(Bagian keenam dari studi sistematis tentang keselamatan)
oleh Pendeta Eric Chang
Di pesan
yang lalu kita membahas tentang kasih karunia Allah - tentang makna
kasih karunia. Kita melihat bahwa kasih karunia adalah Allah memberikan
diri sepenuhnya kepada kita melalui Kristus. Seperti yang Paulus
sampaikan di dalam Roma 8:32, Allah "yang tidak menyayangkan Anak-Nya
sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua." Allah
menyerahkan anakNya kepada kita semua. Suatu pemahaman tentang kasih
karunia yang sangat indah! Di pesan yang lalu (Keselamatan dan Kasih
Karunia), kita juga melihat bahwa iman adalah tanggapan kita kepada
kasih karunia dari Allah itu.
Jadi, pada
dasarnya, iman adalah tanggapan kepada Allah, namun kita juga telah
melihat bahwa iman secara sendirian tidak akan menyumbangkan apa-apa
bagi karya keselamatan, karena apa yang kita perbuat adalah seperti
menyerahkan diri kita ke dalam penanganan dokter. Penyerahan diri
seseorang ke dalam penanganan dokter tidak menyumbangkan apa-apa bagi
tindakan operasi, atau tindakan apapun yang dilakukan dalam
penyembuhannya. Hal ini bukan berarti bahwa iman itu tidak penting.
Tentu saja, iman itu sangatlah penting, karena kita telah melihat bahwa
jika si pasien tidak menempatkan dirinya ke dalam penaganan dokter, maka
sekalipun dokter yang terbaik di dunia ini juga tidak akan bisa
menyembuhkannya. Jadi, iman adalah penyerahan diri sepenuhnya dalam
pengertian menempatkan diri Anda sepenuhnya ke dalam tangan Allah,
supaya Dia bisa menyembuhkan Anda. Namun hari ini, kita perlu memeriksa
lebih lanjut, apakah makna iman yang sejati?
Kasih
karunia dan tanggung jawab
Kasih
karunia adalah unsur yang selalu ada di dalam hidup kita. Tak ada saat
di dalam kehidupan Kristen di mana kita tidak membutuhkan kasih karunia
lagi karena bahkan pekerjaan yang sedang kita jalankan adalah pekerjaan
kasih karunia. Artinya, bahkan pelayanan yang sedang saya jalankan, buah
yang saya hasilkan di dalam kehidupan Kristen saya, adalah buah dari
kasih karunia. Ini berarti bahwa setiap bagian kehidupan Kristen
bergantung pada kasih karunia. Namun jika kita berkata bahwa segala
sesuatunya bergantung pada kasih karunia, lalu hal apa yang tersisa
untuk dikerjakan oleh manusia? Jika kita menekankan kasih karunia sampai
pada poin bahwa segala sesuatunya bergantung kepada Allah, lalu hal apa
yang bergantung kepada kita? Maksud saya, jika segalanya bergantung pada
kasih karunia, adakah tanggung jawab yang tersisa bagi manusia?
Di zaman
sekarang ini, di dalam khotbah dan pengajaran di tengah gereja, ada
bahaya penekanan yang berlebihan pada kasih karunia sehingga manusia
tidak masuk hitungan lagi. Allah yang mengerjakan segala sesuatunya,
sampai pada titik di mana manusia tidak perlu berbuat apa-apa lagi;
keselamatan itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Allah dan bukan
tanggung jawab kita. Apakah ini benar?
Apakah
segala sesuatunya bergantung sepenuhnya kepada kasih karunia saja
sehingga upaya, perbuatan dan tanggung jawab manusia, dalam hal apapun,
tidak masuk hitungan. Jika demikian halnya, entah saya meresponi atau
tidak, hal itu tidak menjadi masalah. Karena segala sesuatu bergantung
pada kasih karunia, berarti saya pasif sepenuhnya, saya tidak perlu
melakukan apapun. Di sini, Anda bisa melihat bagaimana ajaran yang benar
bisa diterapkan secara salah dan berujung pada suatu kekeliruan yang
besar.
Suatu kali
ketika saya sedang berkunjung ke Swiss saya tidak tahu akan ke gereja
mana pada hari Minggu. Sambil berjalan kaki saya melihat-lihat siapa
tahu bertemu dengan sebuah gereja. Melihat ada sebuah gereja, saya
langsung masuk ke sana. Khotbah yang disampaikan adalah tentang
kedaulatan Allah, bahwa segala sesuatunya berdasarkan kasih karunia dan
kuasaNya. Sejauh ini, segalanya baik-baik saja. Pernyataan itu memang
benar. Namun kemudian, pengkhotbah melanjutkan dengan berkata, "Karena
segala sesuatunya bergantung kepada kasih karunia Allah, berarti tidak
ada hal yang bergantung pada diri Anda! Tak ada hal yang bergantung pada
manusia. Dan ini berarti bahwa Allah akan menyelmatkan siapa yang ingin
Dia selamatkan, dan membinasakan siapa yang ingin Dia binasakan."
Pernahkah
Anda mendengar ajaran ini? Ini adalah pengajaran ekstrim dari kaum
Kalvinis, di mana manusia menjadi tidak ada artinya - manusia menjadi
pasif, tidak mengerjakan apa-apa sama sekali. Inilah persoalannya. Jika
Allahlah yang bekerja di dalam diri Anda untuk menyelamatkan Anda dan
segala sesuatunya bergantung pada kasih karunia, maka apakah Anda sama
sekali tidak berperan? Apakah Anda memiliki tanggung jawab dalam perkara
keselamatan ini?
Namun jika
Anda menjawab, "Ya, kita punya tanggung jawab tertentu," lalu,
bagaimana kita bisa berkata bahwa semua itu karena kasih karunia? Jika
ada bagian yang menjadi tanggung jawab Anda, maka itu berarti bahwa,
bagaimanapun juga, tak semuanya berdasarkan kasih karunia, melainkan ada
sebagian yang merupakan hasil kerja Anda, usaha Anda. Bagaimana kita
memahami hal ini?
Kesalahpahaman: "Iman adalah Anugerah dari Allah"
Ajaran ini
berlanjut dengan mengatakan, "Bahkan iman adalah anugerah atau hadiah
dari Allah." Ini berarti bahwa bahkan iman yang Anda miliki adalah iman
yang diberikan oleh Allah. Anda benar-benar pasif sepenuhnya sehingga
bahkan iman Anda bukanlah iman Anda yang sesungguhnya, ini adalah iman
pemberian dari Allah.
Saudara-saudari, waspadailah kalimat yang terdengar religius dan alim
akan tetapi tidak benar, karena bahkan setan akan tampil sebagai
malaikat terang. Di Matius 24:24, Yesus memperingatkan kita bahwa akan
datang para penyesat yang, jika mungkin, bahkan akan menyesatkan
orang-orang yang terpilih, umat pilihan Allah. Dengan cara apakah Anda
bisa menyesatkan umat pilihan Allah? Jika Anda sampaikan hal yang
sepenuhnya sesat kepada mereka, mereka akan segera melihatnya: "Itu
salah! Kami tidak akan mau ikut ajaran itu!" Satu-satunya jalan bagi
Anda untuk menyesatkan umat pilihan Allah adalah dengan menyampaikan hal
yang terdengar sangat rohani, tetapi tidak sepenuhnya benar. Saya selalu
menyampaikan bahwa kebenaran yang separuh-separuh justru jahu lebih
berbahaya daripada kesesatan total.
Renungkanlah sejenak. Jika iman adalah hadiah dari Allah, maka
pertanyaan saya adalah: Mengapa Allah tidak memberikan hadiah ini kepada
semua orang? Karena Dia tidak memberikan hadiah itu kepada saya, maka
saya tidak bisa memilikinya. Ini berarti bahwa jika Allah tidak memberi
saya iman, tentu saja, saya tidak akan bisa memiliki iman. Ini berarti
bahwa pada Hari Penghakiman nanti, maka saya tidak bersalah atas
ketiadaan iman pada diri saya, karena Allah tidak memberikannya kepada
saya. Bisakah Anda melihat bahaya dari ajaran ini?
Jika saya
berkata kepada orang non-Kristen, "Iman adalah hadiah dari Allah,"
tidakkah menurut Anda semua orang non-Kristen yang bisa bepikir akan
berkata kepada saya, "Aku tidak menjadi Kristen karena Allah tidak
memberi saya iman"? Jika demikian halnya, apalah gunanya saya
memberitakan Injil memohon agar orang-orang mau datang kepada Kristus?
Mereka tidak bisa datang kepada Krsitus, karena satu-satunya jalan bagi
mereka untuk bisa datang kepada Kristus adalah jika Allah memberi mereka
anugerah itu. Jika Allah tidak memberi mereka anugerah itu, maka boleh
saja saya berkhotbah sampai tenggorokan saya kering, namun tidak ada
sesuatu hal yang terjadi.
Persisnya,
hal semacam itulah yang disampaikan oleh pendeta di Swiss itu. Itulah
persisnya, kata-kata yang dia sampaikan. Katanya, "Tak ada gunanya
memberitakan Injil karena jika Allah tidak memberikan hadiah itu, tidak
ada apapun yang terjadi. Mereka yang akan diselamatkan oleh Allah, akan
diselamatkan oleh Allah. Mereka yang tidak akan diselamatkan, Anda boleh
saja berkhotbah sampai mulut Anda kering dan lidah Anda kelu, namun dia
tetap tidak diselamatkan." Itulah sebabnya mengapa saat itu pengkhotbah
itu berkata, "Orang-orang seperti Billy Graham itu bodoh. Mereka bodoh
karena mereka tidak paham bahwa iman itu adalah hadiah dari Allah.
Artinya, jika Allah ingin menyelamatkan seseorang, maka Dia pasti akan
menyelamatkan orang itu - tidak peduli apakah Anda mengkhotbahi dia atau
tidak." Bukankah khotbah itu terdengar religius? Bukankah terdengar
sangat indah betapa Allah mengendalikan segala sesuatunya?
Menerima
kasih karunia menambah tanggung jawab kita
Anda
mungkin berkata kepada saya, "Akan tetapi di pesan yang lalu Anda
berkata bahwa segala sesuatu berdasarkan kasih karunia. Apa bedanya
dengan yang disampaikan oleh pendeta di Swiss itu?" Perbedaannya
sangatlah mendasar. Apa yang saya sampaikan adalah segala sesuatunya
bergantung pada kasih karunia dalam kaitannya dengan karya keselamatan.
Saya
katakan, "Dalam kaitannya dengan karya keselamatan." Apakah yang
dimaksudkan dengan "karya keselamatan"? Artinya, hanya Allah yang bisa
menyingkirkan hukuman dosa. Itulah yang dimaksudkan sebagai karya
keselamatan. Hanya Allah yang bisa menyingkirkan hukuman dosa saya,
dengan dia sendiri melunasi hukuman itu. Saya katakan, "Hanya Dia!" Tak
ada orang lain yang bisa melakukannya. Itulah sebabnya mengapa
keselamatan itu sepenuhnya berdasarkan kasih karunia.
Kedua,
hanya Allah yang bisa menyingkirkan kuasa dosa dari dalam hidup saya.
Tak ada orang lain yang dapat melakukannya! Saya tidak bisa memerdekakan
diri saya sendiri; saya juga tidak bisa memerdekakan orang lain; hanya
Allah, hanya Dia yang bisa memerdekakan kita dari kuasa dosa. Itulah
sebabnya mengapa keselamatan dari dosa adalah hal yang hanya bisa
digenapi olehNya.
Seperti
ilustrasi yang saya pernah berikan. Hanya dokter yang bisa menyembuhkan
penyakit Anda, hanya dia yang bisa membedah Anda; Anda tidak bisa
membedah diri Anda sendiri. Dalam kaitannya dengan hal penyembuhan
medis, Anda tidak berperan apa-apa di dalam kerja penyembuhan itu. Dia
yang menuliskan resepnya; dia yang melakukan pembedahan; dia yang
melakukan diagnosis. Dia yang melakukan semua itu!
Demikianlah, Alkitab mengajarkan kita dengan jelas, bahwa keselamatan
adalah murni kasih karuniaNya. Namun kita tidak boleh menempatkan kasih
karunia sedemikian rupa sehingga menghilangkan tanggung jawab kita.
Sebaliknya, kasih karunia menurut Alkitab justru meingkatkan tanggung
jawab Anda. Inilah yang dikatakan oleh Kitab Suci: "... kepada siapa
yang banyak dipercayakan (yaitu kasih karunia), dari padanya akan
lebih banyak lagi dituntut." [Luk 12:48] Semakin banyak kasih
karunia yang Anda terima, maka semakin berat pula tanggung jawab Anda.
Alkitab mengajarkan hal yang justru bertentangan dengan ajaran dari
pendeta tersebut. Kasih karunia bukan saja tidak menyingkirkan porsi
tanggung jawab Anda, namun sebaliknya, kasih karunia justru menambah
tanggung jawab Anda! Itu berarti bahwa mendengarkan Injil adalah suatu
kesempatan istimewa; adalah suatu kasih karunia. Namun mendengarkan
Injil lalu menolaknya, akan memperberat tanggung jawab Anda.
Mari kita
kembali ke dalam ilustrasi tentang dokter tersebut. Anggaplah Anda
sedang sakit parah, dan Anda tidak tahu harus berbuat apa. Selama Anda
tidak tahu apa yang harus diperbuat, beban tangung jawab Anda sedikit
saja, karena tak ada hal yang bisa Anda perbuat. Tapi sekarang, saya
sampaikan satu kabar baik. Anda sedang sakit, Anda sedang sekarat, dan
saya berkata, "Saya ada kabar baik buatmu! Saya telah menemukan dokter
spesialis yang sangat hebat! Dia bisa menyembuhkanmu." Itulah Injil!
Itulah kabar baiknya. Kabar baik itu sudah datang!
Anggaplah
sesudah Anda mendengarkan kabar baik ini, Anda berkata, "Oh, aku tidak
percaya hal ini. Tak seorangpun yang bisa menyembuhkanku."
Lalu saya
terus berusaha meyakinkan Anda dan berkata, "Dokter ini telah
menyembuhkan begitu banyak orang dengan penyakit yang sama denganmu.
Saya mohon padamu, datangilah dokter ini."
Anda
berkata, "Tidak, aku tidak mempercayainya. Penyakitku ini sudah tidak
bisa disembuhkan lagi, tak seorangpun yang bisa menolongku."
Dapatkah
Anda melihat bahwa setelah saya memberitahu Anda tentang adanya dokter
yang bisa menyembuhkan Anda namun Anda menolaknya, maka penolakan ini
memberatkan tangung jawab Anda? Karena sesungguhnya Anda seharusnya bisa
disembuhkan, namun Anda tidak mengingininya. Fakta bahwa dokter ini bisa
berbuat sesuatu bagi Anda, akan tetapi Anda tidak mau mengunjunginya,
hal ini membuat Anda sendiri bertanggung jawab atas keadaan Anda
sekarang. Dapatkah Anda melihat pokok ini?
Jadi,
saudara-saudari, berhati-hatilah akan ajaran kasih karunia yang sering
kita dengarkan sekarang, yang mengajarkan tentang kasih karunia yang
berhujung pada Anda tidak memiliki tanggung jawab sama sekali. Namun
jika Anda menyadari bahwa hal mendengarkan Firman Allah serta memperoleh
kasih karunia itu malahan memperbesar tanggung jawab Anda, maka itu
berarti bahwa Anda telah memahami arti kasih karunia dengan benar.
Apakah
Efesus 2:8 berkata "Iman adalah hadiah"
Banyak
orang yang mengutip Efesus 2:8, sebagai ayat favorit untuk mengatakan
bahwa iman adalah hadiah dari Allah. Akan tetapi Efesus 2:8 tidak
menyatakan bahwa iman adalah hadiah dari Allah - Sebab karena kasih
karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi
pemberian Allah. Subyek dari ayat 8 ini bukanlah iman, melainkan
keselamatan. Sangatlah penting untuk memahami ayat-ayat tersebut dalam
bahasa aslinya. Dilihat dari segi tata bahasanya Anda akan melihat bahwa
kata 'itu', yang di dalam bahasa Yunaninya menggunakan jenis kata
netral, tidaklah mengacu pada kata 'iman' yang merupakan jenis kata
feminin di dalam bahasa Yunani. Pokok utama ayat Efe 2:8 sama sekali
tidak menyatakan bahwa iman adalah suatu hadiah atau pemberian. Yang
merupakan pemberian itu adalah keselamatan Anda. Seorang ekseget yang
jujur akan segera tahu bahwa subyek dari kalimat ini adalah keselamatan,
bukanya iman. Iman adalah sekadar sarana bagi keselamatan. Ayat ini
tidak berkata, "iman adalah hadiah dari Allah". Iman adalah tanggapan
Anda kepada Allah. Anda bertanggung jawab atas iman Anda. Alkitab tidak
menyebutkan bahwa Allah bertanggung jawab atas iman Anda.
Iman yang
sejati melibatkan perbuatan
Saya akan
berpaling pada Yohanes pasal 6 untuk menjelaskan tentang ciri-ciri iman
yang sejati. Di Yohanes 6:27-29 ada tertulis, "Bekerjalah, bukan
untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang
bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak
Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan
meterai-Nya." Lalu kata mereka kepada-Nya: "Apakah yang harus kami
perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?"
Jawab Yesus kepada mereka: "Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah,
yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah."
Ayat-ayat
ini sangatlah berharga. Sekarang ini, karena adanya penekanan yang salah
tentang kasih karunia; ada ketakutan besar dalam membicarakan tanggung
jawab dan peran manusia dalam kaitannya dengan keselamatan. Ada
ketakutan untuk melibatkan kata 'bekerja' atau 'pekerjaan'. Mereka
begitu takut dengan kata ini, padahal Yesus tidak takut memakai kata ini
dan rasul Paulus tidak takut memakai kata ini.
Di ayat 27,
Yesus berkata, "Bekerjalah, bukan untuk..." - yang berarti,
janganlah bekerja, janganlah pusatkan segenap upayamu untuk mendapatkan
makanan yang akan binasa, tetapi bekerjalah untuk makanan yang
bertahan sampai kepada hidup kekal, yang akan diberikan Anak Manusia
kepadamu. Ini adalah hal yang menarik. Perhatikan unsur mendasar
dari kasih karunia di sini. Makanan yang akan bertahan sampai kepada
hidup kekal, makanan yang akan memberi Anda hidup yang kekal adalah hal
yang hanya bisa diberikan oleh Yesus kepada Anda. Di sana dikatakan, "Yang
akan diberikan Anak Manusia kepadamu." Yakni, hanya dia yang bisa
memberinya kepada Anda. Namun perhatikan, Yesus juga berkata, "Hanya
Anak Manusia yang bisa memberikannya kepadamu, akan tetapi kamu harus
bekerja untuk mendapatkannya." Renungkanlah kalimat ini sekali lagi,
"(Bekerjalah) untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup
kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu." Sungguh sangat
menarik! Dia memberikannya, akan tetapi Anda harus bekerja untuk
mendapatkannya.
Pengajaran
Yesus sangat sempurna, bukankah begitu? Semakin saya mempelajari ajaran
Tuhan, semakin hati saya dipenuhi oleh kekaguman. Saya sangat terpesona
pada ajaran Tuhan. Ajaran manusia tidaklah sempurna, selalu berat
sebelah. Jika mereka menekankan satu hal, mereka akan mengabaikan
sisi-sisi lainnya. Jika mereka menekankan kasih karunia, mereka
mengabaikan perbuatan baik atau pekerjaan. Jika mereka menekankan
pekerjaan atau perbuatan baik dan iman, maka mereka akan melupakan kasih
karunia. Dan saat mereka mengabaikan kasih karunia, mereka akan
menekankan bahwa Anda diselamatkan oleh usaha Anda sendiri, suatu hal
yang tidak akan pernah bisa Anda capai. Demikianlah, manusia tidak bisa
menjaga keseimbangan sudut pandang kebenaran dari Allah. Dapatkah Anda
memahami ajaran yang indah dari Yesus? Sungguh sangat indah!
"Anugerah
hidup kekal dariku ini adalah pemberian buatmu." Hal itulah yang senang
disampaikan oleh para penginjil; mereka hanya menyampaikan potongan
kebenaran yang separuh. Padahal itu bukanlah apa yang disampaikan oleh
Yesus. Dia berkata, "Bekerjalah untuk makanan itu." Bagaimana mungkin
pemberian itu disebut sebagai anugerah atau hadiah jika Anda harus
bekerja untuk mendapatkannya?
Ingatkah
Anda pada orang muda yang kaya? Dia sangat memahami situasinya. Ingatkah
Anda pada pertanyaannya? "Apakah yang harus kuperbuat untuk
memperoleh (mewarisi) hidup yang kekal?" Oh, dia sangat
mengerti! Warisan adalah suatu pemberian. Bagaimana caranya supaya saya
bisa memperoleh warisan? Saya harus menjadi anak seseorang untuk
mendapat warisan. Tak ada hal yang bisa saya usahakan untuk memperoleh
warisan, untuk memperoleh pemberian. Akan tetapi ada satu hal yang bisa
Anda perbuat: Anda bisa menjadi anak Allah untuk memperoleh warisan
dariNya. Anda bisa diangkat menjadi anakNya. Di Yoh 1:12 dikatakan, "Tetapi
semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya"? Demikianlah, kita
bisa melihat bahwa orang muda yang kaya ini tidak mengajukan pertanyaan
yang bodoh. Malahan, kita melihat bahwa pertanyaan ini sangat mendalam
dan bijak. Dia tahu bahwa dia tidak bisa mendapatkan hidup yang kekal
sebagai hasil upayanya; hidup yang kekal itu adalah warisan. Namun
karena hidup yang kekal itu adalah warisan atau pemberian, bukan berarti
bahwa Anda tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjadi layak memperolehnya.
Sebaliknya, Anda harus berbuat sesuatu agar layak memperolehnya. Hidup
yang kekal adalah pemberian dari Allah, akan tetapi Yesus berkata,
"Bekerjalah untuk mendapatkannya."
Dengan kata
lain, Yesus menyatakan, "Berjuanglah untuk bisa masuk melalui pintu
itu." [Mat 7:13]. Hal terbukanya pintu gerbang itu adalah kasih karunia,
hanya Tuhan yang bisa membukanya. Saya tidak bisa membobol pintu gerbang
hidup kekal itu untuk masuk ke dalamnya. Kasih karunialah yang
membukakan pintu surga bagi kita. Akan tetapi Allah tidak akan
melemparkan tali lalu menyeret saya, yang berkeras menolak, untuk masuk.
Sebaliknya, Dia berkata, "Nah, Aku telah membuka pintu gerbang kasih
karunia buatmu. Sekarang, menjadi tanggung jawabmu untuk berjuang
masuk." Kasih karunia menurut Alkitab tak pernah menyingkirkan tanggung
jawab dan tekad manusia.
Kehendak
kita tidak dibelenggu!
Namun di
sini, muncul satu pertanyaan: Apakah saya, sebagai orang berdosa, mampu
untuk menanggapi kasih karunia Allah? Ada orang yang berkata bahwa kita
ini begitu kuat dibelenggu oleh dosa sehingga kita tidak bisa menanggapi
kasih karunia Allah sekalipun kita ingin melakukannya. Jika hal itu
benar, maka apa gunanya Yesus menyuruh kita berjuang untuk masuk melalui
pintu gerbang yang sempit itu padahal kita tidak bisa memasukinya?
Apakah gunanya berkata bahwa kita harus berseru pada Allah jika kita
tidak bisa melakukannya? Apa gunanya menyuruh saya untuk mengikut Tuhan,
untuk percaya kepadanya jika saya tidak bisa melakukannya? Demikianlah,
ada yang mengajarkan bahwa kehendak manusia itu berada dalam belenggu -
ada semacam belenggu keinginan. Dan karena kehendak saya terbelenggu,
maka saya tidak bisa menanggapi Allah. Hal ini, sekali lagi, kembali
menempatkan manusia ke dalam kedudukan yang pasif, tidak berbuat apa-apa
dan menunggu Allah berbuat sesuatu bagi mereka.
Apakah yang
menjadi dasar pernyataan bahwa kehendak manusia itu berada di bawah
belenggu? Apakah bukti alkitabiah bagi pernyataan semacam ini? Ayat yang
sering dikutip adalah di Roma 7:19, Sebab bukan apa yang aku
kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak
aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Apakah Paulus
berkata bahwa dia tidak bisa berkehendak? Yang dikatakan oleh Paulus di
ayat 18 adalah, "Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam
aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang
ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Bukan
apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik."" Paulus tidak berkata
bahwa Anda tidak bisa berkehendak. Dia hanya berkata bahwa Anda tidak
bisa melakukannya. Paulus bisa berkehendak. Tidak ada belenggu terhadap
kehendak; memang ada belenggu pada dirinya tapi bukan pada kehendaknya.
Ini adalah hal yang penting untuk dipahami.
Anda
mungkin bertanya, "Bagaimana membedakan belenggu pada diri dengan
belenggu pada kehendak?" Cukup sederhana! Silakan pergi ke penjara.
Orang-orang di sana memang terkurung, akan tetapi mereka bisa
berkehendak untuk keluar. Mereka bisa menginginkan apapun yang mereka
mau, akan tetapi mereka tidak bisa keluar dari sana. Fakta bahwa diri
mereka terkurung di dalam penjara tidak berarti bahwa mereka tidak
memiliki kehendak untuk bebas.
Di sini,
pembedaan itu sangatlah penting, karena jika saya tidak bisa memahami
apa yang benar, jika saya bahkan tidak memilki keinginan untuk merdeka,
maka tentu saja, tamatlah riwayat saya. Berarti saya tidak perlu
bertanggung jawab atas tindakan-tindakan saya. Akan tetapi, ajaran bahwa
kehendak berada di dalam belenggu ini menjadi bagian dari ajaran
beberapa gereja sekarang. Namun jika hal tersebut benar, tidakkah Anda
melihat bahwa para pendosa tidak perlu bertangung jawab atas tindakan
mereka? Lalu, mengapa Allah memasukkan orang ke dalam neraka karena
berbuat dosa yang tidak dapat dia hindarkan? Jika memang demikian
halnya, dapatkah Anda katakan bahwa Allah adil? Lagi pula, orang
tersebut tidak bisa menolak untuk berbuat dosa.
Namun bukan
hal itu yang dikatakan oleh Paulus di kitab Roma. Dia berkata, "Aku
melakukan apa yang kubenci. Aku membenci tindakan tersebut, akan tetapi
aku melakukannya. Kehendakku bukanlah untuk mengerjakan hal tersebut.
Akan tetapi, entah bagaimana, kuasa dosa begitu kuat, karena aku adalah
budak dosa, sehingga aku mengerjakan hal yang aku benci!" Tak heran jika
dia melanjutkan dengan jeritan, "Aku, manusia celaka! Siapakah yang
akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?" [Rom 7:24]. Dia berada
dalam tekanan besar dosa, kemudian dia beralih kepada kasih karunia. Dia
berkata, "Syukur kepada Allah! Karena Allah akan memerdekakan
saya dari belenggu dosa." Lalu di pasal berikutnya, di Roma pasal 8,
Paulus berbicara tentang hidup yang berkemenangan, bahwa di dalam
Kristus kita dimerdekakan dari kuasa dosa. Sebenarnya, kemerdekaan
kehendak ini, sudah dia bahas dari Roma pasal 2. Di sana Paulus
berbicara tentang orang asing yang tidak mengenal Hukum Taurat, namun
oleh nalurinya menjalankan apa yang dituntut oleh hukum Taurat. Hal ini
tentu saja dilandasi oleh kemerdekaan kehendak.
"Mati di
dalam dosa" bukan berarti bahwa kehendak itu dibelenggu
Ayat lain
yang gemar dikutip untuk mengatakan bahwa kehendak itu tidak bebas
adalah di Efesus 2.1. Kalimat yang dari Paulus yang berkata "dahulu
sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa" kita
[Efesus 2:1]. Mereka ingin mengatakan, "Anda lihat, dulu Anda mati."
Benar, saat kita menjadi Kristen, kita juga mati. Namun apa pengertian
mati di sini? Saat kita dibaptiskan, kita mati bersama Kristus. Apakah
hal itu berarti bahwa kehendak kita juga ikut mati? Apakah hal itu
berarti bahwa kita kehilangan kepribadian kita? Paulus tidak bermaksud
menyatakan hal-hal semacam itu. "Mati bagi dosa," berarti hubungan kita
dengan dosa telah diputuskan. Hubungan dengan dosa sudah berakhir. Hal
ini berarti bahwa, ketika saya menjadi Kristen, maka hubungan saya
dengan dosa dan dunia sudah berakhir. Saya mati bagi dunia berarti
hubungan saya dengan dunia telah berakhir. Ini adalah bahasa gambar. Dan
ketika saya masih di dalam pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa saya,
maka hal yang sebaliknyalah yang berlaku. Hubungan saya dengan Allah
terputus. Saya tidak punya hubungan yang hidup denganNya.
Ungkapan
tentang mati di dalam dosa ini bukan sekadar berlaku pada orang-orang
non-Kristen, melainkan juga berlaku pada orang Kristen. Hal ini juga
berlaku bagi jemaat di Sardis. Yesus berkata, "Engkau dikatakan
hidup, padahal engkau mati!" Dia berkata kepada orang-orang percaya,
"Engkau telah mati!" Apa yang dimaksudkan oleh Yesus? Apakah dia
bermaksud mengatakan bahwa orang-orang Kristen telah kehilangan
kehendaknya? Jika 'mati' itu berarti kehilangan kehendak mereka,
bagaimana mungkin Yesus melanjutkan dengan berkata, "Bertobatlah!"?
Bagaimana mungkin mereka bertobat jika mereka telah mati?
Saat Yesus
berkata, "Kamu itu mati sekalipun kamu disebut hidup," dia tidak
bermaksud mengatakan bahwa kehendak mereka telah musnah. Yang
dimaksudkan adalah, "Hubunganmu denganku telah berakhir. Engkau telah
kembali hidup di dalam dosa." Dari sini, kita bisa melihat bahwa kasih
karunia itu sama sekali tidak menyingkirkan tanggung jawab kita. Dan
'kematian kita di dalam dosa' sama sekali tidak menyingkirkan tanggung
jawab kita atas perbuatan dan kehendak kita. Sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Paulus, "Sebab kehendak memang ada di dalam aku."
Saya bisa menginginkan apa yang benar. Saya tidak bisa melakukannya,
akan tetapi saya bisa menginginkannya (Rom 7:18). Jadi jangan biarkan
kutipan tentang hal 'mati di dalam dosa-dosa' membuat Anda menjadi
bingung; kutipan tersebut tidak menunjukkan bahwa Anda bebas dari
tanggung jawab. Para pendosa akan senang sekali jika tidak perlu
bertanggung jawab.
Keadaan
'mati' ini adalah suatu ungkapan yang cukup terkenal di kalangan orang
Yahudi. Makna dasarnya adalah hubungan yang terputus. Itulah sebabnya
mengapa Anda bisa temukan juga ungkapan ini di dalam Perumpamaan tentang
Anak yang Terhilang. Ingatkah Anda akan kalimat, "... anakku ini
telah mati dan menjadi hidup kembali"? Si anak ini tidak mati secara
jasmani. "... anakku ini telah mati" berarti bahwa si anak telah
terpisah dari sang ayah, si anak menghilang dari tempat ayahnya.
Sekarang, si anak itu 'hidup kembali' (Luk 15:24). Demikianlah, kita
mulai melihat semakin jelas, fakta bahwa kasih karunia Allah menempatkan
tanggung jawab yang besar pada kehendak saya untuk memberikan tanggapan.
Allah tidak
memaksa kita masuk ke dalam Kerajaan
Ada banyak
hal yang perlu dibahas akan tetapi waktu kita tinggal sedikit saja.
Pembahasan akan kita lanjutkan lain kali. Sangatlah penting untuk
memahami arti keselamatan. Sangatlah penting untuk tidak salah paham dan
mengartikan bahwa "karena keselamatan itu adalah masalah kasih karunia,
maka manusia tidak perlu bertanggung jawab." Sebaliknya, karena
keselamatan itu berdasarkan kasih karunia, maka tanggung jawab Anda
justru menjadi sangat besar. Ketika pintu gerbang keselamatan sudah
dibuka bagi Anda, namun Anda tidak melangkah masuk, maka tanggung jawab
Anda sangat berat. Allah menarik kita dengan tali kasihNya, akan tetapi
tali kasihNya itu tidak Dia pakai untuk menyeret Anda masuk.
Ada banyak
orang yang gemar mengutip Yoh 6:1. Di sini tertulis, "Tidak ada
seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik
oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman."
Kata yang dipakai di sini adalah kata 'ditarik'. Di Yoh 12:32, kata
Yunani yang sama digunakan: "Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku
akan menarik semua orang datang kepada-Ku." Saat Yesus
berkata bahwa kita tidak bisa datang tanpa ditarik, bukan berarti bahwa
hanya sebagian orang yang ditarik dan sebagian yang lainnya dibiarkan.
Bagaimana orang ditarik kepada Tuhan? Dengan kasihnya yang diungkapkan
kayu salib! "Saat Aku ditinggikan di kayu salib, Aku akan menarik semua
orang kepadaKu dengan kasihKu." Kata 'menarik' ini selalu merupakan
ungkapan dari kasih. Anda tidak pernah boleh memasukkan makna menyeret
ke dalam kata 'menarik' ini, seolah-olah Allah menyelamatkan kita dengan
cara menyeret kita masuk ke dalam kerajaan. Sama sekali bukan itu
maksudnya. Kata ini muncul di dalam Kidung Agung 1:4, "Tariklah aku
di belakangmu..." menarik saya dengan kasihNya. Dan di dalam Yer
38:3, Yeremia berkata bahwa Dia menarik kita dengan kasih
kebaikanNya. Dan lagi, di dalam Hosea 11:4, di sana ada gambaran tentang
Allah yang sedang menarik Israel dengan kasihNya.
Namun
tindakan 'menarik' ini tidak boleh diartikan sebagai tindakan yang tak
dapat ditentang, yang tidak dapat ditolak. Sebenarnya, Israel telah
menolak kasih Allah. Ketika Allah menarik mereka dengan kasih
kebaikanNya, mereka tidak menanggapi. Itulah pokok di dalam kitab Hosea.
Kita
bertanggung jawab untuk menanggapi kasih karuniaNya
Karya
keselamatan sepenuhnya berdasarkan kasih karunia. Dan iman yang sejati
adalah tanggapan terhadap kasih karunia itu, dan kita bertanggung jawab
sepenuhnya atas tindakan kita untuk menanggapi atau tidak menanggapi.
Alkitab
memberitahu kita bahwa Allah begitu mengasihi dunia. Rasul Yohanes
memberitahu kita bahwa Yesus telah mati bagi kita bukan sekadar bagi
dosa-dosa kita, melainkan bagi dosa dunia. Akan tetapi tidak semua orang
di dunia ini diselamatkan. Allah mengasihi segenap isi dunia, akan
tetapi tidak semua isi dunia menanggapi kasih Allah. Rasul Petrus
berkata, "Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan
supaya semua orang berbalik dan bertobat." [2Pet 3:9]. Allah ingin
agar setiap orang diselamatkan, akan tetapi tidak semua orang
diselamatkan karena tidak semua orang memberi tanggapan terhadap
kasihNya. Jadi, apakah jawabannya? Adalah merupakan tanggung jawab kita
untuk memberikan tanggapan itu!
Mungkin ada
yang akan berkata, "Mengapa Allah tidak 'menyeret' atau membuat semua
orang masuk ke dalam kerajaan dan menyelamatkan mereka?" Apakah menurut
Anda akan merupakan hal yang baik mendapatkan banyak orang yang gemar
mengeluh dan menggerutu: "Siapa yang mau masuk ke dalam Kerajaan Allah?
Aku diseret masuk ke sini!"
Saya
beritahu Anda: Allah menghormati Anda. Manusia mungkin tidak menghormati
Anda, akan tetapi ajaibnya, Allah menghormati Anda. Allah menghormati
dan memperlakukan Anda sebagai satu pribadi. Allah memperlakukan Anda
sebagai satu pribadi, bukan sebagai hewan, bukan sebagai anjing yang
diberi rantai dan kalung, atau kuda yang diberi tali kekang. Allah juga
tidak memperlakukan Anda sebagai benda. Mengapa? Karena Dia ingin Anda
menjadi satu pribadi. Dia menciptakan Anda tidak untuk sekadar menjadi
benda atau binatang, melainkan menjadi satu pribadi. Binatang memang
sangat menyenangkan, akan tetapi Anda tidak bisa memiliki persahabatan
dengan binatang. Benda-benda juga sangat menyenangkan, akan tetapi Anda
tidak bisa menjalin persahabatan dengan benda. Hanya suatu pribadi yang
bisa bersahabat dengan pribadi yang lain. Allah hanya bisa memiliki
persahabatan dengan manusia. Itulah sebabnya mengapa Allah menciptakan
kita dalam gambaranNya, untuk bisa bersahabat dengan kita. Jika yang
Allah inginkan hanya perangkat audio super untuk menyanyikan pujian
bagiNya, tentunya Dia tidak perlu menciptakan kita.
Hal apakah
yang menjadi ciri bagi sebuah kepribadian? Ciri utama suatu pribadi
adalah unsur tangung jawab. Hanya manusia yang bisa memberi tanggapan
berdasarkan pilihannya sendiri; berdasarkan kehendak bebasnya. Hal
itulah yang membuat Anda menjadi satu pribadi yang khusus. Jika saya
singkirkan tanggung jawab Anda, maka itu berarti saya memperlakukan Anda
bukan sebagai satu pribadi, melainkan sebagai hewan atau benda. Saya
memperlakukan Anda sebagai 'obyek' jika saya mengacungkan senjata ke
arah Anda dan berkata, "kamu harus melakukan ini. Kalau kamu tidak
mengerjakan ini, aku akan menembakmu." Dengan demikian, maka saya telah
menyingkirkan peluang Anda untuk memilih dan bertanggung jawab.
Allah tidak
memperlakukan kita seperti itu. Dia berkata, "Inilah kasih karuniaKu,
Aku telah membuka pintu gerbang kerajaan bagimu." Dia tidak memaksa kita
untuk menerimaNya. Dalam surat kepada jemaat di Laodikia, kita temukan
kata-kata berikut, "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk" (Wah
3:20). Yesus tidak mendobrak pintu. Dia tidak berkata, "kau tahu siapa
aku? Kau berani berkata tidak kepadaku?" Raja dari segala raja, berdiri
di muka pintu dan mengetuk. Hanya pribadi-pribadi hina - seperti bandit
dan penjahat - yang mendobrak pintu untuk bisa masuk. Mereka tidak
memperlakukan Anda sebagai pribadi. Mereka tidak peduli apakah Anda
berkata ya atau tidak. Yang aku inginkan akan aku kejar, aku akan masuk
ke dalam rumahmu dan mengambil barang-barangmu, aku akan membobol pintu
untuk melakukannya. Hanya para penjarah yang berbuat seperti itu. Akan
tetapi, ternyata ada orang yang memberitakan Injil dan berharap agar
Allah melakukan hal yang sama. Mereka tidak mengerti mengapa anak Allah
justru berdiri di muka pintu dan mengetuk. Anak Allah tidak menjebol
pintu. Karena mentalitas manusia adalah seperti ini: kalau aku memiliki
kekuasaan yang mencukupi, maka aku tidak akan mengetuk pintu, aku akan
mendobraknya. Karena tidak memiliki kekuatan, maka aku harus mengetuk
pintu. Allah tidak berperilaku seperti itu. Hanya manusia yang
berperilaku seperti ini.
Saya pernah
bertemu dengan seorang Jendral dari China. Dia adalah panglima pasukan
lapis baja di masa Perang Dunia II, dan di masa perang itu, dia pernah
bergerak melintasi daerah kekuasaan Perancis di Shanghai - di wilayah
Shanghai ada daerah kekuasaan Perancis, Inggris, dan yang lain-lainnya -
untuk menyerang wilayah Jepang. Tentu saja, jika dia tidak melintasi
daerah kekuasaan Perancis, maka dia harus memutar cukup jauh untuk bisa
mencapai daerah kekuasaan Jepang. Karena kekuatannya - yang mencakup
berbagai kendaraan lapis baja itu - tak akan bisa dihadang oleh pihak
Perancis, maka dia memutuskan untuk melintasi daerah kekuasaan Perancis
tanpa meminta persetujuan mereka. Ketika dia sampai di sektor yang
dikuasai oleh Perancis, pasukan Perancis menghadangnya dan berkata,
"Tidak, Anda tidak boleh lewat. Ini adalah wilayah kekuasaan Perancis."
Dan Jendral itu berkata, "Jika Anda tidak menyingkir dari hadapan saya,
maka saya akan melindas kalian. Silakan kalian ambil keputusan." Lalu
pasukan Perancis itu berkata, "Kami akan mengajukan protes ke Nanking!"
Dia menjawab, "Silakan kalian berbicara dengan para politisi di sana.
Saya seorang perwira militer. Menyingkir dari hadapan saya atau saya
akan melindas kalian." Kemudian, dia perintahkan barisannya, "Maju
terus!" dan pasukannya bergerak maju dengan semua senjata siap tembak.
Tentu saja, pihak Perancis tidak berani menghentikannya.
Tahukah
Anda, ada satu hal yang sungguh lucu! Jika Anda mendengarkan kisah
tersebut, Anda akan merasa sangat senang! Anda akan berkata, "Ah, bagus
sekali! Begituah caranya memperlakukan mereka. Begitulah cara
memperlakukan orang-orang asing tersebut. Tank-tank China itu memang
harus maju. Jika tidak mengizinkan, maka mereka harus merasakan kekuatan
kita." Ketika Jendral ini bercerita kepada saya, dia merasa sangat
senang akan hal tersebut. Itulah mentalitas dunia. Jika Anda memiliki
kekuatan, Anda akan menggunakannya! Anda tidak akan menunggu dan
mengetuk pintu orang lain. Anda tidak akan peduli apakah orang lain akan
setuju atau tidak. "Aku punya kekuatan, aku bebas mengerjakan apa yang
aku mau."
Namun itu
bukanlah cara Allah berpikir dan bertindak. Karena Dia lebih besar
daripada Anda, bukan berarti Dia akan menggilas Anda. Ingatlah bahwa
Allah memperlakukan Anda sebagai pribadi. Dia memperlakukan Anda sebagai
pribadi karena Dia sangat mengasihi Anda. Dan tanggung jawab Anda adalah
untuk menanggapi kasih tersebut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar