup kobis ke dalam mangkok itu. Ia juga
mengeluarkan panci bubur juga, tetapi bubur belum jadi, jadi ia
meletakkan taplak di meja dan menyajikan hanya sup dan roti saja.
"Duduk dan makanlah, nyonya, dan
saya akan urus bayi Anda. Yah, saya sendiri juga punya anak; saya tahu
bagaimana mengurus mereka." Wanita itu membuat tanda salib, dan sambil
duduk di meja, ia mulai makan, sementara Martin meletakkan sang bayi di
ranjang dan duduk di dekatnya.
Martin menghela nafas. "Apakah Anda
tidak punya pakaian lebih hangat?" ia bertanya.
"Bagaimana saya bisa mendapatkan
pakaian hangat?" kata wanita itu, "Saya bahkan menggadai selendang
terakhir saya untuk enam sen kemarin."
Kemudian wanita itu mendekat dan
mengambil anak itu, dan Martin bangkit. Ia pergi mencari-cari di antara
beberapa barang yang menggantung di dinding, dan ia kembali dengan jubah
tua.
"Ini," katanya, "meskipun sudah
tua, ini cukup untuk membungkus si bayi."
Wanita itu memandang ke jubah itu,
kemudian ke laki-laki tua itu, dan sambil menerimanya, ia menangis. Dan
wanita itu berkata, "Tuhan memberkatimu, teman."
"Ambil ini demi Kristus," kata
Martin, dan memberinya enam sen untuk menebus selendangnya dari rumah
gadai. Wanita itu membuat tanda salib, dan Martin melakukan yang sama,
dan kemudian ia mengantarnya ke luar.
Setelah beberapa waktu, Martin
melihat wanita penjaja apel berhenti tepat di depan jendelanya. Di
punggungnya ia membawa satu kantong penuh serpihan kayu untuk dibawa
pulang. Tak usah diragukan lagi, bahwa ia mengumpulkannya di suatu
tempat pembangunan.
Kantong itu jelas menyakiti
punggungnya, dan ia ingin menggesernya dari satu bahu ke bahu lain, jadi
ia meletakkannya di jalan dan, menyandarkan keranjangnya di sebuah
tiang, mulai menggoyang-goyang serpihan itu dalam kantong. Sementara ia
sedang melakukannya, seorang anak laki-laki dengan topi kumuh berlarian
mendekat, menjambret sebuah apel dari dalam keranjang, dan mencoba
menyelinap pergi. Tetapi wanita tua itu melihat perbuatannya, dan sambil
membalikkan tubuh, menangkap lengan baju anak itu. Si anak mulai
meronta-ronta, mencoba melepaskan dirinya, tetapi wanita tua itu
menahannya dengan kedua tangan, menampar jatuh topinya, dan menjambak
rambutnya. Anak laki-laki itu menjerit dan wanita itu memaki. Martin
menjatuhkan jarum sepatunya, tidak lagi menunggu untuk menusuknya ke
tempatnya, dan bergegas melewati pintu ke luar. Sambil terperosok
menaiki tangga dan menjatuhkan kacamatanya saking terburu-buru, ia lari
ke jalan. Wanita tua itu sedang menjambak rambut si anak laki-laki dan
memakinya, dan mengancam akan membawanya ke polisi. Anak itu
meronta-ronta dan memprotes berkata, "Aku tidak mengambilnya. Mengapa
aku dipukul? Lepaskan aku!"
Martin melerai mereka. Ia memegang
tangan anak itu dan berkata, "Lepaskan dia, Nenek. Ampuni dia demi
Kristus."
"Aku akan menghajar dia, biar
sampai satu tahun lamanya ia akan masih mengingatnya! Aku akan membawa
bangsat ini ke polisi!"
Martin mulai memohon kepada wanita
tua itu.
"Lepaskan dia, Nenek. Ia tidak akan
melakukannya lagi."
Wanita tua itu melepaskannya, dan
anak laki-laki itu mau lari pergi tetapi Martin menahannya.
"Minta maaf dulu kepada Nenek!"
katanya. "Dan jangan melakukan lagi lain kali. Aku melihat kamu
mengambil apel itu."
Anak laki-laki itu mulai menangis
dan meminta maaf.
"Bagus begitu. Nah, ini satu apel
untukmu," dan Martin mengambil apel dari keranjang dan memberinya kepada
anak itu, sambil berkata, "Aku akan membayarmu, Nenek."
"Kau hanya memanjakan mereka denan
cara begitu, bangsat-bangsat muda itu," kata si wanita tua. "Ia
seharusnya dipecut sedemikian rupa sampai selama satu minggu ia akan
terus mengingatnya."
"Oh, Nenek, Nenek," kata Martin,
"itulah cara kita - tetapi bukan cara Tuhan. Jika ia harus dipecut untuk
mencuri sebuah apel, ganjaran apa harus kita dapat untuk dosa-dosa kita?
Wanita tua itu terdiam.
Dan Martin menceritakan kepadanya
perumpamaan tentang raja yang menghapus hutang besar hambanya, dan
bagaimana si hamba pergi dan mencekik orang yang berhutang sedikit
kepadanya. Wanita tua itu mendengarkan semua, dan anak laki-laki itu
juga turut mendengarkan.
"Tuhan meminta kita agar kita mau
mengampuni," kata Martin, "karena kalau kita tidak mau mengampuni maka
kita tidak akan diampuni. Ampuni setiap orang, dan terutama anak muda
yang berbuat salah."
Wanita itu menggeleng-geleng kepala
dan menghela nafas.
"Semua itu memang benar sekali,"
katanya, "tetapi mereka semakin manja dan semakin rusak."
"Oleh karena itu maka kita yang tua
harus menunjukkan kepada mereka jalan-jalan yang baik," Martin menjawab.
"Itulah yang kukatakan," kata
wanita tua itu. "Aku sendiri punya tujuh anak, dan hanya satu anak
perempuan yang masih ada." Dan wanita tua itu menceritakan kepada mereka
bagaimana dan di mana ia dan anak perempuannya tinggal dan berapa banyak
cucunya. "Nah," katanya, "aku tidak begitu kuat lagi, tetapi aku bekerja
keras demi cucu-cucuku; dan mereka anak-anak manis. Tidak ada yang ke
luar rumah menyambutku kecuali anak-anak itu. Si kecil Annie,nah dia
begitu dekat sekali denganku dan menyayangi aku. Darinya selalu
terdengar, "Nenek, nenek sayang, nenek tercinta." Dan wanita tua itu
menjadi terharu waktu memikirkannya
Sementara wanita tua itu mau
menaikkan kantong ke punggungnya, anak laki-laki itu melompat ke depan,
sambil berkata, "Biarlah aku yang membawanya Nenek. Aku juga pergi ke
arah yang sama."
Si wanita tua mengangguk, dan
meletakkan kantong itu di punggung si anak laki-laki, dan mereka berdua
berjalan menyusuri jalan bersama, sementara wanita tua itu sama sekali
lupa untuk meminta Martin membayar uang apel. Martin berdiri
memperhatikan mereka.
Waktu mereka sudah tidak nampak
lagi, Martin masuk ke dalam rumah. Setelah menemukan bahwa kacamatanya
yang jatuh tidak pecah di undak-undak tangga, ia memungut jarum
sepatunya dan duduk meneruskan pekerjaannya. Ia bekerja sebentar, tetapi
tidak lama kemudian tidak bisa melihat lubang-lubang pada kulit untuk
memasukkan benang sepatu ke dalamnya, dan segera, ia melihat penyala
lampu jalanan lewat sambil menyalakan lampu-lampu di jalan.
"Rupanya sudah waktu menyalakan
lampu," pikirnya. Jadi ia menggunting sumbu lampunya yang sudah hangus,
menyalakan dan mengantungnya, dan duduk lagi untuk bekerja. Ia
menyelesaikan sebuah sepatu but dan, sambil membalikkan sepatu itu, ia
memeriksanya. Pekerjaannya rapi. Kemudian ia mengumpulkan semua
peralatannya, menyapu semua potongan-potongan, menyimpan benang dan
jarum, dan setelah menurunkan lampu, ia menempatkannya di atas meja.
Kemudian ia mengelurkan Injil dari
rak. Ia bermaksud membukanya, di tempat yang ia beri tanda malam
sebelumnya dengan sepotong kain tetapi buku itu terbuka di tempat lain.
Sementara Martin membukanya, ia terpikir kembali akan mimpinya semalam,
dan baru saja ia memikirkannya waktu ia seakan akan mendengar langkah
kaki, seakan ada orang yang bergerak di belakangnya. Martin membalikkan
tubuh, dan ia merasa seakan ada banyak orang berdiri di pojok gelap,
tetapi ia tidak bisa melihat jelas siapa mereka. Dan satu suara berbisik
di telinganya, "Martin, Martin, apakah kau tidak mengenal aku?"
"Siapa?" Martin berbisik.
"Aku," kata suara itu. Dan dari
pojok gelap itu melangkah ke luar Stepanitch, yang tersenyum dan
menghilang bagaikan awan dan tidak tampak lagi.
"Aku," kata satu suara lagi. Dan
dari dalam kegelapan muncul wanita dengan bayi dalam pelukannya, dan
wanita itu tersenyum dan bayi itu tertawa, dan mereka juga menghilang.
"Aku," kata satu suara sekali lagi.
Dan wanita tua dan si anak laki-laki dengan apel melangkah maju dan
mereka berdua tersenyum, dan mereka juga menghilang.
Dan jiwa Martin sangat bergembira.
Ia membuat tanda salib, mengenakan kacamatanya, dan mulai membaca Injil
tepat di tempat kitab itu terbuka. Dan di bagian atas halaman ia
membaca:
Ketika aku lapar, kamu memberi
aku makan; ketika aku haus, kamu memberi aku minum; ketika aku seorang
asing, kamu memberi aku tumpangan.
Dan di dasar halaman ia membaca:
Sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk aku.
Dan Martin mengerti bahwa impiannya
sudah menjadi kenyataan, dan bahwa Juruselamat benar-benar sudah datang
kepadanya di hari itu, dan bahwa ia telah menyambutnya dengan sukacita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar