Minggu, 25 Oktober 2015

Perang & Kemerdekaan Israel

Ringkasan Sejarah Perhambaan 536 sM – 1948 M.

536 sM – Nebukadnezar menguasai Israel dan menghancurkan Bait Suci. Perhambaan di Babel selama 70 tahun.

457 sM - Karena Kerajaan Babel dikalahkan Kerajaan Medo-Farsi, Raja Koresh membebaskan bangsa Yahudi kembali membangun Yerusalem dan Bait Suci.

457 sM – 332 sM – Israel di bawah Kerajaan Medo-Farsi (kini Iran) dengan Koresh, Darius, Artahsasta sampai Iskandar Agung berkuasa di Timur Tengah.

332 sM – 63 sM – Pertama Yunani lalu Israel menjadi wilayah kacau dengan berbagai pemerintahan Yunani, Mesir dan Syria sampai tiba Pompey Agung dengan tentara Roma.

63 sM – 638 M - Kerajaan Roma dan Bizantium berkuasa sampai tiba tentara Islam dari Arab Saudi yang membawa Timur Tengah di bawah kedaulatan Arab-Islam sampai tentara Turki menguasainya pada Abad ke-15.

30 M – 70 M – Perpecahan masyarakat Yahudi sehingga terjadi dua bagian besar: Yahudi tradisional yang masih menantikan kedatangan Mesias dan Yahudi Mesianik yang percaya Mesias sudah datang yaitu Yesus. Pada tahun 70 M Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan oleh General Titus, putera Kaisar Vespanianus, yang kemudian menjadi Kaisar Roma juga.

115 M – 117 M – Perang Kitos – perang terakhir orang-orang Yahudi terhadap Kerajaan Roma dan Kaisar Hadrian. Komunitas-komunitas Yahudi yang sudah mengungsi ke Cypus, Libya, Mesir, Syria dan Iraq telah memberontak terhadap Roma sehingga pembunuhan massal ratusan ribu masyarakat Yahudi menyusul dan sisanya terbuang untuk mengembara di berbagai bangsa di dunia.

131 M – 136 M – Kaisar Hadrian membunuh 580.000 ribu Yahudi, mengubah nama Yerusalem menjadi Aelia Capitolina, dan nama Israel diubah menjadi Syria Palestina dalam usaha Kaisar Hadrian untuk memusnahkan total bangsa Yahudi.

638 M – 1453 M – Israel dikuasai tentara Arab-Islam sampai Kerajaan Ottoman (Turki) berkuasa.

1453 – 1918 – Israel adalah bagian dari Kerajaan Ottoman.

1918 – 1947 – Israel di bawah Kerajaan Inggris

1948 - Mei 14, 1948, Israel dinyatakan BANGSA MERDEKA oleh PBB.

1967 - Perang Enam Hari – Yerusalem dimerdekakan

1973 - Perang Yom Kippur

1980 - Pemerintah Israel menyatakan bahwa Yerusalem adalah Ibu Kota Israel.

Setelah sekitar 2520 Israel sudah merdeka dengan Yerusalem sebagai Ibu Kota dan inilah sesuatu yang ajaib. Sejak Nebukadnezar (536 sM) sampai 1980, inilah pertama kali Israel merdeka dan Yerusalem adalah Ibu Kotanya!

"Nubuatan-nubuatan tentang Israel"

Israel diperingati oleh Tuhan bahwa kedurhakaannya akan menyebabkan Israel dihukum.

Hukuman itu akan nyata dalam beberapa hal:

Israel akan kehilangan kontrol atas bangsanya selama 2520 tahun. Ini disebut nubuatan 7 masa (7 x 360 = 2520 hari yang menjadi 2520 tahun – lihat prinsip 1 hari menjadi 1 tahun dalam Yehezkiel 4:6-8), Imamat 26:18-28.
Awal penggenapannya adalah di zaman Nebukadnezar sehingga dia mengalami kegilaan 7 masa, Daniel 4:16-32.
Israel akan diusir dari bangsanya, Bait Suci akan dihancurkan dan mereka akan dikejar-kejar dan dibunuh di mana-mana atas permukaan bumi karena kejahatannya di hadapan Tuhan, Imamat 26:31-33; Ulangan 28:33-37; Lukas 21:20-24.

Israel akan dibawa pulang ke tanah airnya dari antara segala bangsa, sehingga bangsa yang mati, bangkit kembali, Ulangan 30:3-5; Yeremia 23:3-8; Yehezkiel 36:22-24; Roma 11:11-26.

Setelah orang-orang Yahudi kembali dan Israel lahir kembali, dan bangsa-bangsa sekitar digoncangkan maka akan terjadi kegerakan rohani besar sehingga akan ada jalan raya dari Mesir melalui Israel ke Asyur (Iraq/Syria) dan bangsa-bangsa itu, dan suku-suku Arab lainnya, akan menjadi percaya kepada Yesus. Yerusalem akan menyambut Yesus sebagai Mesias, Yesaya 19:19-25; 60:1-22; Yehezkiel 36:24-36; Matius 23:39.

"Tanggapan Umat Kristen terhadap Israel"

Ada dua pandangan utama dalam sejarah Gereja terhadap nasib Israel.

1. Pandangan bahwa Israel adalah bangsa terkutuk yang dimurkai Tuhan.
Mulai dari zaman ahli theologia gereja, Augustine dari Hippo, Aljazir, pada abad ke-4, pandangan umum gereja adalah sangat negatif. Orang-orang Yahudi dianggap oleh gereja sebagai hama yang harus dimusnahkan. Orang-orang Yahudi dianggap sebagai pembunuh Mesias, pembunuh Allah! Oleh karena itu, kemana pun mereka pergi, mereka dianiaya, dibunuh atau diusir. Penganiayaan selama1600 tahun itu memuncak pada abad ke-20 dengan 4 juta orang Yahudi tewas dalam pogrom-pogrom Rusia dari tahun 1917-1965 dan pembunuhan massal 6 juta orang Yahudi oleh bangsa kelahiran Protestan, Jerman, dengan pertolongan 26 Synode Gereja Lutheran yang mendukung Adolf Hitler. Ini posisi resmi Gereja Lutheran dalam Konferensi Lutheran tahun 1935.
Gereja Anglikan, Gereja Katolik dan banyak gereja tradisional lainnya telah mengambil sikap serupa dalam penolakan orang Yahudi dan pandangan bahwa kini gereja telah menggantikan Israel sebagai Umat Allah. Sebagian besar dari gereja-gereja itu, sampai sekarang, melawan Israel dan mendukung hak orang-orang Arab Palestina untuk menguasai seluruh wilayah Israel sebagai tanah airnya dan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.

2. Pandangan bahwa Israel akan dipulihkan Allah sebagai bangsa.
Berdasarkan keyakinan bahwa nubuatan-nubuatan Alkitab menyatakan bahwa Allah setia kepada janji-Nya dan bahwa bangsa Israel harus dipulihkan di akhir zaman mendahului kedatangan kembali Tuhan Yesus, gereja-gereja Injili, Karismatik dan Pentakosta telah mengambil pandangan positif terhadap Israel. Sebagian besar dari kelompok ini percaya bahwa gereja tidak menggantikan Israel tetapi gereja adalah bagian integral dari Israel yang sesungguhnya, yaitu semua orang yang percaya yang menjadi anak-anak Abraham, Roma 9:6-8; 11:11-24; Galatia 3:29.
Pandangan ini percaya bahwa pemulangan orang-orang Yahudi ke tanah Israel adalah kehendak Allah pada akhir zaman.

"EMPAT PERANG DAN KEMERDEKAAN ISRAEL"

Untuk memperjuangkan kemerdekaan dan sejak kemerdekaannya, Israel telah terlibat dalam empat perang besar:

1. Perang Kemerdekaan – 1947-1948.
Hanya dua tahun setelah Hitler mati dan Perang Dunia ke-2 berakhir, ratusan ribu orang Yahudi yang telah selamat dari barak-barak pembunuhan Hitler, dan penganiayaan bangsa-bangsa Kristen Eropa, telah berusaha kembali ke Israel. Penghalang utama adalah perlawanan bangsa Inggris yang sudah berjanji kepada bangsa-bangsa Arab bahwa mereka akan menolak para pengungsi Yahudi. Kapal-kapal pengungsi ditenggelamkan Angkatan Laut Inggris, namun usaha kembali ke tanah airnya berhasil. Setelah 2 tahun perang gerilyawan melawan Inggris dan penduduk Arab, akhirnya Inggris mundur dan menyerahkan persoalannya kepada PBB yang telah mengakui kedaulatan bangsa Israel pada tanggal 14 Mei 1948.
Dengan proklamasi kemerdekaan tersebut, Yordan, Syria, Lebanon, Mesir dan Iraq, dengan dukungan bangsa-bangsa Arab lain telah menyerang Israel. Wilayah PBB di Tepi Barat dan sekitar Yerusalem (Yerikho sampai Ramallah dan Yerusalem sampai Hebron) diambil alih oleh Yordan. Gaza dan sebagian Sinai yang masuk Israel, diambil oleh Mesir dan ketinggian Golan dikuasai oleh Syria. Desa-desa Arab telah memberontak sekaligus untuk memusnahkan desa-desa Yahudi. Secara mukjizat, orang-orang Yahudi menang, walaupun kehilangan akses ke wilayah-wilayah yang dulu dikuasai PBB. Orang-orang Yahudi diusir dari Tepi Barat dan semua wilayah yang dikontrol Yordan, namun Israel tetap berdaulat dan merdeka.

2. Perang Suez – 1956 – penguatan kedaulatan perbatasan nasional.
General Nasser, Presiden Mesir telah ambil alih Terusan Suez dari Inggris. Israel telah menjadi sekutu Inggris dan Perancis dan telah menggunakan kesempatan untuk mengambil ulang beberapa wilayahnya yang diambil Mesir pada tahun 1948 di pinggiran wilayah Sinai dan menguatkan perbatasannya di bagian selatan Israel.

3. Perang Enam Hari – 1967 – merebut kontrol atas Bukit Moria (lokasi Bait Suci).
Selama beberapa tahun 1965-1967 ada krisis air yang mengganggu hubungan Israel dengan bangsa-bangsa Arab. Israel sudah mulai mengambil air dari Danau Galilea untuk irigasi sampai ke wilayah padang gurun Negev. Syria sudah mulai membalas dengan rencana mengalihkan aliran air sungai Yordan ke arah Syria supaya tidak lagi mengisi Danau Galilea. Oleh karenanya terjadi perang.
Dalam enam hari saja Israel telah mengalahkan bangsa-bangsa Arab sehingga Israel sanggup memperluas kekuasaannya, perbatasannya dan kontrol atas kota Yerusalem. Pada waktu itu penduduk Yahudi di Israel adalah 2.3 juta orang. Penduduk bangsa Arab pada waktu yang sama adalah 125 juta.

4. Perang Yom Kippur – 1973 – menguat posisi di Tepi Barat.
Perang 1973 disebut Perang Yom Kippur karena hari awal perang adalah Yom Kippur atau Hari Pendamaian, hari paling kudus di Israel di mana tidak ada yang bekerja dan seluruh bangsa berpuasa. Di saat itu, tanpa diduga, Israel diserang oleh Iraq, Syria, Yordan, Arab Saudi, Mesir dan Libanon.
Pada awal perang Israel seperti kalah dan mundur tetapi tiba-tiba, di bawah pimpinan General Moshe Dayan, Israel melakukan manuver militer sehingga mereka menangkap seluruh tentara Mesir, Syria dan Yordan. Dalam 24 jam berikut Israel akan masuk menguasai Kairo, Damsyik dan Amman. Namun USA dan Rusia berkata kepada Israel, “Stop! Kamu sudah cukup mempermalukan mereka!” Maka perang itu berakhir dengan Israel sebagai pemenang.

"Bagaimana di masa depan?"

Nubuatan Perang Akhir – Perang Harmagedon.

Kini populasi Yahudi di Israel adalah 6 juta orang dan populasi Arab di Timur Tengah adalah 360 juta dalam 22 negara. Kemungkinan terjadi perang lagi selalu ada namun karena “musim semi Arab” kemungkinan terjadi perang besar lagi dari bangsa-bangsa Arab sudah berkurang.
Ada begitu banyak masalah di Iraq, Libanon, Libya, Syria dan Mesir sehingga perang lagi rupanya masih jauh. Namun, yang non-Arab, Iran, rupanya menjadi ancaman terbesar kini dengan kemungkinan membuat roket dan bom nuklir.
Walaupun demikian, Alkitab masih menubuatkan suatu perang besar lagi yang akan terjadi di Israel dan perang itu disebut Perang Harmagedon. Perang itu dibahas dalam Yehezkiel 38-39 dan dalam Wahyu 16 dan Wahyu 19 menjelang kedatangan kembali Yesus. Untuk kita yang penting adalah selalu dekat kepada Yesus sebab hanya Dia adalah jaminan kita.

Mazmur 91:2-11,
“Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai.”
Sungguh, Dialah yang akan melepaskan engkau dari jerat penangkap burung, dari penyakit sampar yang busuk. Dengan kepak-Nya Ia akan menudungi engkau, di bawah sayap-Nya engkau akan berlindung, kesetiaan-Nya ialah perisai dan pagar tembok.
Engkau tak usah takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang berjalan di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu. Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orangfasik. Sebab TUHAN ialah tempat perlindunganmu, Yang Mahatinggi telah kau buat tempat perteduhanmu, malapetaka tidak akan menimpa kamu, dan tulah tidak akan mendekat kepada kemahmu; sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu.

KESIMPULANNYA

1.Tanah Perjanjian yang diberikan kepada bangsa Israel sebagai keturunan Abraham, Ishak dan Yakub adalah tindakan Allah yang diakui di dalam kitab-kitab suci agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam.

2.Bangsa Israel telah memiliki negeri itu lewat peperangan terhadap suku-suku Kanaan mulai 3500 tahun yang lalu sampai mereka telah menguasai wilayah luas antara Mesir di sebelah Selatan dan Siria dan Libanon di sebelah Utara, dan di antara Laut Tengah di sebelah Barat dan yang kini disebut Yordan di sebelah Timur.

3.Perbatasan bangsa Israel masa kini (2005-2013) adalah lebih kecil ketimbang Israel zaman Yesus, 2000 tahun yang lalu, karena Gaza dan Tepi Barat di zaman itu adalah bagian dari Israel.

4.Israel sejak zaman Nebukadnezzar, sekitar 536 sM, tidak pernah berkuasa di atas bangsanya sendiri atau kota Yerusalem sampai kepada proklomasi kemerdekaannya oleh PBB pada tahun 1948 dan proklomasi Yerusalem sebagai Ibu Kotanya pada tahun 1980.
Sesuai nubuatan Firman Tuhan, nubuatan 7 kali Masa, atau lebih kurang 2520 tahun, Israel akan di bawah dominasi bangsa-bangsa non-Yahudi. Nubuatan itu benar-benar digenapi.

5.Israel akan dimurkai Tuhan karena ketidaktaatannya kepada Firman Tuhan dan akan diusir dari negerinya dan akan mengembara di antara bangsa-bangsa di mana mereka akan dikejar-kejar, diburu dan dianiaya sehingga banyak di antara mereka akan dibunuh. Hal itu benar-benar terjadi di sepanjang sejarah mulai tahun 70 M ketika bangsa Roma menghancurkan Yerusalem dan mengusir orang-orang Yahudi dari tanah airnya. Walaupun mayoritas penduduk Israel diusir, selalu ada sisa yang tertinggal di dalam negeri itu sampai zaman modern.

6.Tuhan sudah berjanji bahwa Dia akan mengingat janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan Dia akan panggil mereka kembali dari segala bangsa dan Israel akan lahir kembali sebagai persiapan akhir zaman dan kedatangan kembali Tuhan Yesus.
Setelah 1870’an tahun mengembara, dan setelah mulai pogrom-pogrom di Rusia di awal abad ke-20 dan Holocaust di Jerman dari 1939-1945, maka Israel kembali ke tanah perjanjian itu dan menjadi bangsa kembali pada tahun 1948.

7.Kelahiran kembali Israel sebagai bangsa di Timur Tengah menjadi pemicu peperangan lokal dan global yang kini sudah berjalan 65 tahun. Bangsa-bangsa Arab yang penduduknya mulai berkuasa dan menjadi penduduk mayoritas di wilayah Palestina pada waktu perang jihad di awal sejarah Islam di abad ke-7 dan sudah menjadi penguasa negeri perjanjian selama hampir 1300 tahun, tidak mau menyerahkan tanah itu kepada masyarakat Yahudi.

8.Lewat berbagai perang, 1948, 1956, 1965, 1973 ditambah dengan intifada-intifada Palestina pada tahun 1987-1993 dan 2000-2005, terjadi ketidakdamaian di seluruh dunia. Akibat dari dukungan Israel oleh bangsa-bangsa Barat telah menyebabkan bangkitnya berbagai gerakan jihad dan terorisme global, misalnya serangan Olimpiade Munich 1972 oleh PLO, berbagai pesawat yang dibajak atau diledakkan, serangan 9/11 di USA, perang Iraq, Afghanistan dll sebagainya.

9.Nubuatan-nubuatan Firman Tuhan sudah menubuatkan instabilitas yang telah terjadi bahkan bahwa akan ada perang-perang besar lagi di kawasan Timur Tengah yang akan berakhir dengan Perang Harmagedon, perang terakhir, ketika Yesus akan datang kembali dan membawa penghakiman kekal bagi semua manusia.

Hal-hal ini sudah kita selediki dan sekarang sebagai penutup artikel ini kita perlu menyelidiki Israel yang sesungguhnya masa kini menurut Firman Tuhan.

"Israel yang Sejati"

Sejak awal pewahyuan kepada Abraham, Israel diberi dua gambar: Israel jasmani, yaitu, pasir di tepi laut, dan Israel sorgawi, yaitu bintang-bintang di langit.

Kejadian 22:17, “Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya.

"BINTANG-BINTANG DI LANGIT  & PASIR DI TEPI LAUT"

Perbedaan dari dua jenis manusia dalam Israel diungkapkan dalam Perjanjian Baru pada waktu dipisahkan antara orng yang beriman dan yang tidak beriman yang menentukan siapa sebenarnya adalah seorang Israel.

Roma 9:7-8, “Tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu.”
Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.”
Artinya, lahir sebagai seorang Israel jasmani sama sekali tidak menguntungkan dalam rencana Allah kecuali orang itu beriman. Bukan sunat fisik yang berarti tetapi sunat hati, yaitu pertobatan dan lahir baru. Dengan demikian semua orang yang lahir baru menjadi ahli waris Abraham, menjadi seorang Israel sejati bahkan juga disebut sebagai seorang Yahudi! Di dalam Kristus baik Yahudi dan non-Yahudi dipersatukan dalam satu Israel, yaitu satu Tubuh Kristus, satu Manusia Baru, satu Rumah. Tidak ada dua Rumah Allah. Tuhan tidak berkata untuk bangun banyak Rumah, “Build My Homes”, No! Tuhan mau kita membangun satu Rumah saja. Build My Home! Inilah yang disebut “Israel, milik Allah”, Galatia 6:16.

Galatia 3:28-29, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.”

Efesus 2:14-20, “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat", karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.”

Roma 2:28-29, “Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah.”

RASUL PAULUS dan KEDUA POHON ZAITUN.

Untuk menjelaskan kebenaran itu, yaitu, bahwa keduanya – yang Yahudi dan non-Yahudi – telah menjadi satu Manusia Baru, satu Rumah, satu Tubuh Kristus yang terdiri dari hanya orang yang beriman kepada Kristus, Mesias itu. Hanya ada satu jalan keselamatan dan jalan itulah Yesus. Maka, baik Yahudi, maupun non-Yahudi, untuk diselamatkan harus menjadi percaya sungguh kepada Yesus.

Perhatikan uraian Rasul Paulus dalam Roma 11.

Roma 11:16-26 “Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus, dan jikalau akar adalah kudus, maka cabang-cabang juga kudus. Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah, janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu. Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di antaranya sebagai tunas. Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah! Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamupun akan dipotong juga.
Tetapi merekapun akan dicangkokkan kembali, jika mereka tidak tetap dalam ketidakpercayaan mereka, sebab Allah berkuasa untuk mencangkokkan mereka kembali. Sebab jika kamu telah dipotong sebagai cabang dari pohon zaitun liar, dan bertentangan dengan keadaanmu itu kamu telah dicangkokkan pada pohon zaitun sejati, terlebih lagi mereka ini, yang menurut asal mereka akan dicangkokkan pada pohon zaitun mereka sendiri. Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan.

”Dalam rencana Tuhan tidak ada dua pohon, hanya ada satu. Akarnya adalah Perjanjian Kekal dengan Abraham, Ishak dan Yakub, dan tunas yang bertumbuh adalah Yesus, sesuai dengan nubuatan nabi Yesaya, Yeremia, Zakaria (Yesaya 4:1-6; 11:1-5; 22:22-25; 53:1-5; Yeremia 23:5; 33:15; Zakharia 3:8; 6:12).

Bandingkanlah dengan penjelasan Yohanes dan Yesus sendiri (Wahyu 5:5; 22:16) karena Yesus menyebut diri-Nya sebagai Tunas Daud.
Jadi Rasul Paulus telah menyimpulkan sejarah Israel sejarah Alkitabiah bahwa Israel yang sejati hanyalah orang-orang yang beriman, yang mengakui dan mengikuti Yesus sebagai Mesias, Tuhan dan Juruselamat. Dan mereka datang dari setiap suku, kaum, bangsa dan bahasa dan mereka bersama dengan semua orang Yahudi yang percaya menjadi satu Manusia Baru, satu Mempelai Wanita Kristus, satu Tubuh Kristus, satu Rumah Allah dan satu Pohon Zaitun!

Siapa Diselamatkan?
Roma 11:26, “Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan.”
Siapa selamat? Seluruh Israel! Siapakah Israel? Semua orang yang percaya kepada Yesus sebagai Mesias, Tuhan dan Juruselamat: “Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan.”
Kita sudah selamat. Kita sudah menjadi bagian dari Israel sejati. Kita sudah menjadi ahli waris bersama-sama dengan Yesus. Kita sudah menjadi satu Rumah, Bangsa, dan Tubuh tetapi jangan menjadi sombong. Jangan tawar hati melainkan pegang teguh kepada Tuhan dan maksud abadi-Nya supaya kita juga akan mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya di akhir zaman dan untuk selama-lamanya!
Kita bukan hanya pembaca atau penonton sejarah Israel, kita sungguh berpatisipasi di dalamnya dan menjadi pencipta sejarah. Karena itu, marilah kita memenuhi panggilan kita sebagai umat-Nya dan menjadi Israel milik Allah!

Gerakan Pemulihan Israel 1878-1948

Setelah kita menyelidiki perkembangan berbagai bentuk Sionisme dalam artikel-artikel sebelumnya, kini kita akan melihat usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia.

Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris, juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel.

Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil agar impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

'Gerakan dan Usaha Pemulangan ke Palestina'

"Gerakan Aliyah"
Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki", yang mempunyai arti secara rohani “mendaki” ke Tanah Kudus. Istilah ini dipakai untuk menyebut rombongan-rombongan pemulangan orang-orang Israel dari Eropa sejak tahun 1878 hingga proklamasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

"1878 – Awal Gerakan Aliyah dan Ekspansi Pendatang Sionis"
Pedesaan pertama Sionis, Petah Tikva, didirikan pada tahun 1878. Pemimpinnya, namanya Biluim telah biasa memakai kaffiyeh sebagai penutup kepala. Penduduk Petah Tikva, awalnya diduduki oleh orang-orang Yahudi yang dulu tinggal di Yerusalem yang ingin keluar dari Yerusalem Tua yang sangat padat penduduknya dan dibatasi oleh tembok-tembok besar.
Kemudian pedesaan Rishon Le Sion didirikan pada tanggal 31 Juli 1882 oleh 10 orang Yahudi yang adalah anggota kelompok Sionis yang disebut Hovevei Sion yang berasal dari Kharkov, atau masa kini disebut, Ukraine. Pedesaan baru ini dipimpin oleh Zalman David Levontin. Komite Perintis Pedesaan Yahudi yang sudah dibentuk di Yaffa, pelabuhan ketibaan kebanyakan pendatang baru telah membeli 340 hektar (3.4 km²) tanah dekat desa Arab yaitu Uyun Qara.

"Gerakan Sionis"
Pada tahun 1883, Nathan Birnbaum, yang berumur 19 tahun, mendirikan organisasi Kadimah di Austria. Organisasi ini adalah Asosiasi Mahasiswa Yahudi pertama di Vienna. Tahun berikut terbitannya yang pertama, Selbstemanzipation atau Emasipasi Diri muncul. Tujuannya adalah untuk menggairahkan kawan-kawan Yahudi untuk mencari kebebasan dari tekanan dan aniaya yang sering menargetkan kaum Yahudi di Eropa.
Di manakah tempat kebebasan itu? Jawabannya hanya satu: di Eretz Israel.
Theodor Herzl berbicara di Kongres II Sosialis Sionisme tahun 1898 Bersama dengan Nathan Birnbaum, Herzl telah merencanakan Kongres Sionis pertama di Basel, Switzerland.
Pada kongres itu, hasil kesepakatannya adalah: Sionisme akan berusaha mendirikan tanah air untuk kaum Yahudi di Eretz-Israel yang dilindungi hukum.
Kongres itu sepakat untuk melakukan hal-hal berikut untuk mencapai tujuannya:

1. Promosi secara wajar pendudukan Eretz-Israel dengan petani-petani Yahudi, kaum buruh dan pabrik-pabrik.
2. Mengurus dan mempersatukan seluruh kaum Yahudi dengan menggunakan institusi-institusi yang wajar, baik lokal maupun internasional, sesuai dengan hukum di masing-masing negara di mana kaum Yahudi sudah berada.
3. Menguatkan dan mendukung rasa nasionalis kaum Yahudi dan kesadaran akan kewarganegaraannya sebagai warga Yahudi.
4. Melakukan langkah-langkah awal untuk memperoleh izin dari berbagai negara, untuk mencapai tujuan gerakan Sosialis Sionisme.

Pada tahun 1909, kibbutz Degania, didirikan di Israel Utara. Inilah yang diakui sebagai kibbutz yang pertama. Kibbutz-kibbutz merupakan desa-desa atau kebun-kebun Sosialis Sionisme yang menjadi ciri khas unik perkembangan Israel hingga masa kini. Juga pada tahun 1909, kota Tel Aviv didirikan. Namanya berasal dari hasil karya Theodor Herzl. Kota ini yang kemudian telah menjadi kota terbesar di Israel, telah didirikan di daerah padang pasir yang kosong sedikit ke utara dari pelabuhan Yaffa.

"Konflik dengan Orang Arab"
Pada akhir abad ke-19, nationalisme Arab sama sekali belum ada, bahkan jumlah penduduk Arab di wilayah Palestina sangat sedikit dan mereka merupakan penduduk yang bersifat non-politik. Karena jumlah penduduk Palestina adalah mayoritas Yahudi maka kebanyakan pemimpin Sionis telah percaya bahwa tidak akan terjadi konflik di antara masyarakat orang-orang Arab dan masyarakat Yahudi baru yang sedang pulang setelah hampir 1800 tahun pengasingan yang bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sejak awal ada di situ. Karena seluruh masyarakat itu, Yahudi yang asli dan Arab, telah hidup bersama dengan cukup damai selama lebih dari 1200 tahun maka mereka telah yakin konflik dapat dihindari dengan ketambahan Yahudi yang kembali dari pengasingan di Eropa. Pada waktu itu kedua belah pihak telah merasa untung dengan pengharapan perkembangan ekonomi yang akan terjadi. Kaum Yahudi sudah sangat mengharapkan dan percaya bahwa kaum Arab akan menyetujuinya dan akan sepenuhnya bekerja bersama. Namun, impian itu tidak pernah tercapai.
Memang, telah makan cukup banyak waktu untuk kaum Sionis menyadari betapa dalamnya perasaan dan intensitas konflik yang mulai terjadi, yang pada hakekatnya adalah konflik antara dua kelompok orang yang dua-duanya merasa memiliki hak milik atas seluruh tanah itu sebagai tanah airnya sendiri. Kaum Yahudi karena dasar keyakinan agama, sejarahnya dan bahwa daerah Palestina tidak pernah kosong dari penduduk Yahudi, walaupun di sebagian waktu mereka adalah penduduk minoritasnya. Kaum Arab merasa memilikinya sebab sudah 1200 tahun Palestina di bawah pemerintahan Arab atau Kalifat Ottoman, kerajaan Islam itu. Jadi mulai dari awal gerakan Aliyah itu, konflik sudah mulai terjadi.

"Sionisme dan para penduduk Arab"

Kaum Yahudi lokal Palestina yang sudah selamanya tinggal di wilayah Palestina telah hidup melalui suatu sejarah interaksi dengan penguasa Muslim dan para tetangga Arab yang sukar, yang justru menjadi semakin rumit karena permusuhan antara agama Islam dan agama Yahudi.
Di luar kota Yerusalem, kota Safed dan kota Tiberias, masyarakat Arab dan masyarakat Muslim non-Arab merupakan mayoritas besar masyarakat, sedangkan di tiga wilayah tersebut, masyarakat Yahudi adalah mayoritas besar. Kaum perintis Sionisme adalah sangat sadar tentang ketidakseimbangan ini, namun mereka mengklaim bahwa semua penduduk akan memperoleh untung dari imigrasi kaum Yahudi dari diaspora itu. Di samping itu, kaum imigran itu telah memilih untuk tidak memasuki wilayah mayoritas Arab/Islam agar menghindari konflik sehingga mereka lebih memilih untuk menduduki wilayah-wilayah yang kosong, seperti di dataran pesisir dan di Lembah Yizreel.
Slogan propaganda Sionisme, “Tanah tanpa masyarakat untuk masyarakat tanpa tanah,” telah menyimpulkan visi Sionisme, yaitu untuk menduduki tanah yang kosong bukan untuk menduduki tanah milik orang lain. Namun slogan itu telah mengabaikan fakta bahwa kaum Arab adalah kaum pengembara yang merasa tanah apapun yang pernah didudukinya, walaupun kini telah ditinggalkan adalah milik abadinya. Di sini kita dapat melihat benih konflik soal hak milik Palestina sudah ditanam dan setelah bertumbuh selama puluhan tahun akan menyebabkan permusuhan, kebencian dan konflik yang meledak pada waktu proklomasi kemerdekaan negara Israel pada tahun 1948.
Sebenarnya benih-benih itu sudah lama sekali tertanam di daerah itu, tetapi setelah gerakan aliyah dan kedatangan ratusan ribu kaum Yahudi yang pulang dari diaspora, maka benih-benih itu disiram dan mulai bertunas kembali.

"Peranan Kalifat Ottoman"

Walaupun sebagian penduduk Arab Palestina sudah menghadap pemerintahan Ottoman pada tahun 1880 an (Kalifat Ottoman adalah Kerajaan Islam Turki yang adalah penjajah Timur Tengah selama 500 ratus tahun) untuk memprotes penjualan tanah kepada pendatang Yahudi baru. Namun perlawanan serius terhadap perkembangan Sionisme dan penjualan tanah kepada kaum Yahudi yang baru datang mulai berkembang dengan cepat pada tahun 1890 an setelah visi luas Sionisme menjadi semakin nyata. Adalah penting untuk diketahui bahwa perkembangan dan perluasan pembelian tanah oleh orang-orang Yahudi baik dari Kerajaan Ottoman bahkan dari masyarakat Arab disetujui oleh Kalifat Ottoman yang melihat keuntungan ekonomi dalam mengisi tanah yang kosong dengan masyarakat yang mungkin sekali akan menghasilkan untung ekonomi bagi kerajaan Ottoman itu.
Perlawanan kaum Arab pada waktu itu tidak bersumber pada rasa nasionalisme kaum Arab sebab pada waktu itu belum ada rasa nasionalisme di antara kaum Arab melainkan perlawanan itu bersumber pada rasa ancaman terhadap nafkah dan sumber pendapatan masyarakat Arab. Kekuatiran itu telah berkembang pada awal Abad ke-20 karena usaha pengembangan ekonomi oleh kaum Sionis yang tidak mau menggunakan tenaga kerja Arab, yang dianggapnya malas, sedangkan tenaga kerja Yahudi dianggap rajin dan bersedia bekerja keras. Di manapun ada usaha untuk mempekerjakan tenaga kerja Arab, terjadi perlawanan dari Perserikatan Kaum Buruh Ibrani yang menuntut agar pendatang-pendatang baru sajalah yang dipekerjakan. Dengan demikian benih-benih kekuatiran, kecurigaan, kebencian dan permusuhan terus disiram sehingga menjadi suatu kekuatan yang di kemudian waktu akan meledak dan buah-buahnya sedang dituai pada masa kini.

"Usaha Mendirikan Negara Israel"

Setelah kita menyelidiki perkembangang berbagai bentuk Sionisme dalam Artikel sebelumnya, kini kita akan melihat usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia.
Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel. Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

Sionisme — Sarana untama Pemulangan Bangsa Yahudi

Sarana utama yang Allah pakai untuk memulihkan masyarakat Yahudi kembali ke tanah Israel adalah gerakan Sionisme. Sionisme adalah gerakan agamawi dan sosio-politik yang mempromosikan pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Israel. Di dalam hati semua orang Yahudi ada perasaan tidak utuh bila mereka di luar Israel.

Mazmur 137:4-6, “Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku!”

Kerinduan itu sudah mendalam di hati setiap orang Yahudi sejak pembuangannya dari Israel pada waktu penghancuran Bait Suci di tangan Roma pada tahun 70 M.
Di abad ke-19 dan abad ke-20, keinginan Yahudi itu sudah meninggi.

Mimpi Yahudi: Pemulihan Israel.

Selama masa Diaspora, masa Israel mengembara di luar wilayah Palestina, selamanya ada orang-orang Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina. Kebanyakan telah tinggal di daerah Galilea, dan kadang-kadang mereka diizinkan mengunjungi dan tinggal di dekat kawasan Bukit Moria, bukit letaknya Bait Suci dulu di Yerusalem. Tembok Ratapan menjadi tempat ziarah yang diizinkan bagi mereka.
Walaupun jumlahnya tidak banyak, namun ada keyakinan bahwa satu ketika mereka akan melihat suatu pemulangan massal menjelang kedatangan Mesias. Hal yang sama diyakini umat Kristen sehingga baik umat Yahudi dan umat Kristen telah memiliki kepentingan yang serupa. Maimonides, seorang rabi yang terkenal, bersama dengan cukup banyak rabi lainnya mengedepankan visi itu. Mereka telah yakin sekali bahwa Mesias akan mendatangkan perdamaian universal.
Selama berabad-abad ada usaha-usaha untuk orang-orang Yahudi kembali ke Palestina tetapi kebanyakan usaha telah gagal. Hanya dengan munculnya gerakan Sionis pada bagian kedua abad ke-19, baru terjadi pemulangan signifikan sehingga kini ada 6 juta dari 16 juta orang Yahudi di dunia yang tinggal di Israel.

Peranan Inggris.

Pemikiran untuk membantu pemulangan bangsa Yahudi telah mulai dibahas secara umum di Inggris pada Abad ke-19. Tidak semua masyarakat Inggris yang menyetujui pemulangan tersebut, namun mayoritas telah mendukungnya. Pandangan sebagian mereka dibentuk oleh keyakinan pada perjanjian Allah dalam Alkitab. Yang lain karena faham filosofi Semitisme, khususnya antara kaum elit yang berpendidikan tinggi atau oleh pandangan politik bahwa pemulangan tersebut akan membantu perluasan Kerajaan Inggris.
Atas dorongan Lord Shaftesbury, pemerintah Inggris telah menetapkan konsulat pertama di Yerusalem pada tahun 1838. Ini adalah pos diplomatik pertama di Tanah Israel.
Pada tahun 1839, Gereja Skotlandia mengutus Andrew Bonar dan Robert Murray M'Cheyne untuk menyelidiki dan melaporkan keadaan orang-orang Yahudi di Palestina. Laporan mereka diterbitkan dan disebarkan secara luas sehingga diedarkan “Memorandum kepada semua kepala Kerajaan Protestan Eropa guna Pemulihan bangsa Yahudi ke Palestina.”

Pada bulan Agustus 1840, surat kabar ‘The Times’ telah melaporkan bahwa pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan persetujuan untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi.
Lord Lindsay menulis pada tahun 1847: “Tanah ladang-ladang Palestina masih sedang menikmati sabat-sabatnya, dan sedang menantikan pemulangan anak-anaknya yang sudah dibuang, dan aplikasi industri, yang sesuai dengan kapasitas pertaniannya, agar meledak dengan perkembangan kekayaan dan kesuburan universal, lalu menjadi sama seperti pernah ada di zaman Salomo.”

Janji Damai Paris (1856) telah memberikan hak kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen untuk tinggal di Palestina dan janji tersebut telah membuka jalan untuk imigrasi makin banyak orang Yahudi.
Dalam bukunya pada tahun 1876, Daniel Deronda, George Eliot semakin kuat mendukung pemulangan masyarakat Yahudi: “Pemulihan negara Yahudi yang didirikan di tanah yang lama sebagai pusat perasaan nasional, merupakan suatu sumber perlindungan yang terhormat, suatu jalur khusus untuk energi spesial agar ada ketambahan suara di majelis-majelis dunia.”
Maksudnya, pemulangan Yahudi adalah sesuatu yang penting dan terhormat bagi bangsa-bangsa.
Benjamin Disraeli, seorang Perdana Menteri Inggris, menulis sebuah artikel berjudul: "Soal Yahudi adalah Tujuan Perjuangan Mulia” (1877) yaitu bahwa di dalam jangka waktu 50 tahun akan ada sejuta orang Yahudi yang tinggal di Palestina di bawah perlindungan dan bimbingan Inggris.
Seorang Yahudi terkemuka di Inggris, Moses Montefiore telah mengunjungi Tanah Israel tujuh kali untuk mengembangkan pemulihannya.
Karena Kerajaan Ottoman telah menyerah kepada tuntutan Kerajaan Inggris di wilayah Palestina sehingga Kerajaan Inggris diizinkan mendirikan Misi Diplomatik dan untuk memulai berbagai kegiatan dan proyek sosial di seluruh wilayah Palestina. Maka pemerintah Inggris telah mulai membangun banyak rumah sakit, proyek-proyek ilmiah, arkeologi dan pembangunan perkampungan baru untuk orang-orang Yahudi yang sedang kembali ke Palestina di bagian akhir abad ke-19. Hal itu terjadi demi kepentingan Inggris dalam melindungi jalan menuju India yang dianggap sangat penting demi kejayaan Inggris.
Para pemimpin Sionis telah menganggap Inggris sebagai calon sekutu dalam perjuangannya untuk pemulangan ke tanah nenek moyangnya. Pada waktu itu Inggris bukan saja negara adi daya terkuat; Inggris juga adalah negara di mana orang-orang Yahudi telah tinggal berabad-abad dalam keadaan aman dan damai – antara mereka adalah para pemimpin politik dan budaya Inggris yang sangat berpengaruh seperti Disraeli, Montefiore dan Lord Rothschild.

Penemuan Chaim Weizmann, yaitu sejenis bahan peledak (cordite) yang sangat penting demi kemenangan Inggris dan sekutunya dalam Perang Dunia Ke-1.
Dalam pertemuan-pertemuannya dengan Perdana Menteri Inggris, Lloyd George dan Pemimpin Utama Angkatan Laut Inggris Winston Churchill, Weizmann, pemimpin gerakan Sionis sejak 1904, menjadi sanggup memajukan tujuan Sionis dalam masa perang yang sangat menguntungkan visi Sionis tersebut.
Harapan mereka itu terealisir pada tahun 1917 waktu Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, membuat deklarasi yang sangat terkenal yang bertujuan untuk “mendirikan di Palestina sebuah rumah nasional untuk masyarakat Yahudi”. Deklarasi tersebut telah menggunakan kata ‘rumah’ daripada kata ‘negara’ dan telah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak boleh “mengganggu hak sipil dan hak agama masyarakat non-Yahudi yang juga mendiami wilayah Palestina.”

Dukungan Inggris dan Bangsa-bangsa lain.

Sepanjang abad ke-19 sampai di awal abad ke-20, pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Kudus telah didukung secara luas oleh tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh, misalnya Ratu Victoria (Inggris), Raja Edward VII (Inggris), Presiden John Adams (USA), General Smuts (Afrika Selatan), President Masaryk (Czechoslovakia), Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri dan kemudian Perdana Menteri Inggris), President Woodrow Wilson (USA), Benedetto Croce (ahli filosof dan sejarahwan Italy), Henry Dunant (pendiri Yayasan Palang Merah dan penulis Konvensi Geneva tentang hak-hak azasi), Fridtjof Nansen (ilmuwan Norwegia dan pendukung hak-hak kemanusiaan).

Di masa itu pemerintah Perancis, melalui salah satu menteri, M. Paul Cambon, telah komit secara resmi untuk mendukung “pemulihan nasional hak kewarganegaraan orang-orang Yahudi di tanah dari mana masyarakat Israel itu diusir begitu banyak abad yang lalu”.
Bahkan di China di zaman pemerintahan Nasionalis sebelum zaman komunis, Wang, Menteri Luar Negeri, menyatakan bahwa “pemerintah Nationalis adalah penuh simpati dengan masyarakat Yahudi dalam keinginannya untuk mendirikan sebuah negara bagi dirinya sendiri.”

Pada tahun 1873, Shah Nasr-ed-Din (Raja Persia-Iran) telah bertemu dengan para pemimpin Yahudi Inggris, termasuk Sir Moses Montefiore, dalam perjalanannya ke Eropa. Pada waktu itu, pemimpin Persia telah mengusulkan bahwa orang-orang Yahudi membeli tanah di Palestina agar mendirikan negara untuk masyarakat Yahudi.
Raja Faisal I dari Iraq juga telah mendukung ide Sionisme lalu menandatangani kesepakatan Faisal-Weizmann pada tahun 1919. Dia tulis: “Kami masyarakat Arab, khususnya kami yang berpendidikan, memandang dengan simpati yang mendalam gerakan Sionis. Delegasi kami di sini di Paris memahami sepenuhnya semua proposal yang diajukan kemarin kepada wakil organisasi Sionis yang mengikuti Konferensi Perdamaian, dan kami menganggap proposal-proposal itu moderat, tepat dan sesuai.”

Baik dalam mandat Palestina dari League of Nations 1922 dan mandat PBB untuk Partisi Palestina tahun 1947 telah mendukung tujuan Sionisme untuk memiliki tanah air untuk masyarakat Yahudi. Kesepakatan pada tahun 1947 itu adalah kesepakatan langkah antara Uni Soviet dan USA di zaman Perang Dingin.

Arthur Balfour: Menteri Luar Negeri dan Perdana Menteri Inggris.

Balfour, seorang yang telah berjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan sebagai Perdana Menteri Inggris telah memperjuangkan Palestina sebagai “rumah” tempat kediaman Yahudi dan bukan sebagai “negara”. Walaupun dia mengingini wilayah Palestina menjadi negara Israel, dia juga menyadari bahwa hak-hak masyarakat Arab yang sudah lebih 1000 tahun mendiami Palestina bersamaan dengan masyarakat Yahudi. Di kebanyakan waktu selama 1000 tahun itu, masyarakat Arab merupakan mayoritas penduduk setempat.
Deklarasi Balfour diumumkan pada tanggal 2 November 1917. Pada zaman itu, pemerintahan Inggris telah memiliki kuasa politik atas Yerusalem dan Tanah Perjanjian, dan sudah berinklinasi untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi. Namun, pemerintahan lokal di wilayah Palestina tidak menyetujui peningkatan masyarakat Yahudi yang tentu akan terjadi bila pemulangan Yahudi diizinkan.

Persahabatan Arthur Balfour dan Chaim Weizmann.

Inti Deklarasi Balfour 1917 adalah hasil persahabatan unik antara Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour dan seorang aktivis gerakan Sionis Chaim Weizmann, yang kemudian menjadi Presiden Organisasi Sionis Sedunia, bahkan menjadi Presiden pertama Negara Israel pada tahun 1948. Kedua pria itu sangat berpengaruh dan efektif di dalam karir masing-masing, dan bersamaan telah menjadi mitra yang sangat kuat dalam mengubah arah sejarah yang menghasilkan kelahiran bangsa Israel.
Balfour adalah seorang Kristen Injili yang menulis beberapa buku termasuk Foundations of Belief (Dasar Iman), di mana dia mengungkapkan pengajaran dasar Firman Tuhan. Dia sangat percaya nubuatan-nubuatan Alkitab tentang pemulangan bangsa Yahudi ke Israel sebagai langkah penting dalam persiapan dunia untuk kedatangan kedua Yesus di akhir zaman.
Dia menjadi Perdana Menteri Inggris dari 1902 sampai 1905. Kemudian dia menjadi Menteri Luar Negeri di bawah David Lloyd George, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia Ke-I.
Weizmann adalah seorang Sionis yang sangat semangat yang sering berkomunikasi dengan pelopor gerakan Sionis, Theodore Herzl, di Inggris dan Eropa. Dia sangat ingin untuk meningkatkan jumlah kibbuts (perkebunan Yahudi secara kolektif) di Palestina. Gerakan itu memang telah mulai dengan adanya penganiayaan terhadap masyarakat Yahudi di Rusia dan Eropa Timur. Mereka telah menemukan tempat aman dengan pindah ke Palestina dan membangun kibbuts-kibbuts di sana, khususnya di daerah Galilea.
Walaupun hasil karya Balfour dalam pemerintahan Inggris adalah banyak, namun, menjelang kematiannya, dia menyatakan bahwa hasil utama hidupnya adalah Deklarasi Balfour yang mendukung pemulangan bangsa Yahudi ke tanah airnya. Dalam hal ini dia telah merasa dirinya serupa Raja Farsi, Koresh, yang membebaskan bangsa Yahudi kembali ke Yerusalem pada zaman Daniel, Ezra dan Nehemia.

Palestina sebagai Mandat Inggris.

Sebelum Perang Dunia Ke-1, Palestina telah di bawah kekuasaan Turki (Ottoman) sejak tahun 1453. Karena Turki menjadi sekutu Jerman pada Perang Dunia Ke-1, Inggris telah menyerangnya dari Mesir dan melalui wilayah Palestina. Zaman itu penuh drama. Jenderal Inggris, Edmund Allenby merebut Yerusalem dari Turki. Pada waktu Perang Dunia menuju kesudahannya, Palestina dinyatakan sebagai Wilayah Perlindungan Inggris. Karena itu, Inggris harus memutuskan bagaimana cara memerintah wilayah tersebut dan bagaimana mengimplementasi Deklarasi Balfour yang menjanjikan tanah air kepada bangsa Yahudi di Palestina. Pemulangan Yahudi ke Palestina telah kelihatan sebagai solusi terbaik.
Deklarasi Balfour telah memulai proses yang mengubah pemulangan Yahudi dari rintik-rintik menjadi hujan deras sehingga untuk pertama kali dalam 1800 tahun ada gerakan serius untuk pemulangan massal bangsa Yahudi ke tanah Israel. Banyak ahli nubuatan Alkitab telah melihat peristiwa ini sebagai tanda penggenapan berbagai nubuatan Alkitab dan awal dari suatu masa atau suatu abad yang disebut “zaman akhir”.
Walaupun ada banyak orang percaya melihat hal-hal ini sebagai langkah positif yang akan mempercepat kedatangan kembali Yesus, ternyata masih ada sebagian nubuatan tentang Israel dan Yahudi yang belum digenapi. Di samping itu, Setan pun tidak senang untuk nubuatan-nubuatan itu digenapi karena itu adalah tanda bahwa kekalahan akhirnya mendekat. Oleh karena itu dia juga turut aktif agar semuanya ini tidak terjadi. Sejak waktu itu damai sudah diambil dari dunia. Perang dan terorisme terjadi di berbagai tempat. Namun Setan tidak akan mampu menghalangi rencana Yesus dan Dia pasti akan kembali tepat waktunya. Yang penting adalah bahwa kita adalah siap untuk menyambut Yesus waktu Dia kembali.

Sejarah Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel 1700-1917

Di dalam artikel-artikel terdahulu kita sudah melihat langkah demi langkah cara tanah Palestina diduduki. Dari zaman sebelum 3500 tahun lalu wilayah itu diduduki dari berbagai suku kecil, kebanyakan sebagai pengembara dan pada dasarnya masa kini suku-suku itu tidak ada lagi.
3500 tahun yang lalu Tuhan telah memberikan tanah Palestina itu ke sebuah bangsa yang ”lahir” di Mesir dari 70 orang keturunan Abraham, Ishak dan Yakub yang telah menjadi bangsa dengan tiga juta orang.

Bahwa Palestina diberikan Tuhan kepada bangsa baru ini yang keluar dari Mesir dicatat dalam Alkitab (Keluaran 6:7) dan dalam Al-Qur’an (Surah Al Maidah 5:20-21).

Selama 1600 tahun berikut sampai tahun 70 M wilayah Palestina adalah tanah Negara Israel dari zaman Yosua sampai penghancuran kota Yerusalem oleh tentara Roma yang dipimpin Jenderal Titus.
Dari 70M itu masyarakat Israel yang masih hidup setelah pembantaian besar-besaran hanya sekitar 15% tetap tinggal di Palestina dan yang lain sudah menjadi diaspora ke pelbagai bangsa Eropa, Asia dan Timur Tengah. Kemudian mereka mengembara ke Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia dll sampai 14 Maret 1948 pada waktu PBB telah mengakui kembali eksistensi Negara Israel di wilayah Palestina.

Apa menjadi faktor-faktor Israel lahir kembali setelah 1878 tahun tidak ada Negara Israel dan padang pasir Palestina menjadi rebutan berbagai bangsa?
Untuk memahaminya kita perlu mempelajari latar belakang dan langkah-langkah kembalinya orang-orang Yahudi dan faham ”Sionisme” yang dimilikinya yang mendorong mereka kembali mendirikan negara Israel kembali.

1. Makna Sionisme.
"Sionisme" mendapat namanya dari nama kota yang disebut di Alkitab sebagai"Sion". Sion dalam sejarah telah menjadi sinonim untuk kota Yerusalem bahkan seluruh Tanah Israel. Sionisme adalah sebuah ideologi yang mengungkapkan keinginan masyarakat Yahudi di seluruh dunia untuk kembali ke kampung halaman historis mereka, Israel.
Inti pemikiran Sionisme adalah konsep bahwa Tanah Israel adalah tempat lahirnya Negara Israel (di zaman Yosua) dan keyakinan bahwa kehidupan Yahudi di tempat lain adalah kehidupan dalam pengasingan.

Berabad-abad kaum diaspora Yahudi telah memelihara hubungan kuat dan unik dengan tanah asalnya, dan kerinduan untuk kembali lagi ke Sion diungkapkan melalui berbagai ritual dan literatur sbb:

Dalam DOA, kaum Yahudi sebagai penyembah diinstruksikan untuk menghadap ke arah timur, ke arah Israel, ke arah kota Yerusalem.

Dalam IBADAH PAGI, orang Yahudi berkata “Bawalah kami dengan damai dari keempat penjuru dunia dan memimpin kami dengan kebenaran ke tanah kami.”

Para pendoa secara harian BERDOA, “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang membangun Yerusalem,” dan “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang memulihkan hadirat-Nya ke Sion.”

DOA SETELAH MAKAN termasuk berkat yang berakhir dengan doa untuk pembangunan kembali “Yerusalem, Kota Kudus, dengan segera dibangun kembali pada generasi kami.”

Dalam PEMBERKATAN NIKAH, mempelai lelaki mencari agar “mengangkat Yerusalem menjadi sukacita utama kami.”

Waktu PENYUNATAN doa dari Mazmur 137:5 diucapkan, “Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku.”

Waktu akhir perjamuan PASKAH, setiap orang Yahudi selama 1900 tahun berkata, “Tahun depan di Yerusalem!

Pada saat BERDUKA, yang berduka dihiburkan dengan menyebut Tanah Israel: “Terpujilah Engkau, ya Tuhan, Penghibur Sion dan yang membangun Yerusalem.”

Dalam berbagai jenis PUISI kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke Tanah Airnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dialek-dialek Yahudi lainnya, seperti Yiddish di Eropa Timur dan Ladino di Spanyol.

Inti pemikiran faham Sionisme ini dicatat dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel (14 May 1948), yang berbunyi:
“Tanah Israel adalah tempat kelahiran bangsa Yahudi.
Di sini identitasnya secara rohani dan politik dibentuk.
Di sini mereka mula pertama mencapai status negara, menciptakan nilai-nilai kebudayaan dengan makna penting secara nasional dan universal bahkan tanah ini melahirkan dan telah memberikan kepada dunia Kitab segala Kitab. Setelah diusir secara paksa dari tanahnya, masyarakatnya telah memelihara imannya pada bangsanya di sepanjang pembuangannya dan tidak pernah berhenti berdoa dengan pengharapan agar kembali kepadanya dan untuk memulihkan di dalamnya kebebasanpolitik.”

Jadi tujuan Sionisme adalah agar kaum Yahudi memiliki tanah Palestina kembali yang di dalamnya berpenduduk mayoritas orang-orang Yahudi melalui pemulangan yang tidak terbatas dari semua kaum Yahudi dari berbagai bangsa dan agar mendirikan kembali Negara Israel.

2. Sebabnya Munculnya Sionisme.
Ada beberapa sebab utama untuk meningkatnya Sionisme.
Pertama adalah dorongan-dorongan nubuatan Alkitab yang menyatakan Israel akan dikumpulkan kembali dari berbagai bangsa setelah pembuangannya (Ulangan 28:64-66; 30:1-5; Lukas 21:20-24).
Kedua adalah meningkatnya berbagai bentuk anti-semitisme dalam penganiayaan di Eropa yang akhirnya menghasilkan holocaust (pembunuhan massal) di Jerman di bawah Adolf Hitler (1939-1945) dan pogrom-pogrom di Rusia (1870-1964) di bawah pimpinan para kaisar Rusia dan dilanjutkan oleh kaum Komunis di bawah Lenin dan Stalin yang menewaskan 10 juta orang Yahudi. Penganiayaan dan pembunuhan massal seperti itu sangat mendorong bahkan mendesak kaum Yahudi untuk kembali ke Palestina dan mendirikan kembali Negara Israel.

Ketiga adalah bangkitnya gerakan nasionalisme dan akhirnya zaman kolonialisme Ottoman dan Barat pada waktu Perang Dunia Pertama dan Kedua sehingga ada peluang untuk banyak gerakan nasionalis memproklamirkan kemerdekaan, a.l. Siria, Libanon, Arab Saudi, Yordan, Indonesia dan Israel.

Yang keempat adalah dampak Revolusi Perancis. Revolusi yang mengakhiri sistemaristokrasi dan lahirnya demokrasi membangkitkan Napoleon dan pembebasan bagi kaum Yahudi. Tidak lagi mereka terkurung dalam ghetto-ghetto (kampung etnis) kota-kota Eropa, dan mereka menjadi warga negara sama seperti masyarakat lainnya. Dengan peluang ini kaum Yahudi sangat maju dalam ilmu teknologi, politik, pendidikan, perbankan, perdagangan dan kekayaan.

Positifnya adalah kapasitasnya untuk bermigrasi kembali ke Israel meningkat. Tetapi negatifnya adalah kecemburuan ekonomi sehingga mereka semakin dibenci oleh masyarakat asli setempat.

Semua faktor ini mendukung munculnya Sionisme, yaitu kerinduan kembali ke Palestina dan membangun kembali NegaraIsrael.

3. Kaum Yahudi berangsur-angsur Kembali ke Palestina.
Sejak zaman jajahan Roma dan penghancuran Yerusalem pada tahun 70M tetap ada populasi Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina, kadang-kadang sebagai penduduk mayoritas, kadang-kadang sebagai penduduk minoritas.
Mulai sekitar tahun 1700, para imigran Yahudi yang dipimpin oleh Rabi-Rabi mereka, dari Eropa dan dari berbagai bangsa lain dalam Khilafah Ottoman (Kerajaan Islam), telah mulai tiba di Palestina dengan berbagai programnya agar tinggal tetap di Palestina.
Misalnya, Rabi Yehuda Hehasid dan pengikutnya mendirikan perkampungannya di Yerusalem sekitar tahun 1700, tetapi tiba-tiba rabi itu meninggal, sehingga massa Arab yang marah karena hutang-hutang yang belum dibayar, telah membinasakan rumah doa Yahudi (sinagog) yang dibangun rombongan Yahudi itu. Kemudian semua pendatang Yahudi dari Eropa yang disebut Yahudi Ashkenazy dilarang tinggal di Yerusalem. Rabi Luzatto dan Rabi Ben-Attar juga memimpin rombangan besar ke Palestina pada tahun 1740. Kemudian ada rombongan-rombongan dan individu lainnya yang datang dari Lithuania dan Turki dan beberapa negara lainnya di Eropa Timur.

Jumlah pendatang pada Abad ke-18 dan awal Abad ke-19 menjadikan kaum Yahudi kelompok penduduk terbesar pada tahun 1844. Penduduk-penduduk baru ini pada awalnya mengalami banyak kesulitan secara budaya dan ekonomi karena pada tahun 1800, korupsi, perang dan pengadministrasian Khilafah Ottoman begitu merusak jalannya ekonomi Palestina sehingga populasinya turun hingga 200.000 orang.
Lalu pada tahun 1880’an, Palestina sudah mulai pulih, walaupun tetap miskin dengan banyak penyakit, populasinya berkembang menjadi 450.000. Yerusalem, pada waktu itu, hanya kota kecil yang berpenduduk 25.000 dengan 13.000 orang Yahudi dan 12.000 orang Arab dan Turki.
Usaha pertama membangun perkampungan Petah Tikva dalam tahun 1878 gagal tetapi kemudian berhasil dibangun. Waktu itu pemerintahan Ottoman tidak terlalu mentolerir pendatang-pendatang baru, khususnya mereka yang tetap mempertahankan kewarganegaraan asing, dan sewaktu-waktu pemerintah itu telah membatasi para imigran. Masalahnya ialah kalau menjadi warga negara Ottoman bisa saja disuruh ikut program wajib militer. Kependudukan waktu itu tidak terlalu stabil karena dampak penyakit, kemiskinan dan pengangguran tinggi sehingga banyak meninggal atau berangkat.
Gelombang-gelombang besar pemulangan kaum Yahudi, yang mulai pada tahun 1882, telah berlanjut di sepanjang Abad ke-20. Sebelum tahun 1890’an ada berbagai usaha untuk kaum Yahudi memperluas perkampungannya dan menduduki seluruh wilayah Palestina. Pada akhir tahun 1890’an dalam zaman Khilafah Ottoman jumlah penduduk Palestina mencapai sekitar 520.000 orang, mayoritas Arab Muslim dan Arab Kristen, namun di antaranya ada sekitar 125.000 orang Yahudi.

Pogrom-pogrom di bawah para Kaisar Rusia mendorong para filanthropis (donatur) seperti Montefiores dan keluarga Rothschild untuk mensponsori perkampungan pertanian untuk orang-orang Yahudi dari Rusia pada akhir 1870’an. Ini menjadi realita pada tahun 1882. Dalam sejarah Sionisme ini disebut sebagai Aliyah Pertama. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki," yang mempunyai arti secara rohani “mendaki” atau pulang ke Tanah Kudus.

"Migrasi Massal Arab ke Palestina dalam Abad ke-20"
Pada awal abad ke-20, populasi Yudea dan Samaria yang kini disebut “Tepi Barat” berpenduduk kurang dari 100.000 orang, dan mayoritasnya adalah orang Yahudi. Waktu akhir perang kemerdekaan Israel pada tahun 1951, Gaza hanya memiliki 80.000 penduduk Arab dan orang Yahudinya sangat sedikit.
Dalam 50 tahun sampai tahun 2001 jumlah penduduk Arab di Gaza meningkat drastis menjadi lebih dari 1 juta orang karena imigrasi besar-besaran.
Di antara tahun 1948 sampai 1967 Gaza ada di tangan Mesir dan Tepi Barat ada di tangan Yordan sehingga terjadi promosi besar-besaran untuk mengisi Gaza dan Tepi Barat dengan sebanyak mungkin orang Arab dari setiap negara Arab tetapi terutama dari Mesir, Siria, Libanon, Irak dan Yordan.
Lebih dari 250 perkampungan Arab didirikan di daerah Judea and Samaria (Tepi Barat) saja. Dalam kerja sama dan dalam usaha menciptakan perdamain lewat perkembangan ekonomi pemerintah Israel telah mengizinkan 240.000 orang Arab masuk dengan izin kerja tetapi mereka telah tinggal tetap dan tidak mau kembali ke negara asal. Setelah mereka menetap lebih dari dua tahun mereka digolong oleh PBB sebagai “orang Palestina” apapun negara Arab asal mereka dan tanpa harus ada dokumentasi.
Dengan demikian jumlah “orang Palestina”membludak!
Pada periode itu Arab Saudi telah mengusir lebih dari sejuta orang Arab yang kewarganegaraannya bukan Saudi dan tidak jelas asalnya dan banyak dari mereka kemudian pindah ke Gaza dan Tepi Barat.

"Imigrasi massal Arab ke Palestina merupakan reaksi terhadap perkembanganSionisme dan lahirnya kembali Negara Israel."
Dulu Palestina adalah daerah padang pasir, tandus, dengan banyak penyakit, dan hampir tidak ada orang Arab yang mau tinggal di sana, tetapi setelah ada Israel dan padang pasir Palestina menjadi taman buah dan bunga, semua Arab telah menginginkannya.
Israel telah menjadi ancaman terhadap keadaan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi dan agama untuk agama Islam sehingga mobilisasi massal Arab telah mulai.

"Ketinggian Golan"

Dalam sejarah Israel, Ketinggian Golan adalah bagian warisan suku Manasye, sejak 3500 tahun yang lalu.
Pada zaman Yesus, 2000 tahun lalu, daerah itu disebut sebagai bagian Yudea wilayah jajahan Roma.
Dari tahun 1850 sampai 1920, banyak tanah di Ketinggian Golan dibeli oleh rombongan-rombangan Yahudi untuk mendirikan perkampungan-perkampungannya di situ. Tetapi pada tahun 1920 perkampungan-perkampungan itu diserang oleh gerombolan Arab sehingga banyak orang Yahudi dibunuh dan sisanya melarikan diri.
Pada tahun 1967, Israel merebut kembali Ketinggian Golan dari Siria sebagai tindakan bela diri dan sudah dikontrol Israel selama 40 tahun sejak perang itu.
Pada tahun 1981 Ketinggian Golan menjadi bagian resmi Negara Israel.
Siria hanya pernah berkuasa di daerah Golan selama 26 tahun dari kemerdekaannya pada tahun 1941 sampai ke Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Bagaimana selanjutnya? Apa nanti kesudahannya? Baca artikel berikutnya dan belajar apa sebenarnya di belakang konflik Timur Tengah.

sepanjang sejarah 3500 tahun sejak bangsa Israel menguasai wilayah Palestina, daerah itu adalah tanah air yang dikaruniakan Allah kepadanya sebagaimana dicatat dalam Al-Qur’an (Surah Al Maidah 5:20-21) dan Alkitab (Keluaran 6:7).

Kita sudah lihat pula bahwa sepanjang 3500 tahun itu tidak pernah ada waktu di mana tidak ada masyarakat Israel yang tinggal di sana.

Tujuh Periode Pengembangan dan Pembentukan Israel

1.Perbudakan di Mesir – 2100 sM – 1500 sM.

2.Perbudakan di Babel – 536 sM-457 sM.

3.Kekuasaan Farsi – 457 sM – 332 sM.

4.Kekuasaan Yunani – 332 sM – 52 sM.

5.Jajahan Roma – 52 sM – 70 M.

6.Pembuangan ke seluruh dunia – 70 M – 1948.

7.Pemulangan diaspora ke Palestina – 18 – 1948

Bangsa Israel pernah melalui berbagai masa jajahan atau perbudakan. Dalam masa-masa itu telah terjadi tiga kali masa pembangunan, kembalinya masyarakat sejarah massal atau pemulihan Israel sebagai bangsa yang menduduki Palestina.

Ketiga masa itu adalah:

1. Zaman Keluaran 3 juta orang yang keluar dari Mesir untuk menjadi bangsa Israel di Palestina – 1500 sM.

2. Zaman pemulangan dari Babel atas perintah Raja Farsi, Koresh – 457 sM.

3. Zaman pemulangan diaspora di zaman modern – 1700-1948.

Memang wilayah itu telah mengalami pergantian pemerintahan, penjajah dan penduduk berulang kali tetapi satu-satunya bangsa yang selalu dan selamanya ada di sana adalah kaum Yahudi.
Walaupun sampai 85% kaum Yahudi sudah masuk diaspora di berbagai bangsa, yang 15% itu tetap tinggal di wilayah Palestina. Kadang-kadang mereka adalah penduduk mayoritas, kadang-kadang minoritas, tergantung jumlah penjajah yang masuk. Namun karena wilayah itu tandus, tidak produktif dan terdapat banyak tantangan, penduduk-penduduk baru biasanya tidak tahan lama.
Mulai pada awal 1700’an ada gerakan pemulangan antara yang 85% yang di diaspora itu berkaitan dengan situasi politik dunia, penganiayaan dan perubahan situasi ekonomi. Gerakan pemulangan ini menjadi terkenal sebagai Gerakan Sionisme.
Dalam edisi yang lalu kita sudah melihat “Makna Sionisme” dan “Sebabnya Muncul Sionisme”. Sekarang kita akan melihat beberapa hal lainnya yaitu Sionisme Sosialis, Religius, Nasionalis dan Kultural dan pengaruhnya dalam pemulangan kaum Yahudi ke Palestina.

"Visi Pemulangan Yahudi ke Palestina"

Visi Sionisme Sosialis

Pada tahun 1862, penulis Yahudi, Moses Hess telah menerbitkan visinya untuk kaum Yahudi kembali ke Palestina. Bukunya berjudul, Rome and Jerusalem; The Last National Question. Buku ini mengemukanan visi kaum Yahudi kembali ke Palestina sebagai sarana menyelesaikan masalah identitas nasionalnya. Hess menginginkan negara sosialis di mana kaum Yahudi menjadi negara petani yang akan “menebus tanah” dan mengubahnya menjadi bangsa yang sesungguhnya yang menguasai semua lapisan ekonomi yang produktif sebagai pemilik tanah daripada yang non-produktif yaitu lapisan perdagangan. Gerakan ini telah melahirkan gerakan Sionis Sosialisme yang menjadi pelopor sistem kibbutz yang banyak dipakai di Israel sampai masa kini.

Visi Sionisme Religius
Juga pada tahun 1862, Rabbi Zvi Hirsch Kalischer seorang Yahudi Jerman Ortodoks menerbitkan tulisannya, Derishat Sion, yang mengemukakan Sionisme Religius yang menjanjikan keselamatan kepada kaum Yahudi sesuai janji-janji para nabi dan bahwa pertolongan Tuhan hanya akan terjadi bilamana bangsa Yahudi sendiri bersedia bertindak dan menolong dirinya sendiri.
Walaupun Sionisme sangat berakar dalam tradisi-tradisi agama Yahudi yang mengikat kaum Yahudi ke Tanah Israel, gerakan pemulangan modern lebih bersifat sekuler sebagai reaksi terhadap anti-Semitisme yang berkembang bahkan membludak pada akhir abad ke-19 di Eropa.
Buku “The Protocols of the Elders of Zion” sebuah buku yang ditulis oleh beberapa orang yang membenci kaum Yahudi. Buku tersebut diedarkan seolah-olah ditulis tokoh-tokoh Yahudi dengan rencana besar untuk menaklukkan seluruh dunia. Buku itu tidak ditulis kaum Yahudi tetapi justru oleh kaum anti-semitis guna menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap kaum Yahudi. Tujuan mereka dicapai. Penganiayaan meningkat bahkan dipakai Hitler untuk membenarkan holocaust. Semuanya ini mendorong kaum Yahudi untuk harus pulang ke Palestina.

Visi Sionisme Nasionalis
Berkaitan dengan keinginan kembali ke Palestina telah muncul Sionisme yang bersifat Nasionalis, suatu gerakan kemerdekaan nasional kaum Yahudi. Gerakan ini telah bertumbuh pada abad ke-19 dalam konteks nastionalisme umum yang berkembang dalam semua bangsa Eropa.
Sionisme menyatukan dua tujuan besar, kemerdekaan dan kesatuan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan visi memerdekakan kaum Yahudi dari penganiayaan, kebencian dan penekanan pemerintahan asing di Eropa lalu memanggil semua diaspora Yahudi untuk bersatu kembali dengan suatu pemulangan global dari keempat penjuru dunia dan mendirikan kembali Tanah Airnya, Israel.
Pada tahun 1880 an di Eropa Timur ada beberapa kelompok aktifis gerakan Sionisme ini seperti Hibbat Sion di mana emansipasi kaum minoritas belum terjadi seperti di Eropa Barat.
Penganiayaan anti-Yahudi yang disebut pogrom telah menyusul asasinasi Kaisar Aleksander II dan ini membuat emansipasi bagi kaum Yahudi semakin sulit sehingga gerakan dan visi pemulangan menjadi semakin populer.
Di samping itu, di Perancis pada tahun 1894 terjadi skandal yang disebut The Dreyfus Affair yang melapaskan gerakan anti-Semitisme yang sangat mengejutkan Eropa. Perancis sebelumnya dianggap bangsa terkemuka dalam toleransi.
Karenanya, seorang wartawan Yahudi, Theodore Herzl, telah menulis sebuah buku, “Negara Yahudi” yang mengungkapkan skandal Dreyfus sebagai pemicu mengubah visi banyak orang Yahudi yang tadinya tidak mendukung Sionisme tetapi sekarang telah menjadi seperti suatu banjir besar sehingga kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah airnya menjadi sulit dibendung lagi.
Pada tahun 1897 the Gerakan Sionis Sedunia dibentuk dan Herzl menjadi Presiden Sionisme yang pertama dan pengaruh gerakan nasionalis menjadi semakin luas.

Visi Sionisme Kultural
Sionisme juga mengembangkan visi pemulihan dan pertahanan kebudayaan Yahudi, khususnya bahasa Ibrani yang secara utuh sudah menghilang dari bahasa-bahasa dunia.
Hasil visi itu adalah bahasa Ibrani dibangkitkan kembali sebagai bahasa yang hidup yang dipakai dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keilmuan, sebuah bahasa yang dipakai oleh semua orang Yahudi sebagai bahasa pemersatu.
Seorang pemikir Sionis, Asher Ginsberg, yang lebih dikenal dengan nama samaran Ahad Ha'am, dalam bukunya One of the People telah menolak pentingnya Sionisme Politik untuk mencapai Negara Israel karena dia berpendapat bahwa persatuan melalui kebudayaan dan bahasa jauh lebih penting. Ahad Ha'am telah menyadari bahwa gerakan kemerdekaan dan pendirian Negara Israel pasti akan menimbulkan konflik dengan masyarakat Arab yang sudah ada di Palestina apalagi dengan penguasa daerah itu, Kerajaan Ottoman dan penguasa kolonial Eropa yang pada saat itu sedang berusaha merebutnya juga dari tangan Ottoman.
Daripada langsung mengusahakan Negara Israel lewat jalur politik, Ahad Ha’am lebih cenderung membangun gerakan pemulihan kebudayaan dan bahasa yang akan menyatukan kaum Yahudi dan tidak kelihatan sebagai ancaman terhadap penguasa-penguasa tsb.
Gerakan seperti itu bisa membangun suatu momentum alamiah sehingga menjadi otomatis dan nyata bahwa ada bangsa Yahudi sebagai penduduk mayoritas Palestina.
Tokoh sebagai pelopor gerakan memulihkan bahasa Ibrani yang hidup adalah Eliezer Ben Yehuda.
Pada tahun 1880’an kebanyakan kaum Yahudi Eropa hanya berbahasa bahasa Yiddish, sebuah bahasa campuran berdasarkan bahasa Jerman kuno campur kata-kata Ibrani. Ben Yehuda dan para pendukungnya mulai menganjurkan pemulihan bahasa Ibrani lalu mulai mengajarkan bahasa Ibrani modern berdasarkan bahasa Ibrani Alkitabiah.
Setelah 1800 tahun bahasa Ibrani dianggap bahasa mati. Ben Yehuda telah menghidupkannya kembali. Ben Yehuda telah tiba di Palestina mengikuti Aliyah Pertama pada tahun 1881 lalu memimpin proyek pemulihan bahasa Ibrani. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti ‘mendaki’, dan bermakna, “mendaki ke Tanah Kudus”.
Dengan pertolongan Nissim Bechar, Dekan Alliance Israelite Universelle, Ben Yehuda mulai mengajarkan bahasa Ibrani. Kemudian dia menerbitkan surat kabar harian Hatzvi dan mendirikan sebuah Dewan Linguistik. Karya Ben Yehuda telah berhasil menyelidiki, memulihkan dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa modern. Bahasa Ibrani mulai menjadi faktor pemersatu para pendatang baru dan para penduduk lama. Banyak dari mereka mulai mengambil nama-nama baru, nama-nama Ibrani.
Perkembangan kota modern baru, Tel Aviv,sebagai kota pertama yang berbahasa Ibrani modern bersamaan dengan perkembangan gerakan kibbutz, dan perkembangan institusi-institusi ekonomi Yahudi lainnya telah meletakkan dasar kuat untuk nasionalisme baru yang menjadi nyata pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang juga mendukung deklarasi Inggris pada tahun 1917 yang disebut Deklarasi Balfour, yang meluncurkan gerakan dari bangsa adidaya itu untuk mendirikan kembali Negara Israel di Palestina. Realita dari deklarasi itu kemudian disaksikan setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) berakhir.

Kombinasi berbagai faktor ini, Sionisme Sosialis, Sionisme Religius, Sionisme Nasionalis dan Sionisme Kultural telah melahirkan suatu gerakan yang menyatukan semua elemen kaum Yahudi dengan visi bahwa pada generasi mereka, doa, kerinduan dan perjuangan mereka selama 1800 tahun untuk “tahun depan di Yerusalem” dapat terwujud dengan sesungguhnya. Namun, munculnya Sionisme, publikasi buku fabrikasi The Protocols of the Elders of Zion, tekanan-tekanan politik dan ekonomi di antara bangsa-bangsa Eropa telah membuat gerakan anti-semitisme membludak dan memuncak dengan pogrom-pogrom dan kemudian komunisme di Rusia, penganiayaan di Perancis, fasisme di Italia dan Spanyol dannazisme di Jerman dan sebagainya sehingga suatu solusi harus ditemukan. Untuk kaum Yahudi solusi adalah pemulangan ke Palestina. Untuk Hitler solusinya, yang dia sebut “Solusi Akhir”, adalah eksterminasi semua orang Yahudi dari permukaan bumi.

Dalam artikel berikut kita akan menyelidiki usaha-usaha pemulangan bangsa Yahudi dan munculnya Deklarasi Balfour pada tahun 1917.

Israel di Zaman Perang Salib (1095-1291)

Banyak orang yang percaya bahwa Perang Salib adalah serangan biadab oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam tanpa alasan.
Apakah hal itu benar? Apa Penyebab Perang Salib?
 
Awal mula Perang Salib adalah perang defensif bukan ofensif. Selama lima abad lamanya, Timur Tengah merupakan bagian dari Israel-Palestina, Yordan, Mesir, Lebanon dan Syria yang adalah wilayah Kristen. Hal itu terjadi karena pemberitaan Injil yang menyebabkan pertobatan penduduk dan para penguasa. Oleh karena itu, setelah Kaisar Konstantin menjadi Kristen, maka agama Kristen berubah menjadi kekuatan politik, sehingga makin lama semakin kehilangan kuasa rohaninya.
Ke dalam situasi seperti ini, maka tentara jihad dari Arab Saudi mengubah peta politik dan agama utama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Perubahan ini terjadi melalui penumpahan darah dan pembantaian terhadap banyak sekali orang Kristen.
Alasan pertama Perang Salib adalah untuk membela dan membebaskan orang-orang Kristen yang dijajah oleh orang-orang Islam. Sebagaimana sudah kita selidiki dan ketahui bahwa dalam waktu kurang dari satu abad Islam berhasil merebut dua pertiga dari dunia Kristen: Palestina, Syria, Mesir, Turki, Spanyol, Portugal dll.
Di bawah Khalifah Fatimid Kalif al-Hakim, dua ribu gereja dihancurkan termasuk Gereja Makam Kudus pada tahun 1009.
Jadi, Paus Innocent III menulis: “Apakah kamu tidak tahu bahwa ribuan orang Kristen diperbudak dan ditawan oleh orang Islam, disiksa dengan siksaan yang tak dapat terhitung?”
Itulah sebabnya, Perang Salib dianggap sebagai kewajiban umat Kristen untuk mengungkapkan kasih mereka kepada saudara-saudaranya yang menderita dan untuk mengungkapkan kasih kepada Kristus.
Pada waktu itu, Islam dipandang sebagai musuh Kristus dan Gereja. Tujuan dari Perang Salib adalah untuk mengalahkan Islam dan membebaskan umat Kristen dari jajahannya. Berdasarkan pada pandangan itu, maka Gereja membuat sumpah kudus sehingga banyak orang yang rela berangkat ke Israel untuk memerdekakan Tanah Kudus dari tangan orang Islam.
Sebab kedua terjadi Perang Salib, adalah supaya umat Kristen merebut kembali Yerusalem, kota kudus, dari tangan dan kuasa orang Islam. Sejak Konstantin, banyak orang Kristen berziarah ke Tanah Suci. Walaupun daerah itu dikuasai oleh Islam sejak tahun 638, mereka masih bisa mengunjunginya. Tetapi pada abad kesebelas, orang Seljuk dari Turki menguasai Yerusalem dan melarang kunjungan Umat Kristen ke sana. Jadi, pada tahun 1095, Paus Urban II menyerukan adanya Perang Salib untuk menghentikan serangan Islam terhadap wilayah-wilayah Kristen. Dalam pidatonya di Musyawarah Clermont di Perancis pada November 27, 1095, ia memanggil orang Kristen dari semua Negara Kristen untuk berziarah ke Tanah Suci dan mengadakan Perang Salib.


"Tujuh Perang Salib"

I. Yang pertama, 1095-1099, dicanangkan oleh Paus Urban II.
II. Yang kedua: 1147-1149, dipimpin oleh Raja Louis VII yang gagal, dan yang mengakibatkan kehilangan salah satu dari empat Kerajaan Latin, yaitu, Edessa.
III. Yang ketiga: 1188-1192, dicanangkan oleh Paus Gregory VIII sesudah kegagalan perang salib yang kedua. Dipimpin oleh Emperor Frederick Barbarossa, Raja Philip Augustus dari Perancis dan Raja Richard "Coeur-de-Lion" dari Inggris.
IV. Yang keempat: di mana Konstantinopel dihancurkan, 1202-1204.
V. Yang kelima: termasuk yang direbutnya Damietta, 1217-1221.
VI. Yang keenam: di mana Frederick II ikut berperang (1228-1229); juga Thibaud de Champagne dan Richard dari Cornwall (1239).
VII. Yang ketujuh: dipimpin oleh St. Louis (Raja Louis IX dari Perancis), 1248-1250.



"Kerajaan Perang Salib (1099 sampai 1187)"
 
Pada tahun 1099, Yerusalem diduduki oleh para Laskar Salib. Banyak orang Yahudi yang dibunuh dan hampir semua diusir.
Ada empat “Kerajaan Krusader” yang didirikan di Israel pada waktu itu. Salah satu Kerajaan Krusader didirikan di Yerusalem dan Baldwin I diangkat sebagai Raja Yerusalem. Selama adanya kerajaan itu, banyak sekali perubahan yang terjadi di Yerusalem dan sekitarnya. Orang-orang Yahudi diusir, sehingga mayoritas penduduk Yerusalem menjadi orang Kristen.
Yerusalem menjadi kota besar, ibukota kerajaan, bahkan menjadi kota penting bagi orang Kristen. Jadi, terjadilah perubahan besar dari yang sebelumnya hanya merupakan sebuah kota kecil di pedalaman. Banyak pembangunan terjadi pada masa itu yang menghasilkan gedung-gedung besar dan membentuk tata kota yang masih bertahan bentuknya sampai sekarang. Yang paling utama dibangun adalah gereja, biara dan asrama bagi peziarah. Dome of the Rock diubah fungsinya dari mesjid menjadi gereja, mesjid al-Aqsa, diberi nama baru, Bait Salomo, dan menjadi tempat tinggal raja.
Harus diakui bahwa walaupun awalnya Perang Salib bersifat defensif, makin lama semakin jahatlah perbuatan yang dilakukan oleh Tentara Salib, termasuk pembunuhan atas banyak orang Yahudi dan Muslim. Karena itu, tanggapan umum yang terjadi di hampir semua kalangan terhadap Perang Salib sampai masa kini adalah sangat negatif.



"Dampaknya atas orang Yahudi"
 
Walaupun banyak orang Yahudi yang dibunuh dan diusir dari Yerusalem, tetapi masih ada yang tetap tinggal di daerah Palestina dan sekitarnya.
Pada 1165, Benjamin dari Tudela, seorang Spanyol yang terkenal, melaporkan bahwa "Akademi Yerusalem" sudah didirikan di Damsyik. Meskipun banyak orang Yahudi yang diusir dari Jerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tetapi masih ada yang tetap tinggal di desa-desa di Galilea.
Pada abad ke tiga belas, Acre juga memiliki suatu akademi Yahudi. Dilaporkan bahwa selama abad keduabelas dan ketigabelas, masih ada orang-orang Yahudi yang tetap masuk daerah Palestina dari daerah Islam lain, khususnya dari Afrika Utara.


"1187 -1291 Zaman Islam di bawah Khalifah Ayyoubite"
 
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) seorang Kurdi, sesudah mendirikan pemerintahan Abbasid atas Fatimid Mesir, ia merebut kota Yerusalem dalam Perang Hattin. Tentaranya mengalahkan tentara Kristen dan kota-kota Kristen lain pun mulai menyerah. Benteng Krusader terakhir, yakni Acre pun jatuh pada tahun 1291. Pada waktu itu, tidak ada lagi sisa-sisa kerajaan dari Perang Salib karena semuanya dibunuh atau pun diusir.
Walaupun ada berbagai usaha dan rencana lagi, namun orang Kristen tidak pernah lagi berkuasa di daerah itu sampai abad ke sembilan belas.
Akhirnya, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam diizinkan untuk kembali tinggal di Yerusalem.
Pada tahun 1192, Richard “the Lion Heart” berusaha merebut kembali Yerusalem, namun tetap gagal. Jadi, diadakanlah perjanjian dengan Salah al-Din (Saladin) yang mengizinkan orang Kristen mengunjungi dan beribadah di tempat-tempat kudus mereka. Sesudah Yerusalem direbut kembali, Salah al-Din tidak mau membunuh penduduknya dan juga tidak menghancurkan gedung-gedungnya. Ada usaha besar dari orang Kristen selama Perang Salib untuk menghapuskan tanda penguasaan Islam di sana, tetapi tidak bisa.
Di dalam pemerintahan baru Islam, gedung seperti Dome of the Rock, dijadikan mesjid lagi dan banyak gedung lain dijadikan sebagai institusi Islam.
Ketika Salah al-Din diancam dengan Perang Salib ketiga, ia membangun kembali tembok Yerusalem. Namun pada tahun 1219, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memerintahkan agar tembok tersebut dihancurkan kembali. Pada waktu itulah hampir semua penduduk Yerusalem meninggalkan kota tersebut. Sampai zaman Ottoman, 320 tahun kemudian, kotaYerusalem tetap tidak memiliki tembok.



"1244, Orang Turki Khawariz merebut Yerusalem."
 
Waktu orang Turki Khawariz merebut Yerusalem, sekitar 7.000 orang Kristen yang tinggal di Yerusalem dibunuh selain 300 orang yang lari ke Yafa. Bukan hanya itu, serentetan serangan di seluruh daerah itu dari orang Mongol yang menyebabkan banyak penduduk mengungsi untuk mencari ke tempat yang aman.
Pada tahun1260, orang-orang Mamluk mengalahkan orang-orang Mongol pada Perang Ein Jalut di Lembah Yizril di depan Lembah Harmagedon. Setelah terjadinya serangan Khawariz dan Mongol, maka kota Yerusalem hampir kosong dan tidak berpenduduk. Hanya sesudah orang Mamluk menetapkan pemerintahan, maka kota itu dapat diduduki lagi. Tapi, karena pemerintahan Mamluk tidak mengembangkan ekonomi Yerusalem, maka kota itu tidak berkembang. Ia hanya membangun institusi agamawi, seperti mesjid, madrasah, zawia (biara), khanakah (pusat mistik Sufi) dan rumah sakit.
Setelah semua peristiwa itu terjadi, maka Yerusalem bukan lagi menjadi ibu kota kerajaan. Karena itulah, Yerusalem kembali menjadi kota kecil di pedalaman yang tanpa tembok dengan penduduknya sangat sedikit. Keadaan seperti inilah yang terus-menerus terjadi di Yerusalem sampai awal abad ke-20.



"Palestina Pasca Perang Salib & Masa Kedaulatan Islam (1187-1516 M)"

Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :
1. Periode 1095-1101;
2. Periode 1145-1147;
3. Periode 1188-1192;
4. Periode 1204;
5. Periode 1217;
6. Periode 1239;
7. Periode 1249-1252;
8. Periode 1270.


Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik, khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa.
Terjadinya Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II.
Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak.
Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu, wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.



"Masa Ayyubid – Mamluk"
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).



"Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci".
Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya. Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen, Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. 



"Serangan Khawarism Turki membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300 penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa."
Pada tahun 1260 tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali. Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44 madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.
Pada tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja penduduknya.
Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu, pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia, datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk, ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.




"Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518"
Para Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa yang terlaknat dengan membunuh Yesus.
Pada abad ke-11 Laskar Salib sama sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak berhasil.
Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria. Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13. Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land, hal. 97-110).
Masyarakat Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exileand Return, The Struggle for a Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)
Banyak orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka tidak pernah lagi meninggalkan Palestina.
Pada tahun 1486, jumlah orang Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach.
Setelah penganiayaan Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada 1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.



"Gaza 1481"
Sejarah telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa pemerintahan Mameluk.
Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.


"Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?"
Setelah tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.
Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.
Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.



Nubuatan dan Kalkulasi Rabbi Judah Ben Samuel
Di akhir Abad ke-12, Rabbi Judah Ben Samuel telah menerbitkan hasil penyelidikan Alkibabiah, yang disebut Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak. Hasilnya di laporkan dalam majalah Israel Today, Nopember 2012.
Ben Samuel mengatakan: “Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 x 50 =400 tahun). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi wilayah yang tidak dimiliki siapapun selama satu Yobel (50 tahun), lalu pada Yobel kesembilan, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yeng menunjukkan zaman Mesianik.”
Bahwa satu Yobel adalah 50 tahun dapat dibaca dalam Imamat 25:8-10, “Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.”
Kalkulasi Ben Samuel mulai menjadi realita 300 tahun kemudian.
Khilafah Mamluk telah menguasai Yerusalem sejak 1250, lalu dikalahkan pada tahun 1517 oleh Kerajaan Ottoman. Khilafah Ottoman benar berkuasa selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 years), sampai tahun 1917, ketika Kerajaan Ottoman dikalahkan oleh Kerajaan Inggris. Awalnya tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua, ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun. Lalu pada waktu Israel merebut Yerusalem dalam Perang Enam Hari, 1967, tepat satu Yobel (50 tahun) setelah kekalahan Ottoman. Sejak tahun 1967 itu, Yerusalem telah dipimpin oleh negara Yahudi, Israel. Menurut Judah Ben Samuel, zaman Mesianik sebagai permulaan akhir zaman telah mulai.



"Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517"
Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turkey modern yang telah menjadikan Turkey bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.
Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, namun Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.
Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turkey. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua Yerusalem sampai hari ini.
(Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25.)
Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah zaman Sultan Sulaiman Alqanuni, keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Suria, Libanon dan Mesir, dan wilayah itu kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah zaman itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991.)



"Bagaimana Keadaan Palestina 1517-1917?"
Kesaksian para sejarahwan telah mencatat keadaan wilayah Palestina selama 400 tahun dominasi pemerintahan Ottoman sebagai masa yang sepi. Pada tahun 1590 seorang Inggris yang berkunjung ke Yerusalem telah menulis: “Tidak ada apa-apa yang kelihatan selain sebagian tembok-tembok tua, yang lain hanya rumput, jamur dan jerami.” (Gunner Edward Webbe, Palestina Exploration Fund, Quarterly Statement, p. 86; de Haas, History, p. 338+).
“Tanah Palestina kekurangan orang untuk mengolah tanahnya yang subur”. (Arkeolog Inggris, Thomas Shaw, pertengahan 1700’an.).
“Palestina adalah tanah yang hancur dan sunyi”. (Count Constantine François Volney, sejarahwan dan penulis Perancis, Abad Ke-18.).
“Penduduk Arab sendiri hanya dapat dianggap penduduk sementara. Mereka memasang kemahnya di ladang rumput atau membangun pondoknya di antara reruntuhan kota-kota. Mereka tidak membangun apa-apa yang tetap. Karena mereka adalah orang asing di negeri ini mereka juga tidak menguasai keadaannya. Angin padang gurun yang membawa mereka ke sini juga satu hari akan membawa mereka ke lain tempat tanpa meninggalkan tanda apapun waktu mereka melewati daerah ini.” (Catatan Gereja tentang Suku Arab di Palestina pada tahun1800’an.).
“Daerah itu sangat sunyi, dan kami telah jalan di antara berbagai air terjun yang tidak lagi ada air. Kami tidak melihat binatang-binatang yang bergerak di antara batu-batuannya; mungkin kami juga tidak melihat lebih dari 12 ekor burung di sepenjang perjalanan.” (William Thackeray dalam “From Jaffa To Jerusalem”, 1844).
“Seluruh negeri sudah hampir kosong dari penduduk dan karenanya sangat memerlukan sejumlah besar penduduk.” (James Finn, British Consul, 1857).
“Tidak ada satu desa pun di sepanjang lembah Jizreel, Galilea; tidak ada sejauh tiga puluh kilometer dalam tiap arah... Seorang dapat jalan 16 km dari sini dan tidak melihat sampai 10 orang. Kalau mau mencari kesunyian yang akan melelahkan, datanglah ke Galilea. ... Keadaan Nazaret sungguh menyedihkan ... Yerikho adalah puing-puing yang berjamur ... Betlehem dan Betania, dalam kemiskinan dan kehinaannya ... tidak berpenduduk makhluk yang hidup ... Suatu negeri yang sunyi-senyap yang walaupun tanahnya cukup subur, namun hanya dipakai semata-mata untuk rumput dan jerami ... suatu tempat yang sunyi dan memilukan ... Kami tidak melihat seorang manusia di sepanjang perjalanan ... Hampir saja tidak ada pohon ataupun semak. Bahkan pohon-pohon zaitun dan kaktus, teman setia kepada tanah yang tak berharga juga sudah hampir melarikan diri dari negeri ini... Wilayah Palestina seolah-olah duduk dalam kain kabung dan abu ... sunyi dan tidak indah”.
(Mark Twain, “The Innocents Abroad”, 1867.)
“Ada banyak bukti, seperti reruntuhan masa lampau, terowongan air yang patah dan pecah, dan sisa-sisa jalan-jalan yang lama, yang menyatakan bahwa daerah ini tidak selamanya kosong seperti sekarang. Dalam lembah antara Bukit Karmel dan Jaffa jarang sekali kelihatan desa atau tanda manusia masih hidup di sini. Ada beberapa pabrik gilingan sederhana yang menggunakan tenaga air sungai. Perjalanan naik kuda selama setengah jam membawa kami ke peninggalan puing-puing kota Kaisaria, yang dulu berpenduduk 200.000 orang, ibu kota Palestina di zaman Romawi, tetapi sekarang sunyi total.”
(B. W. Johnson, dalam “Young Folks in Bible Lands”: Chapter IV, 1892.).
Catatan para musafir dan peziarah sepanjang Abad Ke-16 sampai Abad Ke-19 telah memberi kesaksian yang serupa, termasuk nama-nama terkenal seperti Alphonse de Lamartine, Sir George Gawler, Sir George Adam Smith, Siebald Rieter, Pastor Michael Nuad, Martin Kabatnik, Arnold Van Harff, Johann Tucker, Felix Fabri, Edward Robinson dll.
Semuanya telah menemukan tanah Palestina sunyi dan hampir kosong sama sekali, selain beberapa Arab Beduin yang mengembara sini-sana dan sejumlah pedesaan Yahudi di Yerusalem, Shekhem, Hebron, Haifa, Safed, Irsuf, Kaisaria, Gaza, Ramleh, Acre, Sidon, Tzur, El Arish, dan beberapa desa di Galilea, yaitu: Ein Zeitim, Pekiin, Biria, Kefar Alma, Kefar Hanania, Kefar Kana dan Kefar Yassif.
Bahkan Napoleon I Bonaparte, setelah berkunjung ke Tanah Suci menyatakan wilayah itu sangat memerlukan penduduk. Napoleon pernah membahas kemungkinan pemulangan Yahudi secara massal ke negerinya sendiri dari Eropa. Dia ingin mengatasi masalah Yahudi di Eropa dan dia mengakui bahwa Palestina adalah negeri asal Yahudi, bahkan adalah negeri milik Yahudi. Pengalaman kunjungannya ke sana tidak memberi kesan kepada Napoleon bahwa negeri Palestina dihuni, diduduki, dikuasai ataupun dipimpin kaum Arab dan selama berabad-abad tidak pernah didengar suara yang mengklaim tanah itu sebagai hak orang Arab Palestina. Sebaliknya Napoleon telah menyaksikan bahwa mayoritas penduduk Palestina pada zamannya adalah masyarakat Yahudi, bukan Arab. (Green, Elliott, A., The Land of Israel and Jerusalemin 1900.).
Karl Marx juga mencatat bahwa mayoritas penduduk Palestina pada pertengahan Abad Ke-19, adalah Yahudi (New York Tribune 04-15-1854).
Penulis Perancis, Gérardy Santine, yang menerbitkan bukunya tentang keadaan Yerusalem pada tahun 1860 (Trois ans en Judée, 1860), telah menulis bahwa masyarakat Yahudi “adalah lebih separuh penduduk Kota Kudus,” yaitu pada tahun 1860 itu.
Laporan Komisi Kerajaan Inggris, 1913
“Seluruh wilayah kekurangan penduduk sehingga tidak maju secara ekonomi sampai kedatangan pelopor Zionis pada tahun 1880’an, yang datang untuk membangun kembali tanah Yahudi itu.
Negeri itu telah lama mempertahankan statusnya sebagai “Tanah Suci” dalam kesadaran agama, sejarah dan hati nurani manusia, yang telah mengkaitkannya dengan Alkitab dan sejarah masyarakat Yahudi. Dengan perkembangan yang dilakukakan kaum Yahudi baru maka telah mulai terjadi imigrasi baru pula, baik Yahudi maupun Arab. Jalan dari arah Gaza ke utara hanya merupakan jalan sempit yang hanya cocok untuk transportasi dengan unta atau gerobak. ... Semua rumah dibuat dari lumpur. Tidak ada jendela yang kelihatan ... Bajak dorongan yang dipakai dibuat dari kayu saja ... Hasil pertanian sangat minim ... Keadaan kesehatan dan kebersihan (MCK) di desa [Yabna] sangat parah ... Sekolah-sekolah tidak ada ... Angka kematian anak-anak sangat tinggi ... Bagian barat, ke arah laut, sudah hampir menjadi padang pasir ... Desa-desa di daerah itu sangat sedikit dan hanya sedikit penduduknya. Banyak reruntuhan desa-desa terlihat di berbagai tempat, dan karena banyak malaria, banyak desa lain ditinggalkan penduduknya”.
Demikianlah keadaan Palestina pada akhir Zaman Khilafah Ottoman.
Hanya 50 tahun pertama dari 1517 sampai 1567 Palestina telah menikmati zaman emas itu lalu selama 350 tahun berikutnya, tanah Palestina telah melarat, menjadi sunyi, kosong dan miskin yang tidak disenangi. Tetapi dengan terjadi Perang Dunia Ke-I dan rubuhnya Khilafah Ottoman semua keadaan itu segera akan berubah. Palestina-Israel akan menjadi tanah yang dicari bahkan direbut dan hal itu akan menjadi bahan pembahasan berikut.


Apakah tanah itu disimpan dalam keadaan kosong oleh Tuhan sebagai persiapan penggenapan janji Firman-Nya?
Baca dan fahamilah Yehezkiel 36:24, “Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.”
"Keadaan Kaum Yahudi & Kaum Arab di Palestina di Zaman Ottoman (1517-1917)"
Seri artikel ini membawa kita lebih dekat kepada generasi kita, maka semakin penting untuk kita mengetahui keadaan Palestina menjelang daerah itu menjadi rebutan dan pemicu berbagai perang yang telah menghantui dunia selama 100 tahun sampai sekarang. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah orang Israel berhak berada di Palestina?
Menurut Presiden Iran, Ahmadinejad, Israel harus diusir sebagai penjajah yang tidak mempunyai hak sama sekali untuk mendiami Tanah Palestina.
Apa benar Israel penjajah ataukah justru Israel-lah yang memiliki hak mutlak atas Palestina sebagai satu-satu suku penduduk negeri tersebut yang secara permanen, selama ribuan tahun menghuni dan mengolah tanah tersebut?




"Bangsa Yahudi di Palestina selama 3500 tahun secara permanen"
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Israel, terutama ‘Kerajaan Yehuda’ adalah satu-satunya suku bangsa yang secara permanen telah mendiami tanah Palestina, tanpa putus, selama 3500 tahun sejak nabi Musa membawa Israel ke perbatasan Kanaan lalu Yosua dan Kaleb memimpin Israel masuk dan menguasai seluruh negeri itu.
Di dalam artikel-artikel sebelumnya kita sudah melihat banyak bukti eksistensi Israel di Palestina. Dalam artikel ini kita akan melihat pula berbagai bukti dari sejarah modern, yaitu dari zaman Ottoman sampai 90 tahun yang lalu bahwa mayoritas penduduk Palestina selama sejarah, selamanya orang Yahudi.
Ada banyak sumber Arab yang mengkonfirm fakta bahwa mayoritas penduduk Palestina selama zaman pemerintahan Arab adalah orang Yahudi. Biasanya fokus kita adalah pada Diaspora, yaitu orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah dan Eropa sejak zaman pemerintahan Roma/ Bizantin.
Pada tahun 985 penulis Arab, Muqaddasi, telah mengeluh bahwa di Yerusalem mayoritas besar penduduk adalah Yahudi, lalu dia berkata bahwa "masjid sudah kosong, tidak ada yang bersolat...".
Dalam kesaksian Ibn Khaldun, salah satu sejarahwan yang paling terkenal telah menulis pada tahun 1377: "Kedaulatan Yahudi di Tanah Israel telah berlangsung lebih dari 1400 years... Itulah orang Yahudi yang menanam kebudayaan dan adat istiadat di perkemahan permanen".
Selanjutnya setelah 300 tahun pemerintahan Arab di Tanah Suci, Ibn Khaldun mengakui bahwa kebudayaan dan tradisi Yahudi tetap dominan. Itu adalah fakta sejarah bahwa sampai waktu itu sama sekali tidak ada bukti hadirnya kebudayaan atau perkampungan bahwa yang masa kini disebut “orang Palestina” sudah berakar di daerah Palestina. Ingatlah bahwa orang Palestina masa kini adalah campuran keturunan Arab dari berbagai bangsa Arab yang bersumber di Yaman.
Ahli sejarah Timur Tengah, James Parker menulis: "Selama abad pertama penjajahan Palestina oleh tentara Arab [670-740], kalif dan gubernor Suria dan Palestina memerintah atas penduduk yang hampir seluruhnya adalah Kristen dan Yahudi. Selain beberapa Bedouin (suku Arab yang suka mengembara) pada awal penjajahan itu, semua orang keturunan Arabs yang di sebelah barat sungai Yordan adalah benteng-benteng tentara".
Walaupun tentara Arab berkuasa di Palestina dari 640 sampai 1099, mereka tidak pernah menjadi penduduk mayoritas. Selama masa itu mayoritas penduduk adalah Kristen (suku bangsa Asyur dan Armenia) dan orang-orang Yahudi.
Selain dokumen-dokumen sejarah, kesaksian-kesaksian dalam penulisan para saksi mata dan pernyataan-pernyataan para sejarahwan Arab yang paling terkenal yang mendukung fakta orang Yahudi adalah penduduk utama dan mayoritas di Palestina, kita dapat baca juga dalam Al-Qur’an, Surah 17:104, bahwa penduduk Palestina adalah bangsa Yahudi dan Allah berkata kepada mereka: "Tinggal dengan aman di Tanah Perjanjian.”



"Apa benar Israel hanya ‘kembali’ ke Palestina di masa modern?'
Begitu sering waktu membahas kembalinya bangsa Yahudi ke Tanah Airnya ada anggapan umum bahwa mereka kembali setelah 2000 tahun tidak lagi berada di Palestina. Walaupun benar bahwa mayoritas bangsa Israel telah hidup dalam pengasingan, namun hal itu tidak benar untuk semuanya. Tidak benar untuk asumsikan bahwa seluruh bangsa Yahudi telah meninggalkan Palestina malah bangsa Yahudi hampir di sepanjang 2000 tahun itu tetap merupakan mayoritas penduduk lokal.
Pengasingan panjang yang dikenal sebagai Diaspora, adalah fakta yang dicatat secara luas dalam sejarah dan merupakan bukti bahwa bangsa Yahudi mempunyai hak milik sah atas Tanah Israel. Diaspora itu adalah akibat perjuangan bangsa Yahudi untuk dimerdekakan dari kuk perhambaan dan penjajahan Romawi.
Kalau yang disebut "bangsa Palestina" masa kini benar-benar adalah penduduk historis Tanah Suci, mengapa bukan mereka yang berjuang melawan penjajah, bangsa Roma seperti dilakukan bangsa Yahudi? Kenapa tidak ada satu pemimpin ‘Palestina’ atau satu pasukan ‘Palestina’ yang disebut dalam semua catatan sejarah dalam perang kemerdekaan terhadap bangsa penjajah? Kenapa hanya perjuang Yahudi yang disebut sebagai pelawan penjajahan Romawi itu? Kenapa semua dokumen historis menyebut penduduk wilayah Palestina sebagai penduduk asli dan orang-orang Yunani, Romawi dan orang-orang lainnya sebagai orang asing dan tidak pernah menyebut adanya ‘bangsa Palestina’?
Setelah Perang Kemerdekaan Yahudi terakhir pada Abad Kedua Kaisar Roma, Hadrian, membumihanguskan kota Yerusalem pada tahun 135 dan mengubahnamanya menjadi Ælia Capitolina, dan nama Yudæa menjadi Palæstina, dalam usahanya menghapuskan identitas Yahudi dari permukaan Bumi! Mayoritas Yahudi diusir dari Tanah Airnya oleh tentara Romawi, fakta sejarah yang memicu Diaspora.
Namun demikian, banyak kelompok kecil Yahudi telah berhasil bertahan di dalam provinsi Roma yang diberi nama ‘Palestine’, dan keturunan mereka telah tinggal tetap di Israel turun-temurun dan sedikit demi sedikit ada yang dari Diaspora itu yang kembali bergabung sampai Abad ke-19 pada waktu perintis-perintis Zionisme mulai membuat gerakan pemulangan massal yang telah mulai pada Abad ke-19 lalu menjadi banjir pada waktu Abad ke-20 untuk luput dari penganiayaan Hitler di Jerman dan Lenin dan Stalin di Russia.
Oleh sebab itu, klaim Yahudi sebagai pemilik Tanah Israel sungguh dibenarkan oleh beberapa fakta:
a. Janji Allah di dalam Alkitab bahwa Tanah itu diberikan kepada bangsa Israel.
b. Peneguhan dalam Al-Qur’an bahwa Tanah itu sah diduduki bangsa Israel.
c. Bukti-bukti sejarah bahwa satu-satunya kelompok etnis yang menduduki wilayah Palestina itu secara permanen di sepanjang 2000 tahun itu adalah kelompok etnis Yahudi.
Berabad-abad lamanya dan di bawah penjajah yang berbeda-beda orang Yahudi Palestina tidak tunduk kepada tekanan integrasi dan asimilasi dengan kaum penjajah tetapi telah mempertahankan identitasnya sendiri secara suku, agama, kebudayaan dan hubungannya dengan bangsanya sendiri yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah lainnya.
Arus aliran Yahudi Mizrachim (Oriental) dan Yahudi Sephardim (Mediterranean) ke Tanah Suci telah membantu populasi Yahudi bisa bertahan selama ribuan tahun itu. Kepenghunian wilayah Palestina oleh orang Yahudi telah mendahului kedatangan tentara Arab lebih dari 2000 tahun dan juga selama 600 tahun setelah awal Diaspora sebelum orang-orang Arab mulai menguasai pemerintahan wilayah itu.
Walaupun kota Yerusalem menjadi wilayah terlarang untuk orang-orang Yahudi beberapa kali (mis. penjajah Romawi melarang semua orang Yahudi dari kota Yerusalem), namun banyak telah tinggal didalam desa-desa dekat Yerusalem bahkan di seluruh Tanah Suci. Komunitas Yahudi telah berkembang di Bukit Sion namun pada masa pemerintahan Roma dan Byzantin masyarakan Yahudi dianiaya dan dilarang memasuki wilayah Bukit Moriah dilokasi Bait Suci dulu berdiri.
Pada waktu Sassanid Persia menguasai Yerusalem pada tahun 614 mereka menjadi sekutu orang-orang Yahudi lokal, tetapi lima tahun kemudian Yerusalem dikuasai kembali oleh pemerintah Byzantin, tetapi waktunya singkat saja sebab pada tahun 638 Yerusalem direbut oleh Kalif Omar. Itulah saat pertama dalam sejarah bahwa seorang pemimpin Arab pernah masuk kota Yerusalem, dan penduduknya pada waktu itu adalah non-Arab, yaitu orang Yahudi, orang Asyur, orang Armenia, orang Yunani dan masyarakat Kristen lainnya.
Setelah beberapa abad penjajahan dan penganiayaan di tangan Roma-Byzantine, masyarakat Yahudi telah menyambut baik kedatangan tentara Arab karena mereka telah mengharapkan bahwa keadaan mereka akan lebih baik di bawah pemerintahan Arab. Jadi, sudah dicatat dalam sejarah Arab-Islam bahwa mereka menemukan mayoritas penduduk Yerusalem dan wilayah sekitarnya adalah orang-orang Yahudi. Ternyata orang-orang Palestina asli tidak lain daripada bangsa Yahudi! Penduduk kota-kota yang sekarang disebut Ramallah, Yerikho dan Gaza pada waktu itu sudah hampir 100% Yahudi.
Tentara Arab, yang belum memilik nama untuk wilayah itu telah mengadopsi nama bahasa Latin, yaitu Palæstina, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab sebagai Falastin.
Para imigran Arab pertama yang mulai tinggal tetap di wilayah Palestina sebenarnya juga adalah orang-orang Yahudi yaitu suku Nabatean yang masuk agama Yahudi. Sebelum bangkitnya agama Islam, kota-kota di Arab yang sangat berkembang seperti Khaybar dan Yathrib (sekarang Madinah) adalah kota-kota mayoritas Yahudi Nabatean. Bilamana ada kelaparan di Palestina, para pedagang pergi ke Khaybar karena orang-orang Yahudi selalu punya makanan, buah, dan mata airnya adalah sumber kaya air.
Setelah kaum muslim menguasai semenanjung Arabia, kekayaan itu menghilang; lalu terjadi pembunuhan massal masyarakat Yahudi, lainnya mengungsi ke kota-kota lainnya, khususnya di Yerikho dan Dera’a di pinggir sungai Yordan.
Para kalif Arab (Umayyad, Abbasid dan Fatimid) telah berkuasa di Tanah Suci sampai tahun 1071, waktu Yerusalem dikuasai tentara Turki Seldjuq, dan setelah itu, sampai sekarang, selama 936 tahun, wilayah Israel tidak pernah lagi dikuasai pemerintahan Arab.
Jadi ada klaim atau hak apa bahwa tanah itu milik mereka atau sudah diambil dari mereka?
Hal ini bertentangan dengan semua fakta sejarah! Selama periode itu, suku-suku Arab hampir tidak pernah mendirikan struktur sosial atau penghunian permanen.
Waktu wilayah itu dikuasai tentara Arab (638-1071) mereka hanya memerintah atas para penduduk asli yang non-Arab, yaitu penduduk-penduduk Yahudi dan Kristen.
Kedatangan Laskar Perang Salib Eropa pada tahun 1099 telah menguasai wilayah Palestina dan mendirikan suatu kerajaan independen yang tidak pernah menghasilkan identitas nasional lokal. Itu hanya merupakan wilayah jajahan dari Eropa. Para Laskar Salib pun telah menganiaya masyarakat Yahudi bahkan telah berusaha dengan kasar dan kejam untuk menghapus semua ekspresi kebudayaan Yahudi. Orang Yahudi dianggap pembunuh Mesias sehingga juga dianggap musuh Kristen.
Pada tahun 1187, masyarakat Yahudi bergabung aktif dengan Salah-ud-Din Al'Ayyub (Saladin) untuk melawan Tentara Salib dalam usahanya menguasai kota Yerusalem. Saladin, yang adalah Jenderal Muslim terhebat bukan orang Arab tetapi seorang Kurdi. Kemudian Kerajaan Ottoman (Turki) telah menguasai wilayah Palestina sampai tahun 1917.
Selanjutnya kita perlu melihat pertumbuhan Zionisme pada Abad ke-19 yang menghasilkan gerakan pemulangan secara massal orang-orang Yahudi ke wilayah Palestina, dan tekanan-tekanan yang kemudian menghasilkan Deklarasi Balfour dan akhirnya melahirkan kembali bangsa Israel.