Beberapa pertanyaan tentang perbedaan di antara orang Kristen yang
sejati dan palsu
1. "Jika kedua kelompok itu sangat mirip dalam banyak hal,
lalu bagaimana cara agar kita bisa mengenali karakter kita sendiri, atau
mengetahui di dalam kelompok mana kita berada?"
Kita sama-sama tahu bahwa hati ini sangat penuh dengan tipu
daya, dan memang sangat licik (Yer. 17:9), jadi bagaimana kita bisa tahu
bahwa kita memang mengasihi Allah dan juga kekudusan, atau kita ini
sekadar mencari imbalan dari Allah, mengejar tempat di surga demi
kepentingan pribadi?
Jika kita benar-benar memiliki kebajikan, hal itu akan tampak
dari tindakan kita sehari-hari.
Jika di dalam cara kita berurusan
dengan orang lain itu kita dilandasi oleh watak yang egois, maka
keegoisan itu juga akan melandasi cara kita berurusan dengan Allah. "Jikalau seorang berkata:
'Aku
mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta,
karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak
mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1 Yoh 4:20).
Menjadi seorang Kristen bukan sekadar urusan mengasihi Allah,
melainkan juga hal mengasihi sesama manusia. Dan jika tindakan
sehari-hari kita dilandasi oleh keegoisan, maka kita ini bukan orang
yang sudah bertobat - sebab, jika kita tetap tergolong sebagai orang
Kristen, maka itu berarti kita bisa menjadi seorang Kristen tanpa
mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Jika Anda tidak egois, maka tanggungjawab spiritual Anda tidak
akan menjadi suatu beban bagi Anda. Sebagian orang mengerjakan perintah Allah dengan sikap hati yang sama
seperti seorang pasien yang meminum obat dari dokter - yakni karena dia
berharap untuk bisa mendapatkan hasil yang baik buat dirinya pribadi,
dan dia tahu bahwa dia harus meminumnya atau menghadapi kematian.
Pelaksanaan itu selalu dia jalankan atas rasa terpaksa.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda akan sangat dipengaruhi
oleh seberapa tinggi harapan Anda untuk bisa masuk ke surga.
Saat Anda merasa sangat yakin bahwa Anda akan masuk surga,
maka Anda akan sangat menikmati kehidupan Kristen Anda. Sukacita Anda
bergantung pada harapan Anda, bukan karena kasih Anda pada hal-hal yang
sedang Anda harapkan itu. Saya tidak menyatakan bahwa orang-orang kudus
itu tidak bersukacita akan pengharapan mereka, akan tetapi harapan itu
sendiri bukan hal yang terpenting bagi mereka. Mereka tidak banyak
memikirkan tentang harapan pribadi mereka karena pikiran mereka tersita
akan hal-hal yang jauh lebih bernilai.
Jika Anda egois, maka sukacita Anda lebih banyak dipengaruhi
oleh penantian akan harapan pribadi Anda. Orang-orang kudus yang sejati bersukacita di dalam damai sejahtera yang
datang dari Allah dan surga sudah terbentuk di dalam jiwa mereka. Ia
tidak menunggu sampai mati nanti baru akan menikmati sukacita hidup
kekal. Sukacitanya begerak sejajar dengan kekudusannya, bukan dengan
harapan pribadinya.
Orang yang terperdaya atau tersesat hanya mengejar hasil dari
ketaatan, sedangkan orang kudus memiliki jiwa yang taat.
Ini adalah perbedaan yang penting, dan saya kuatir hanya
sedikit orang yang bisa memiliki jiwa yang taat itu. Orang kudus yang
sejati memang benar-benar memiliki kecenderungan untuk taat, dan
ketaatannya itu bersumber dari dalam hatinya - oleh karenanya, ketaatan
itu menjadi hal yang mudah baginya. Petobat palsu bertekad untuk menjadi
kudus karena tahu bahwa hanya itu jalan untuk mengejar kebahagiaan.
Orang kudus yang sejati memilih kekudusan karena kasihnya pada
kekudusan, dan dia memang kudus.
Petobat yang sejati dan yang palsu juga memiliki perbedaan
dalam iman mereka.
Orang kudus sejati memiliki keyakinan akan kepribadian dan
karakter Allah, dan keyakinan ini membawa mereka pada ketaatan yang
sepenuh hati kepada Allah. Keyakinan yang sejati kepada janji-janji
khusus Tuhan bergantung pada keyakinan akan kepribadian Allah. Hanya ada
dua dasar bagi segala jenis pemerintahan, baik yang ilahi maupun yang
manusiawi, yang ditaati karena ditakuti atau karena dipercaya. Segala
jenis ketaatan bersumber dari salah satu dari kedua prinsip itu.
Di satu sisi, orang menjadi taat karena berharap mendapat
imbalan atau takut akan hukuman. Sedangkan di sisi lain, ketaatan itu
datang dari keyakinan akan karakter dari pemerintahan, yang dijalankan
dengan kasih. Seorang anak mentaati orang tuanya karena dia mengasihi
dan mempercayai mereka. Yang lain mungkin menunjukkan ketaatan di
permukaan saja karena dilandasi oleh rasa takut dan harapan akan
imbalan. Petobat yang sejati memiliki iman, atau keyakinan kepada Allah,
yang mendorong dia untuk taat kepada Allah atas dasar kasih. Inilah yang
disebut ketaatan iman.
Orang yang tersesat hanya memiliki iman yang separuh-separuh,
begitu pula dengan ketaatannya. Iblis juga memiliki iman yang
separuh-separuh. Dia percaya dan gemetar ketakutan. Seseorang mungkin
meyakini bahwa Kristus datang untuk menyelamatkan orang berdosa, dan
berdasarkan pengetahuan itu maka dia mentaati Kristus untuk
diselamatkan. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya tunduk pada kedaulatan
Kristus, atau memberi Kristus kendali atas kehidupannya.
Ketaatannya dilandasi oleh syarat bahwa dia akan diselamatkan.
Dia tidak pernah dengan sepenuh hati - tanpa menyimpan sesuatu hal lain
di hatinya - meyakini segenap kepribadian Allah sehingga membuat dia
bisa berkata, "Kehendak-Mu jadilah." Keyakinan agamanya berbentuk
keyakinan akan seperangkat aturan atau hukum. Jenis yang lainnya lagi,
memiliki Injil iman; kepercayaannya berlandasakan iman. Yang satu egois,
yang satunya lagi dilandasi kebajikan. Di sinilah letak perbedaan sejati
dari kedua kelompok tersebut. Kehidupan keagamaan yang satu hanya tampak
di permukaan dan bersifat munafik. Yang satunya lagi bersumber dari
dalam hati - kudus dan berkenan kepada Allah.
Jika Anda egois, maka Anda hanya bersukacita atas pertobatan
seseorang di mana Anda memiliki peranan di dalamnya.
Anda hanya sedikit merasa puas jika pertobatan itu terjadi
melalui peranan orang lain. Orang yang egois bersukacita saat dia yang
beraktifitas dan berhasil mempertobatkan orang berdosa, karena dia
berpikir bahwa dengan itu dia akan menerima imbalan. Akan tetapi dia
akan menjadi iri saat melihat orang lain membimbing seorang berdosa
kepada Kristus. Orang kudus yang sejati bersukacita melihat orang lain
bisa menunjukkan bahwa dia berguna, dan bersukacita melihat seorang
berdosa dipertobatkan melalui peranan orang lain, seolah-olah dia juga
ikut ambil bagian dari peristiwa itu
2. "Bukankah saya juga perlu
memperhatikan kebahagiaan pribadi saya?"
Tidak salah jika Anda peduli dengan kebahagiaan pribadi Anda
sesuai dengan nilai relatifnya. Takarlah kebahagiaan pribadi Anda itu
terhadap kemuliaan Allah dan juga kebaikan bagi alam semesta, kemudian
baru Anda putuskan - berilah nilai yang sesuai bagi kebahagiaan pribadi
Anda itu. Itulah hal yang telah dilakukan oleh Allah. Dan makna inilah
yang Dia maksudkan ketika Dia memberi Anda perintah untuk mengasihi
sesama manusia seperti diri Anda sendiri.
Menarik sekali, semakin Anda abaikan kebahagiaan pribadi Anda,
maka Anda akan menjadi semakin bahagia. Kebahagiaan yang sejati terutama
diisi oleh pemenuhan hasrat-hasrat yang tidak egois. Jika Anda bermaksud
mengerjakan sesuatu karena memang mengasihi hal yang Anda kerjakan itu,
maka kebahagiaan Anda akan bergerak sejajar dengan pancapaian Anda dalam
tindakan tersebut. Namun jika Anda berbuat baik hanya untuk
mempertahankan kebahagiaan Anda, maka Anda akan gagal. Anda akan seperti
anak kecil yang sedang mengejar bayangannya sendiri; dia tidak akan
pernah berhasil mendapatkannya, karena bayangan itu akan selalu memiliki
jarak dengannya.
3. "Bukankah Kristus memandang
bahwa sukacita itu terletak di depan-Nya?"
Memang benar bahwa Yesus mengabaikan rasa malu dan memikul
salib, dan memandang kebahagiaan yang terbentang di hadapan-Nya. Akan
tetapi kebahagiaan macam apakah yang terbentang di hadapan-Nya itu?
Bukan keselamatan pribadi-Nya, bukan sukacita-Nya sendiri, melainkan
kebaikan luar biasa yang akan Dia kerjakan bagi keselamatan dunia.
Kebahagiaan orang lainlah yang menjadi tujuan-Nya. Dengan demikian,
kebahagiaan itu memang terbentang di hadapan-Nya...dan memang kebahagiaan
itulah yang Dia dapatkan.
4. "Bukanlah Musa juga mencari
imbalan?"
Benar, Musa mencari imbalan. Namun apakah imbalan itu demi
keuntungan pribadinya? Jauh dari itu. Hadiah itu adalah keselamatan bag
umat Israel. Pernah Allah berniat membinasakan umat Israel membangun
satu bangsa besar dari keturunan Musa. Jika Musa egois, tentunya dia
akan berkata, "Benar, Tuhan, Biarlah terjadi seperti yang Kau kehendaki
atas hamba-Mu ini." Namun apa yang dia katakan? Mengapa hatinya begitu
terpaku pada keselamatan umatnya, dan juga kemuliaan Allah, sehingga dia
bahkan tidak berpikir untuk menerima niatan Tuhan tersebut. Sebaliknya,
dia justru berkata, "Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa
mereka itu dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam
kitab yang telah Kautulis." (Kel. 32:32). Tanggapans semacam ini
tidak keluar dari orang yang egois.
5. "Bukankah Alkitab berkata
bahwa kita ini mengasihi Allah karena Allah lebih dulu mengasihi kita?"
Memang ada disebutkan, "Kita mengasihi, karena Allah lebih
dahulu mengasihi kita." (1 Yoh 4:19). Kalimat itu memiliki dua macam
makna:
1) Kasih-Nya kepada kita
memungkinkan kita untuk mengasihi Dia; atau 2) Kita ini mengasihi Dia
karena kebaikan dan pemihakan yang telah Dia tunjukkan kepada kita.
Makna yang kedua itu jelas tidak benar karena Yesus Kristus dengan jelas
menyatakan satu prinsip di dalam Khotbah di Bukit: "Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi
kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga
orang-orang yang mengasihi mereka." (Luk 6:32).
Jika kita mengasihi Allah, bukan karena kepribadian-Nya
melainkan karena pemihakan-Nya kepada kita, berarti kita ini tidak ada
bedanya dengan orang yang belum bertobat.
6. "Bukankah Alkitab menawarkan
kebahagiaan sebagai upah dari kebenaran?"
Alkitab menyebutkan kebahagiaan sebagai hasil dari
kebenaran, akan tetapi tidak ada disebutkan bahwa kebahagiaan Anda itu
adalah alasan untuk berbuat baik.
7. "Mengapa Alkitab terus
berbicara tentang harapan dan ketakutan pada manusia jika kepedulian
akan kebahagiaan pribadi Anda bukanlah suatu motif yang tepat bagi
tindakan-tindakan Anda?"
Manusia pada dasarnya cenderung untuk merusak, dan memang
tidaklah salah bertindak menghindarinya. Kita memang boleh peduli akan
kebahagiaan kita, namun selalu dengan penilaian yang wajar.
Dan juga, manusia itu mabuk dengan dosa-dosa sehingga Allah
tidak bisa masuk ke dalam perhatian mereka, agar mereka bisa
mempertimbangkan tentang kepribadian-Nya yang sejati dan alasan-alasan
untuk mengasihi Dia, kecuali jika Dia bergerak mengincar harapan dan
ketakutan-ketakutan mereka. Namun begitu mereka disadarkan, maka Dia
akan menawarkan Injil kepada mereka. Saat seorang penginjil berkhotbah
tentang kengerian yang berasal dari Tuhan, sehingga pendengarnya
terkejut dan tersadar, selanjutnya dia akan menyampaikan tentang
kepribadian Allah kepada mereka, untuk menarik hati mereka agar
mengasihi Dia karena kesempurnaan karakter-Nya itu.
8. "Bukankah Injil menawarkan
pengampunan sebagai dasar bagi motivasi ketaatan?"
Jika yang Anda maksudkan adalah bahwa seorang berdosa disuruh
untuk bertobat dengan janji bahwa dia akan diampuni, maka perlu
saya katakan bahwa Alkitab tidak pernah menyampaikan hal yang semacam
itu. Alkitab tidak pernah mendorong seorang berdosa untuk berkata, "Aku
akan betobat jika Engkau mau mengampuni." Dan memang tidak ada tawaran
pengampunan sebagai pendorong untuk pertobatan.
Beberapa catatan penutup
1. Sebagian orang lebih giat mempertobatkan orang berdosa daripada
mengupayakan pengudusan jemaat dan pemuliaan nama Allah melalui
perbuatan baik umat-Nya.
Banyak orang yang ingin melihat orang lain diselamatkan, bukan
karena kehidupan dan perbuatan orang itu menyakiti serta mempermalukan
Allah, melainkan karena mereka prihatin akan orang tersebut dan tidak
ingin melihat dia masuk neraka. Orang kudus sejati merasa sedih melihat
dosa, karena dosa mempermalukan nama Allah. Dan mereka paling prihatin
saat melihat orang Kristen berbuat dosa karena itu bahkan lebih
mempermalukan Allah.
Sebagian orang tampaknya tak begitu peduli akan keadaan
Jemaat, selama mereka bisa mempertobatkan lebih banyak orang lain, bagi
mereka 'keberhasilan' penginjilan sama dengan 'keberhasilan' Jemaat,
namun mereka tidak begitu peduli apakah Allah dipermalukan atau
dipermuliakan lewat kehidupan Jemaat itu. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka tidak didorong oleh kasih yang murni kepada Allah dan kekudusan,
melainkan pada perasaan manusiawi mereka terhadap si orang berdosa itu.
2. Berdasarkan semua hal yang telah saya sampaikan itu, sangatlah mudah
untuk memahami mengapa banyak orang yang mengaku Kristen namun memiliki
pandangan yang begitu berbeda tentang apa sebenarnya Injil itu
Sebagian orang memandang Injil hanya sebagai suatu hiburan
saja bagi umat manusia, di mana Allah ternyata bukanlah Pribadi yang
seketat apa yang disampaikan dalam Hukum Taurat. Mereka mengira bahwa
mereka bisa menjadi seduniawi apapun, dan Injil akan tetap menutupi
kekurangan mereka serta menyelamatkan mereka.
Yang lain lagi, memandang Injil sebagai karunia ilahi dari
Allah, dengan tujuan utama memusnahkan dosa dan menumbuhkan kekudusan.
Oleh karenanya, kekudusan yang kurang dari yang dituntut dari dalam
hukum Taurat adalah hal yang sangat mereka tolak, nilai Injil justru
terletak dari kuasa untuk menjadikan mereka kudus.
"Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam
iman. Selidikilah dirimu! Atau, apakah kamu tidak menyadari bahwa
Kristus Yesus ada di dalam diri kamu - melainkan kamu tidak tahan uji."
(2 Kor 13.5 NASB)"
(Artikel
ini diedit dan disusun ulang oleh Melody Green & Martin Bennet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar