Philip Yancey
Memandang ke sekeliling
Di awal perjalanan ziarah hidup saya ketika kembali
lagi ke dalam kehidupan bergereja, saya membuat kesalahan dengan mencari
gereja yang terdiri dari orang-orang seperti saya.
Saya mencari jemaat
yang berpendidikan setingkat, dengan pengetahuan Alkitab yang sama, dan
mempunyai kesukaan yang sama dalam himne dan liturgi. Dengan cara yang
berbeda, sebenarnya saya sedang mengulangi kesalahan yang sama dengan
gereja masa kanak-kanak saya, yang mencoba untuk menyingkirkan segala
sesuatu tanda yang berbeda. Gereja masa kecil saya tidak menerima orang
yang mempunyai kulit berwarna, merendahkan gaya emosional dari
penyembahan gereja-gereja orang-orang kulit hitam yang ada di seberang
kota, dan mencerca Pantekosta dan yang lainnya yang mempunyai pandangan
yang berbeda tentang karunia-karunia rohani. Sebagai akibatnya kami
mempunyai bentuk penyembahan yang miskin dan lemah.
Walaupun saya sudah pernah menghadiri banyak gereja
di dalam beberapa tahun terakhir ini, saya banyak belajar tentang gereja
dari LaSalle Street Church yang berada di tengah kota Chicago.
LaSalle
mempunyai perselisihan yang sama tentang gaya penyembahan, pergumulan
yang sama dalam keuangan, dan campuran orang-orang Kristen yang
berkomitmen dan yang tidak sebagaimana yang ditemukan di kebanyakan
gereja. Gereja tersebut sama sekali bukan sebuah gereja yang sempurna.
Tetapi ketika saya melihat kembali ke belakang, selama tigabelas tahun
saya di gereja itu, saya mendapatkan banyak hal penting yang mengajarkan
kepada saya tentang apa dan bagaimana seharusnya sebuah gereja.
Pada waktu saya mulai menghadiri La Salle Street
Church, saya sudah menganggap gereja adalah sesautu yang perlu sebagai
suatu kedisplinan rohani. Sangat mengherankan, hari Minggu pagi menjadi
sesuatu yang sangat saya nanti-nantikan dan bukan sesuatu yang
menakutkan Mengapa? Saya menghargai kegembiraan dari berbagai macam
orang yang menghadiri La Salle. Di sana, saya belajar untuk memandang ke
sekeliling dan juga ke atas. Saya memuji Tuhan di antara orang-orang
yang sudah jelas berbeda dengan saya.
Gereja tersebut berada di tengah-tengah masyarakat
yang paling kaya dan yang paling miskin di Chicago. Dua blok ke timur
terletak Gold Coast, yang berpenghasilan rata-rata $50,000; dua blok ke
barat terletak proyek perumahan Cabrini-Green yang berpenghasilan di
bawah $3,500. LaSalle mencoba berperan sebagai "gereja yang
menjembatani" di antara dua macam masyarakat tersebut.
LaSalle menjadi gereja pertama yang memberikan
kepada saya wawasan tentang perbedaan.
Di pagi hari, banyak sukarelawan
yang memasak untuk sarapan gratis bagi penduduk miskin yang datang untuk
memuji Tuhan. Saya menemukan - banyak orang-orang gelandangan yang
berbakti di sana. Setengah dari para gelandangan ini adalah orang
Afrika-Amerika, setengahnya lagi adalah orang berkulit putih. Di pagi
hari yang dingin, banyak gelandangan yang mengantri untuk sarapan gratis
juga, dan kadangkala mereka masuk lalu duduk dan kemudian berdengkur
dengan kerasnya selama berlangsungnya kebaktian pagi.
Di antara jemaat itu juga terdapat mahasiswa Ph.D
dari sekolah yang bergengsi seperti Universitas Northwestern dan
Chicago, dokter, pengacara, dan masih banyak lagi orang profesional yang
berpendidikan. Karena keanekaragaman ini, setiap kali saya mengajar atau
berkhotbah, saya berusaha untuk menjaga agar khotbah saya dapat diterima
secara umum. Apakah kata-kata saya mengandung arti untuk orang yang
tidak berpendidikan dan juga untuk mahasiswa teologi?
Saya kagum dengan kemampuan Injil untuk berbicara
bergantian kepada para profesional kaya dan juga kepada para gelandangan
yang tanpa pendidikan. Dan saya mulai merindukan gereja sebagai tempat
yang mengelilingi saya dengan orang-orang yang berbeda dengan saya. Di
luar kita tidak mempunyai banyak persamaan, tetapi komitmen kita kepada
Yesus Kristus membawa banyak persamaan.
Sekali waktu, saya pernah menghadiri sebuah retreat
akhir pekan yang diadakan oleh Scott Peck, yang mengundang sepuluh orang
Yahudi, sepuluh orang Kristen, dan sepuluh orang Muslim untuk menguji
teorinya tentang kemasyarakatan. Peck percaya bahwa kebanyakan orang
melihat mundur ke belakang: kita berpikir bahwa sebuah masyarakat
terbentuk sesudah orang-orang yang berbeda itu menyelesaikan konflik
mereka.
Contohnya di Timur Tengah, para pemimpin dari perselisihan ini
berkumpul bersama dan menandatangani pejanjian perdamaian dan sesudah
itu mungkin (atau tidak) orang-orangnya akan hidup dengan damai. Menurut
Peck, kedamaian pertama-tama akan datang dengan sendirinya jika para
pemimpin terlebih dahulu mau belajar untuk hidup di dalam masyarakatnya
itu dan kemudian bekerja sama untuk menyelesaikan masalah.
Saya selalu merasa sangat bersyukur dapat berakhir
pekan dengan Peck karena retreat itu mengajarkan kepada saya masyarakat
seperti apakah yang seharusnya gereja perjuangkan. Orang Kristen yang
berdasarkan komunitas dan kasih Allah yang mengampuni lebih penting
daripada perbedaan kebangsaan, ras, kelas, usia dan jenis kelamin.
Seharusnya persamaan kita menjadi hal yang terpenting melebihi hal-hal
yang dapat memisahkan kita.
Di LaSalle dan beberapa tempat lainnya, saya
melihat sekilas tentang apa yang dapat terjadi ketika masyarakat
melingkari persamaan-persamaan mereka. Pada waktu satu keluarga Tuhan
muncul, seseorang yang berada di dalam kesatuan tidak berarti adanya
keseragaman dan juga tidak berarti bahwa perbedaan adalah perpecahan.
Kita sering lupa bahwa sesungguhnya gereja Kristen
adalah institusi pertama di dalam sejarah dunia yang membawa persatuan
terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi, laki-laki dan
perempuan, budak dan orang merdeka.
Orang Kristen mula-mula meruntuhkan
penghalang-penghalang tersebut. Orang-orang Yunani memisahkan para budak
dari kelompok sosial mereka, sedangkan orang-orang Kristen memasukkan
mereka ke dalam lingkungannya. Orang-orang Yahudi memisahkan para
penyembah menurut suku dan jenis kelamin; dan orang-orang Kristen
membawa mereka bersama-sama mengelilingi meja Tuhan. Berbeda dengan
gereja Roma yang kebanyakan menekankan kearistokratan kaum laki-laki,
sebaliknya orang Kristen membiarkan kaum wanita dan orang miskin untuk
ikut ambil bagian di dalam kepemimpinan.
Saya sadar, tentu saja, bahwa perbedaan itu sendiri
mempunyai pelbagai macam bentuk. Bahkan semua gereja kulit putih ataupun
kulit hitam mempunyai keanekaragaman dalam usia kelompok dan latar
belakang pendidikan, demikian juga kelas sosial ekonomi. Gereja adalah
suatu tempat yang saya kunjungi setiap Minggu yang menyatukan semua
generasi: bayi-bayi yang masih menyusui berada di dalam dekapan ibunya,
anak-anak yang bergerak ke sana ke mari dan tertawa-tawa pada waktu yang
tidak tepat, orang dewasa yang bertanggungjawab yang tahu cara
bertingkah laku secara tepat sepanjang waktu, dan orangtua yang
seringkali tertidur kalau pendetannya berkhotbah terlalu lama.
Sekarang ketika saya mencari sebuah gereja, saya
memandang ke sekeliling saya ke arah orang-orang yang duduk di bangku
atau kursi gereja. Saya belajar banyak dari gaya menyembah orang-orang
Afrika-Amerika dan orang-orang Pantekosta, dari iman yang kuat dari para
gelandangan, dari kerepotan sehari-hari para ibu dengan anak-anak
balitanya. Saya benar-benar merindukan jemaat yang terdiri dari orang -
orang yang berbeda dengan saya.
(Dikutip dan diedit seperlunya dari buku Gereja:
Mengapa dirisaukan?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar