Minggu, 25 Oktober 2015

Israel di Zaman Perang Salib (1095-1291)

Banyak orang yang percaya bahwa Perang Salib adalah serangan biadab oleh Umat Kristen terhadap Umat Islam tanpa alasan.
Apakah hal itu benar? Apa Penyebab Perang Salib?
 
Awal mula Perang Salib adalah perang defensif bukan ofensif. Selama lima abad lamanya, Timur Tengah merupakan bagian dari Israel-Palestina, Yordan, Mesir, Lebanon dan Syria yang adalah wilayah Kristen. Hal itu terjadi karena pemberitaan Injil yang menyebabkan pertobatan penduduk dan para penguasa. Oleh karena itu, setelah Kaisar Konstantin menjadi Kristen, maka agama Kristen berubah menjadi kekuatan politik, sehingga makin lama semakin kehilangan kuasa rohaninya.
Ke dalam situasi seperti ini, maka tentara jihad dari Arab Saudi mengubah peta politik dan agama utama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara. Perubahan ini terjadi melalui penumpahan darah dan pembantaian terhadap banyak sekali orang Kristen.
Alasan pertama Perang Salib adalah untuk membela dan membebaskan orang-orang Kristen yang dijajah oleh orang-orang Islam. Sebagaimana sudah kita selidiki dan ketahui bahwa dalam waktu kurang dari satu abad Islam berhasil merebut dua pertiga dari dunia Kristen: Palestina, Syria, Mesir, Turki, Spanyol, Portugal dll.
Di bawah Khalifah Fatimid Kalif al-Hakim, dua ribu gereja dihancurkan termasuk Gereja Makam Kudus pada tahun 1009.
Jadi, Paus Innocent III menulis: “Apakah kamu tidak tahu bahwa ribuan orang Kristen diperbudak dan ditawan oleh orang Islam, disiksa dengan siksaan yang tak dapat terhitung?”
Itulah sebabnya, Perang Salib dianggap sebagai kewajiban umat Kristen untuk mengungkapkan kasih mereka kepada saudara-saudaranya yang menderita dan untuk mengungkapkan kasih kepada Kristus.
Pada waktu itu, Islam dipandang sebagai musuh Kristus dan Gereja. Tujuan dari Perang Salib adalah untuk mengalahkan Islam dan membebaskan umat Kristen dari jajahannya. Berdasarkan pada pandangan itu, maka Gereja membuat sumpah kudus sehingga banyak orang yang rela berangkat ke Israel untuk memerdekakan Tanah Kudus dari tangan orang Islam.
Sebab kedua terjadi Perang Salib, adalah supaya umat Kristen merebut kembali Yerusalem, kota kudus, dari tangan dan kuasa orang Islam. Sejak Konstantin, banyak orang Kristen berziarah ke Tanah Suci. Walaupun daerah itu dikuasai oleh Islam sejak tahun 638, mereka masih bisa mengunjunginya. Tetapi pada abad kesebelas, orang Seljuk dari Turki menguasai Yerusalem dan melarang kunjungan Umat Kristen ke sana. Jadi, pada tahun 1095, Paus Urban II menyerukan adanya Perang Salib untuk menghentikan serangan Islam terhadap wilayah-wilayah Kristen. Dalam pidatonya di Musyawarah Clermont di Perancis pada November 27, 1095, ia memanggil orang Kristen dari semua Negara Kristen untuk berziarah ke Tanah Suci dan mengadakan Perang Salib.


"Tujuh Perang Salib"

I. Yang pertama, 1095-1099, dicanangkan oleh Paus Urban II.
II. Yang kedua: 1147-1149, dipimpin oleh Raja Louis VII yang gagal, dan yang mengakibatkan kehilangan salah satu dari empat Kerajaan Latin, yaitu, Edessa.
III. Yang ketiga: 1188-1192, dicanangkan oleh Paus Gregory VIII sesudah kegagalan perang salib yang kedua. Dipimpin oleh Emperor Frederick Barbarossa, Raja Philip Augustus dari Perancis dan Raja Richard "Coeur-de-Lion" dari Inggris.
IV. Yang keempat: di mana Konstantinopel dihancurkan, 1202-1204.
V. Yang kelima: termasuk yang direbutnya Damietta, 1217-1221.
VI. Yang keenam: di mana Frederick II ikut berperang (1228-1229); juga Thibaud de Champagne dan Richard dari Cornwall (1239).
VII. Yang ketujuh: dipimpin oleh St. Louis (Raja Louis IX dari Perancis), 1248-1250.



"Kerajaan Perang Salib (1099 sampai 1187)"
 
Pada tahun 1099, Yerusalem diduduki oleh para Laskar Salib. Banyak orang Yahudi yang dibunuh dan hampir semua diusir.
Ada empat “Kerajaan Krusader” yang didirikan di Israel pada waktu itu. Salah satu Kerajaan Krusader didirikan di Yerusalem dan Baldwin I diangkat sebagai Raja Yerusalem. Selama adanya kerajaan itu, banyak sekali perubahan yang terjadi di Yerusalem dan sekitarnya. Orang-orang Yahudi diusir, sehingga mayoritas penduduk Yerusalem menjadi orang Kristen.
Yerusalem menjadi kota besar, ibukota kerajaan, bahkan menjadi kota penting bagi orang Kristen. Jadi, terjadilah perubahan besar dari yang sebelumnya hanya merupakan sebuah kota kecil di pedalaman. Banyak pembangunan terjadi pada masa itu yang menghasilkan gedung-gedung besar dan membentuk tata kota yang masih bertahan bentuknya sampai sekarang. Yang paling utama dibangun adalah gereja, biara dan asrama bagi peziarah. Dome of the Rock diubah fungsinya dari mesjid menjadi gereja, mesjid al-Aqsa, diberi nama baru, Bait Salomo, dan menjadi tempat tinggal raja.
Harus diakui bahwa walaupun awalnya Perang Salib bersifat defensif, makin lama semakin jahatlah perbuatan yang dilakukan oleh Tentara Salib, termasuk pembunuhan atas banyak orang Yahudi dan Muslim. Karena itu, tanggapan umum yang terjadi di hampir semua kalangan terhadap Perang Salib sampai masa kini adalah sangat negatif.



"Dampaknya atas orang Yahudi"
 
Walaupun banyak orang Yahudi yang dibunuh dan diusir dari Yerusalem, tetapi masih ada yang tetap tinggal di daerah Palestina dan sekitarnya.
Pada 1165, Benjamin dari Tudela, seorang Spanyol yang terkenal, melaporkan bahwa "Akademi Yerusalem" sudah didirikan di Damsyik. Meskipun banyak orang Yahudi yang diusir dari Jerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tetapi masih ada yang tetap tinggal di desa-desa di Galilea.
Pada abad ke tiga belas, Acre juga memiliki suatu akademi Yahudi. Dilaporkan bahwa selama abad keduabelas dan ketigabelas, masih ada orang-orang Yahudi yang tetap masuk daerah Palestina dari daerah Islam lain, khususnya dari Afrika Utara.


"1187 -1291 Zaman Islam di bawah Khalifah Ayyoubite"
 
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) seorang Kurdi, sesudah mendirikan pemerintahan Abbasid atas Fatimid Mesir, ia merebut kota Yerusalem dalam Perang Hattin. Tentaranya mengalahkan tentara Kristen dan kota-kota Kristen lain pun mulai menyerah. Benteng Krusader terakhir, yakni Acre pun jatuh pada tahun 1291. Pada waktu itu, tidak ada lagi sisa-sisa kerajaan dari Perang Salib karena semuanya dibunuh atau pun diusir.
Walaupun ada berbagai usaha dan rencana lagi, namun orang Kristen tidak pernah lagi berkuasa di daerah itu sampai abad ke sembilan belas.
Akhirnya, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam diizinkan untuk kembali tinggal di Yerusalem.
Pada tahun 1192, Richard “the Lion Heart” berusaha merebut kembali Yerusalem, namun tetap gagal. Jadi, diadakanlah perjanjian dengan Salah al-Din (Saladin) yang mengizinkan orang Kristen mengunjungi dan beribadah di tempat-tempat kudus mereka. Sesudah Yerusalem direbut kembali, Salah al-Din tidak mau membunuh penduduknya dan juga tidak menghancurkan gedung-gedungnya. Ada usaha besar dari orang Kristen selama Perang Salib untuk menghapuskan tanda penguasaan Islam di sana, tetapi tidak bisa.
Di dalam pemerintahan baru Islam, gedung seperti Dome of the Rock, dijadikan mesjid lagi dan banyak gedung lain dijadikan sebagai institusi Islam.
Ketika Salah al-Din diancam dengan Perang Salib ketiga, ia membangun kembali tembok Yerusalem. Namun pada tahun 1219, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memerintahkan agar tembok tersebut dihancurkan kembali. Pada waktu itulah hampir semua penduduk Yerusalem meninggalkan kota tersebut. Sampai zaman Ottoman, 320 tahun kemudian, kotaYerusalem tetap tidak memiliki tembok.



"1244, Orang Turki Khawariz merebut Yerusalem."
 
Waktu orang Turki Khawariz merebut Yerusalem, sekitar 7.000 orang Kristen yang tinggal di Yerusalem dibunuh selain 300 orang yang lari ke Yafa. Bukan hanya itu, serentetan serangan di seluruh daerah itu dari orang Mongol yang menyebabkan banyak penduduk mengungsi untuk mencari ke tempat yang aman.
Pada tahun1260, orang-orang Mamluk mengalahkan orang-orang Mongol pada Perang Ein Jalut di Lembah Yizril di depan Lembah Harmagedon. Setelah terjadinya serangan Khawariz dan Mongol, maka kota Yerusalem hampir kosong dan tidak berpenduduk. Hanya sesudah orang Mamluk menetapkan pemerintahan, maka kota itu dapat diduduki lagi. Tapi, karena pemerintahan Mamluk tidak mengembangkan ekonomi Yerusalem, maka kota itu tidak berkembang. Ia hanya membangun institusi agamawi, seperti mesjid, madrasah, zawia (biara), khanakah (pusat mistik Sufi) dan rumah sakit.
Setelah semua peristiwa itu terjadi, maka Yerusalem bukan lagi menjadi ibu kota kerajaan. Karena itulah, Yerusalem kembali menjadi kota kecil di pedalaman yang tanpa tembok dengan penduduknya sangat sedikit. Keadaan seperti inilah yang terus-menerus terjadi di Yerusalem sampai awal abad ke-20.



"Palestina Pasca Perang Salib & Masa Kedaulatan Islam (1187-1516 M)"

Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :
1. Periode 1095-1101;
2. Periode 1145-1147;
3. Periode 1188-1192;
4. Periode 1204;
5. Periode 1217;
6. Periode 1239;
7. Periode 1249-1252;
8. Periode 1270.


Pada dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik, khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa.
Terjadinya Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II.
Para pemimpin Reformasi, Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak.
Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu, wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi penyakit.



"Masa Ayyubid – Mamluk"
Pada tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700 tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib. Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).



"Akibat buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani di Tanah Suci".
Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib, atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya. Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah 320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen, Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. 



"Serangan Khawarism Turki membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300 penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa."
Pada tahun 1260 tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali. Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44 madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.
Pada tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja penduduknya.
Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu, pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia, datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk, ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.




"Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518"
Para Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa yang terlaknat dengan membunuh Yesus.
Pada abad ke-11 Laskar Salib sama sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak berhasil.
Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria. Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13. Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land, hal. 97-110).
Masyarakat Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exileand Return, The Struggle for a Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)
Banyak orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka tidak pernah lagi meninggalkan Palestina.
Pada tahun 1486, jumlah orang Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach.
Setelah penganiayaan Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada 1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.



"Gaza 1481"
Sejarah telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa pemerintahan Mameluk.
Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.


"Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?"
Setelah tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.
Semakin nyata dalam pembahasan tentang Khilafah Ottoman 1517-1917 bahwa inilah periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah yang masa kini kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, kita akan melihat dalam dua artikel tentang sejarah dan keadaan Palestina karena sejarah masa lampau adalah kunci memahami masa kini dan arah perjuangan berbagai pihak yang kini semakin nyata. Pembahasan ini tidak bermaksud menyerang satu atau lain pihak, sebaliknya untuk memeriksa fakta-fakta sejarah demi memahami dasar pergolakan Timur Tengah.
Pada tahun 1517 Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dikalahkan dan dikuasai oleh Khilafah Ottoman yang berpusat di Turkey dan mereka berkuasa selama empat abad sampai tahun 1917, waktu tentara Inggris meraih Kota Yerusalem dan menetapkan yang disebut “Mandat Palestin”. Peristiwa itu telah menandakan berakhirnya Khilafah Ottoman, yang sampai tahun itu telah menjadi satu-satunya pemerintahan atas seluruh wilayah Arab dan atas setiap bangsa Arab. Mulai tahun 1917 bangsa-bangsa Arab mulai mengklaim otonomi dan kemerdekaannya sehingga masa kini ada 22 bangsa Arab yang independen dan berdaulat di Timur Tengah. Walaupun zaman itu sering disebut Zaman Emas Islam ternyata dampak positifnya hanya dirasakan di Palestina selama 50 tahun pertama pemerintahan Ottoman di Timur Tengah.



Nubuatan dan Kalkulasi Rabbi Judah Ben Samuel
Di akhir Abad ke-12, Rabbi Judah Ben Samuel telah menerbitkan hasil penyelidikan Alkibabiah, yang disebut Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak. Hasilnya di laporkan dalam majalah Israel Today, Nopember 2012.
Ben Samuel mengatakan: “Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 x 50 =400 tahun). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi wilayah yang tidak dimiliki siapapun selama satu Yobel (50 tahun), lalu pada Yobel kesembilan, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yeng menunjukkan zaman Mesianik.”
Bahwa satu Yobel adalah 50 tahun dapat dibaca dalam Imamat 25:8-10, “Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.”
Kalkulasi Ben Samuel mulai menjadi realita 300 tahun kemudian.
Khilafah Mamluk telah menguasai Yerusalem sejak 1250, lalu dikalahkan pada tahun 1517 oleh Kerajaan Ottoman. Khilafah Ottoman benar berkuasa selama delapan Yobel (8 x 50 = 400 years), sampai tahun 1917, ketika Kerajaan Ottoman dikalahkan oleh Kerajaan Inggris. Awalnya tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua, ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun. Lalu pada waktu Israel merebut Yerusalem dalam Perang Enam Hari, 1967, tepat satu Yobel (50 tahun) setelah kekalahan Ottoman. Sejak tahun 1967 itu, Yerusalem telah dipimpin oleh negara Yahudi, Israel. Menurut Judah Ben Samuel, zaman Mesianik sebagai permulaan akhir zaman telah mulai.



"Sultan Sulaiman Alqanuni merebut Yerusalem 1517"
Pasca Perang Salib dan bangkitnya dominasi Islam di seluruh Timur Tengah oleh Khilafah Abbuyid dan Mamluk, telah muncul suatu kekuatan baru yang berpusat di Istambul (dulu Konstaninopel) sehingga pada tahun 1517 Yerusalem jatuh ke tangan Khilafah Ottoman yang akan berkuasa di seluruh Timur Tengah sampai 1917. Khilafah Ottoman akhirnya dikalahkan oleh Attaturk yang telah menjadi Presiden pertama Turkey modern yang telah menjadikan Turkey bangsa sipil dengan Islam sebagai agama utama di antara beberapa agama lainnya.
Walaupun Khilafah Ottoman telah sangat menghargai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Kubah Al-Saqra sebagai tempat terhormat ketiga dalam agama Islam, namun Sultan Sulaiman tidak menganggap Yerusalem cocok untuk menjadi ibukota wilayah itu.
Limapuluh tahun pertama kepemimpinan Ottoman adalah masa kemakmuran di Yerusalem, sebagaimana di seluruh kedaulatan Turkey. Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Alqanuni, mencapai puncak pemulihannya secara budaya, ekonomi dan militer. Pada tahun 1532 sistem perairan diperbaiki dan di antara 1538 dan 1541, setelah 320 tahun, tembok Yerusalem diperbaiki dan dibangun kembali. Inilah tembok-tembok yang masih ada di keliling Kota Tua Yerusalem sampai hari ini.
(Lihat sejarah itu dengan lebih lengkap di buku yang diedit Nitza Rosovsky; City of the Great King: Jerusalem from David to the Present; Harvard University Press: Cambridge, 1996; hal.25.)
Pemulihan Tembok Yerusalem dilakukan karena tentara Ottoman takut tentara Mamluk mau berusaha merebut kembali Kota Yerusalem. Selain itu Sultan Sulaiman telah memperindah Kubah Al-Saqra dengan tehel-tehel berwarna hijau dan biru yang terbaik dari Persia. Namun setelah zaman Sultan Sulaiman Alqanuni, keadaan Yerusalem dan seluruh wilayah Palestina dibiarkan. Ekonominya menurun drastis, penduduknya mengungsi ke Suria, Libanon dan Mesir, dan wilayah itu kembali menjadi wilayah yang sangat sunyi. (Sejarah zaman itu dapat diselidiki lebih jauh dalam buku oleh Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed, Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991.)



"Bagaimana Keadaan Palestina 1517-1917?"
Kesaksian para sejarahwan telah mencatat keadaan wilayah Palestina selama 400 tahun dominasi pemerintahan Ottoman sebagai masa yang sepi. Pada tahun 1590 seorang Inggris yang berkunjung ke Yerusalem telah menulis: “Tidak ada apa-apa yang kelihatan selain sebagian tembok-tembok tua, yang lain hanya rumput, jamur dan jerami.” (Gunner Edward Webbe, Palestina Exploration Fund, Quarterly Statement, p. 86; de Haas, History, p. 338+).
“Tanah Palestina kekurangan orang untuk mengolah tanahnya yang subur”. (Arkeolog Inggris, Thomas Shaw, pertengahan 1700’an.).
“Palestina adalah tanah yang hancur dan sunyi”. (Count Constantine François Volney, sejarahwan dan penulis Perancis, Abad Ke-18.).
“Penduduk Arab sendiri hanya dapat dianggap penduduk sementara. Mereka memasang kemahnya di ladang rumput atau membangun pondoknya di antara reruntuhan kota-kota. Mereka tidak membangun apa-apa yang tetap. Karena mereka adalah orang asing di negeri ini mereka juga tidak menguasai keadaannya. Angin padang gurun yang membawa mereka ke sini juga satu hari akan membawa mereka ke lain tempat tanpa meninggalkan tanda apapun waktu mereka melewati daerah ini.” (Catatan Gereja tentang Suku Arab di Palestina pada tahun1800’an.).
“Daerah itu sangat sunyi, dan kami telah jalan di antara berbagai air terjun yang tidak lagi ada air. Kami tidak melihat binatang-binatang yang bergerak di antara batu-batuannya; mungkin kami juga tidak melihat lebih dari 12 ekor burung di sepenjang perjalanan.” (William Thackeray dalam “From Jaffa To Jerusalem”, 1844).
“Seluruh negeri sudah hampir kosong dari penduduk dan karenanya sangat memerlukan sejumlah besar penduduk.” (James Finn, British Consul, 1857).
“Tidak ada satu desa pun di sepanjang lembah Jizreel, Galilea; tidak ada sejauh tiga puluh kilometer dalam tiap arah... Seorang dapat jalan 16 km dari sini dan tidak melihat sampai 10 orang. Kalau mau mencari kesunyian yang akan melelahkan, datanglah ke Galilea. ... Keadaan Nazaret sungguh menyedihkan ... Yerikho adalah puing-puing yang berjamur ... Betlehem dan Betania, dalam kemiskinan dan kehinaannya ... tidak berpenduduk makhluk yang hidup ... Suatu negeri yang sunyi-senyap yang walaupun tanahnya cukup subur, namun hanya dipakai semata-mata untuk rumput dan jerami ... suatu tempat yang sunyi dan memilukan ... Kami tidak melihat seorang manusia di sepanjang perjalanan ... Hampir saja tidak ada pohon ataupun semak. Bahkan pohon-pohon zaitun dan kaktus, teman setia kepada tanah yang tak berharga juga sudah hampir melarikan diri dari negeri ini... Wilayah Palestina seolah-olah duduk dalam kain kabung dan abu ... sunyi dan tidak indah”.
(Mark Twain, “The Innocents Abroad”, 1867.)
“Ada banyak bukti, seperti reruntuhan masa lampau, terowongan air yang patah dan pecah, dan sisa-sisa jalan-jalan yang lama, yang menyatakan bahwa daerah ini tidak selamanya kosong seperti sekarang. Dalam lembah antara Bukit Karmel dan Jaffa jarang sekali kelihatan desa atau tanda manusia masih hidup di sini. Ada beberapa pabrik gilingan sederhana yang menggunakan tenaga air sungai. Perjalanan naik kuda selama setengah jam membawa kami ke peninggalan puing-puing kota Kaisaria, yang dulu berpenduduk 200.000 orang, ibu kota Palestina di zaman Romawi, tetapi sekarang sunyi total.”
(B. W. Johnson, dalam “Young Folks in Bible Lands”: Chapter IV, 1892.).
Catatan para musafir dan peziarah sepanjang Abad Ke-16 sampai Abad Ke-19 telah memberi kesaksian yang serupa, termasuk nama-nama terkenal seperti Alphonse de Lamartine, Sir George Gawler, Sir George Adam Smith, Siebald Rieter, Pastor Michael Nuad, Martin Kabatnik, Arnold Van Harff, Johann Tucker, Felix Fabri, Edward Robinson dll.
Semuanya telah menemukan tanah Palestina sunyi dan hampir kosong sama sekali, selain beberapa Arab Beduin yang mengembara sini-sana dan sejumlah pedesaan Yahudi di Yerusalem, Shekhem, Hebron, Haifa, Safed, Irsuf, Kaisaria, Gaza, Ramleh, Acre, Sidon, Tzur, El Arish, dan beberapa desa di Galilea, yaitu: Ein Zeitim, Pekiin, Biria, Kefar Alma, Kefar Hanania, Kefar Kana dan Kefar Yassif.
Bahkan Napoleon I Bonaparte, setelah berkunjung ke Tanah Suci menyatakan wilayah itu sangat memerlukan penduduk. Napoleon pernah membahas kemungkinan pemulangan Yahudi secara massal ke negerinya sendiri dari Eropa. Dia ingin mengatasi masalah Yahudi di Eropa dan dia mengakui bahwa Palestina adalah negeri asal Yahudi, bahkan adalah negeri milik Yahudi. Pengalaman kunjungannya ke sana tidak memberi kesan kepada Napoleon bahwa negeri Palestina dihuni, diduduki, dikuasai ataupun dipimpin kaum Arab dan selama berabad-abad tidak pernah didengar suara yang mengklaim tanah itu sebagai hak orang Arab Palestina. Sebaliknya Napoleon telah menyaksikan bahwa mayoritas penduduk Palestina pada zamannya adalah masyarakat Yahudi, bukan Arab. (Green, Elliott, A., The Land of Israel and Jerusalemin 1900.).
Karl Marx juga mencatat bahwa mayoritas penduduk Palestina pada pertengahan Abad Ke-19, adalah Yahudi (New York Tribune 04-15-1854).
Penulis Perancis, Gérardy Santine, yang menerbitkan bukunya tentang keadaan Yerusalem pada tahun 1860 (Trois ans en Judée, 1860), telah menulis bahwa masyarakat Yahudi “adalah lebih separuh penduduk Kota Kudus,” yaitu pada tahun 1860 itu.
Laporan Komisi Kerajaan Inggris, 1913
“Seluruh wilayah kekurangan penduduk sehingga tidak maju secara ekonomi sampai kedatangan pelopor Zionis pada tahun 1880’an, yang datang untuk membangun kembali tanah Yahudi itu.
Negeri itu telah lama mempertahankan statusnya sebagai “Tanah Suci” dalam kesadaran agama, sejarah dan hati nurani manusia, yang telah mengkaitkannya dengan Alkitab dan sejarah masyarakat Yahudi. Dengan perkembangan yang dilakukakan kaum Yahudi baru maka telah mulai terjadi imigrasi baru pula, baik Yahudi maupun Arab. Jalan dari arah Gaza ke utara hanya merupakan jalan sempit yang hanya cocok untuk transportasi dengan unta atau gerobak. ... Semua rumah dibuat dari lumpur. Tidak ada jendela yang kelihatan ... Bajak dorongan yang dipakai dibuat dari kayu saja ... Hasil pertanian sangat minim ... Keadaan kesehatan dan kebersihan (MCK) di desa [Yabna] sangat parah ... Sekolah-sekolah tidak ada ... Angka kematian anak-anak sangat tinggi ... Bagian barat, ke arah laut, sudah hampir menjadi padang pasir ... Desa-desa di daerah itu sangat sedikit dan hanya sedikit penduduknya. Banyak reruntuhan desa-desa terlihat di berbagai tempat, dan karena banyak malaria, banyak desa lain ditinggalkan penduduknya”.
Demikianlah keadaan Palestina pada akhir Zaman Khilafah Ottoman.
Hanya 50 tahun pertama dari 1517 sampai 1567 Palestina telah menikmati zaman emas itu lalu selama 350 tahun berikutnya, tanah Palestina telah melarat, menjadi sunyi, kosong dan miskin yang tidak disenangi. Tetapi dengan terjadi Perang Dunia Ke-I dan rubuhnya Khilafah Ottoman semua keadaan itu segera akan berubah. Palestina-Israel akan menjadi tanah yang dicari bahkan direbut dan hal itu akan menjadi bahan pembahasan berikut.


Apakah tanah itu disimpan dalam keadaan kosong oleh Tuhan sebagai persiapan penggenapan janji Firman-Nya?
Baca dan fahamilah Yehezkiel 36:24, “Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.”
"Keadaan Kaum Yahudi & Kaum Arab di Palestina di Zaman Ottoman (1517-1917)"
Seri artikel ini membawa kita lebih dekat kepada generasi kita, maka semakin penting untuk kita mengetahui keadaan Palestina menjelang daerah itu menjadi rebutan dan pemicu berbagai perang yang telah menghantui dunia selama 100 tahun sampai sekarang. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah orang Israel berhak berada di Palestina?
Menurut Presiden Iran, Ahmadinejad, Israel harus diusir sebagai penjajah yang tidak mempunyai hak sama sekali untuk mendiami Tanah Palestina.
Apa benar Israel penjajah ataukah justru Israel-lah yang memiliki hak mutlak atas Palestina sebagai satu-satu suku penduduk negeri tersebut yang secara permanen, selama ribuan tahun menghuni dan mengolah tanah tersebut?




"Bangsa Yahudi di Palestina selama 3500 tahun secara permanen"
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa Israel, terutama ‘Kerajaan Yehuda’ adalah satu-satunya suku bangsa yang secara permanen telah mendiami tanah Palestina, tanpa putus, selama 3500 tahun sejak nabi Musa membawa Israel ke perbatasan Kanaan lalu Yosua dan Kaleb memimpin Israel masuk dan menguasai seluruh negeri itu.
Di dalam artikel-artikel sebelumnya kita sudah melihat banyak bukti eksistensi Israel di Palestina. Dalam artikel ini kita akan melihat pula berbagai bukti dari sejarah modern, yaitu dari zaman Ottoman sampai 90 tahun yang lalu bahwa mayoritas penduduk Palestina selama sejarah, selamanya orang Yahudi.
Ada banyak sumber Arab yang mengkonfirm fakta bahwa mayoritas penduduk Palestina selama zaman pemerintahan Arab adalah orang Yahudi. Biasanya fokus kita adalah pada Diaspora, yaitu orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah dan Eropa sejak zaman pemerintahan Roma/ Bizantin.
Pada tahun 985 penulis Arab, Muqaddasi, telah mengeluh bahwa di Yerusalem mayoritas besar penduduk adalah Yahudi, lalu dia berkata bahwa "masjid sudah kosong, tidak ada yang bersolat...".
Dalam kesaksian Ibn Khaldun, salah satu sejarahwan yang paling terkenal telah menulis pada tahun 1377: "Kedaulatan Yahudi di Tanah Israel telah berlangsung lebih dari 1400 years... Itulah orang Yahudi yang menanam kebudayaan dan adat istiadat di perkemahan permanen".
Selanjutnya setelah 300 tahun pemerintahan Arab di Tanah Suci, Ibn Khaldun mengakui bahwa kebudayaan dan tradisi Yahudi tetap dominan. Itu adalah fakta sejarah bahwa sampai waktu itu sama sekali tidak ada bukti hadirnya kebudayaan atau perkampungan bahwa yang masa kini disebut “orang Palestina” sudah berakar di daerah Palestina. Ingatlah bahwa orang Palestina masa kini adalah campuran keturunan Arab dari berbagai bangsa Arab yang bersumber di Yaman.
Ahli sejarah Timur Tengah, James Parker menulis: "Selama abad pertama penjajahan Palestina oleh tentara Arab [670-740], kalif dan gubernor Suria dan Palestina memerintah atas penduduk yang hampir seluruhnya adalah Kristen dan Yahudi. Selain beberapa Bedouin (suku Arab yang suka mengembara) pada awal penjajahan itu, semua orang keturunan Arabs yang di sebelah barat sungai Yordan adalah benteng-benteng tentara".
Walaupun tentara Arab berkuasa di Palestina dari 640 sampai 1099, mereka tidak pernah menjadi penduduk mayoritas. Selama masa itu mayoritas penduduk adalah Kristen (suku bangsa Asyur dan Armenia) dan orang-orang Yahudi.
Selain dokumen-dokumen sejarah, kesaksian-kesaksian dalam penulisan para saksi mata dan pernyataan-pernyataan para sejarahwan Arab yang paling terkenal yang mendukung fakta orang Yahudi adalah penduduk utama dan mayoritas di Palestina, kita dapat baca juga dalam Al-Qur’an, Surah 17:104, bahwa penduduk Palestina adalah bangsa Yahudi dan Allah berkata kepada mereka: "Tinggal dengan aman di Tanah Perjanjian.”



"Apa benar Israel hanya ‘kembali’ ke Palestina di masa modern?'
Begitu sering waktu membahas kembalinya bangsa Yahudi ke Tanah Airnya ada anggapan umum bahwa mereka kembali setelah 2000 tahun tidak lagi berada di Palestina. Walaupun benar bahwa mayoritas bangsa Israel telah hidup dalam pengasingan, namun hal itu tidak benar untuk semuanya. Tidak benar untuk asumsikan bahwa seluruh bangsa Yahudi telah meninggalkan Palestina malah bangsa Yahudi hampir di sepanjang 2000 tahun itu tetap merupakan mayoritas penduduk lokal.
Pengasingan panjang yang dikenal sebagai Diaspora, adalah fakta yang dicatat secara luas dalam sejarah dan merupakan bukti bahwa bangsa Yahudi mempunyai hak milik sah atas Tanah Israel. Diaspora itu adalah akibat perjuangan bangsa Yahudi untuk dimerdekakan dari kuk perhambaan dan penjajahan Romawi.
Kalau yang disebut "bangsa Palestina" masa kini benar-benar adalah penduduk historis Tanah Suci, mengapa bukan mereka yang berjuang melawan penjajah, bangsa Roma seperti dilakukan bangsa Yahudi? Kenapa tidak ada satu pemimpin ‘Palestina’ atau satu pasukan ‘Palestina’ yang disebut dalam semua catatan sejarah dalam perang kemerdekaan terhadap bangsa penjajah? Kenapa hanya perjuang Yahudi yang disebut sebagai pelawan penjajahan Romawi itu? Kenapa semua dokumen historis menyebut penduduk wilayah Palestina sebagai penduduk asli dan orang-orang Yunani, Romawi dan orang-orang lainnya sebagai orang asing dan tidak pernah menyebut adanya ‘bangsa Palestina’?
Setelah Perang Kemerdekaan Yahudi terakhir pada Abad Kedua Kaisar Roma, Hadrian, membumihanguskan kota Yerusalem pada tahun 135 dan mengubahnamanya menjadi Ælia Capitolina, dan nama Yudæa menjadi Palæstina, dalam usahanya menghapuskan identitas Yahudi dari permukaan Bumi! Mayoritas Yahudi diusir dari Tanah Airnya oleh tentara Romawi, fakta sejarah yang memicu Diaspora.
Namun demikian, banyak kelompok kecil Yahudi telah berhasil bertahan di dalam provinsi Roma yang diberi nama ‘Palestine’, dan keturunan mereka telah tinggal tetap di Israel turun-temurun dan sedikit demi sedikit ada yang dari Diaspora itu yang kembali bergabung sampai Abad ke-19 pada waktu perintis-perintis Zionisme mulai membuat gerakan pemulangan massal yang telah mulai pada Abad ke-19 lalu menjadi banjir pada waktu Abad ke-20 untuk luput dari penganiayaan Hitler di Jerman dan Lenin dan Stalin di Russia.
Oleh sebab itu, klaim Yahudi sebagai pemilik Tanah Israel sungguh dibenarkan oleh beberapa fakta:
a. Janji Allah di dalam Alkitab bahwa Tanah itu diberikan kepada bangsa Israel.
b. Peneguhan dalam Al-Qur’an bahwa Tanah itu sah diduduki bangsa Israel.
c. Bukti-bukti sejarah bahwa satu-satunya kelompok etnis yang menduduki wilayah Palestina itu secara permanen di sepanjang 2000 tahun itu adalah kelompok etnis Yahudi.
Berabad-abad lamanya dan di bawah penjajah yang berbeda-beda orang Yahudi Palestina tidak tunduk kepada tekanan integrasi dan asimilasi dengan kaum penjajah tetapi telah mempertahankan identitasnya sendiri secara suku, agama, kebudayaan dan hubungannya dengan bangsanya sendiri yang tersebar di berbagai bangsa Timur Tengah lainnya.
Arus aliran Yahudi Mizrachim (Oriental) dan Yahudi Sephardim (Mediterranean) ke Tanah Suci telah membantu populasi Yahudi bisa bertahan selama ribuan tahun itu. Kepenghunian wilayah Palestina oleh orang Yahudi telah mendahului kedatangan tentara Arab lebih dari 2000 tahun dan juga selama 600 tahun setelah awal Diaspora sebelum orang-orang Arab mulai menguasai pemerintahan wilayah itu.
Walaupun kota Yerusalem menjadi wilayah terlarang untuk orang-orang Yahudi beberapa kali (mis. penjajah Romawi melarang semua orang Yahudi dari kota Yerusalem), namun banyak telah tinggal didalam desa-desa dekat Yerusalem bahkan di seluruh Tanah Suci. Komunitas Yahudi telah berkembang di Bukit Sion namun pada masa pemerintahan Roma dan Byzantin masyarakan Yahudi dianiaya dan dilarang memasuki wilayah Bukit Moriah dilokasi Bait Suci dulu berdiri.
Pada waktu Sassanid Persia menguasai Yerusalem pada tahun 614 mereka menjadi sekutu orang-orang Yahudi lokal, tetapi lima tahun kemudian Yerusalem dikuasai kembali oleh pemerintah Byzantin, tetapi waktunya singkat saja sebab pada tahun 638 Yerusalem direbut oleh Kalif Omar. Itulah saat pertama dalam sejarah bahwa seorang pemimpin Arab pernah masuk kota Yerusalem, dan penduduknya pada waktu itu adalah non-Arab, yaitu orang Yahudi, orang Asyur, orang Armenia, orang Yunani dan masyarakat Kristen lainnya.
Setelah beberapa abad penjajahan dan penganiayaan di tangan Roma-Byzantine, masyarakat Yahudi telah menyambut baik kedatangan tentara Arab karena mereka telah mengharapkan bahwa keadaan mereka akan lebih baik di bawah pemerintahan Arab. Jadi, sudah dicatat dalam sejarah Arab-Islam bahwa mereka menemukan mayoritas penduduk Yerusalem dan wilayah sekitarnya adalah orang-orang Yahudi. Ternyata orang-orang Palestina asli tidak lain daripada bangsa Yahudi! Penduduk kota-kota yang sekarang disebut Ramallah, Yerikho dan Gaza pada waktu itu sudah hampir 100% Yahudi.
Tentara Arab, yang belum memilik nama untuk wilayah itu telah mengadopsi nama bahasa Latin, yaitu Palæstina, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab sebagai Falastin.
Para imigran Arab pertama yang mulai tinggal tetap di wilayah Palestina sebenarnya juga adalah orang-orang Yahudi yaitu suku Nabatean yang masuk agama Yahudi. Sebelum bangkitnya agama Islam, kota-kota di Arab yang sangat berkembang seperti Khaybar dan Yathrib (sekarang Madinah) adalah kota-kota mayoritas Yahudi Nabatean. Bilamana ada kelaparan di Palestina, para pedagang pergi ke Khaybar karena orang-orang Yahudi selalu punya makanan, buah, dan mata airnya adalah sumber kaya air.
Setelah kaum muslim menguasai semenanjung Arabia, kekayaan itu menghilang; lalu terjadi pembunuhan massal masyarakat Yahudi, lainnya mengungsi ke kota-kota lainnya, khususnya di Yerikho dan Dera’a di pinggir sungai Yordan.
Para kalif Arab (Umayyad, Abbasid dan Fatimid) telah berkuasa di Tanah Suci sampai tahun 1071, waktu Yerusalem dikuasai tentara Turki Seldjuq, dan setelah itu, sampai sekarang, selama 936 tahun, wilayah Israel tidak pernah lagi dikuasai pemerintahan Arab.
Jadi ada klaim atau hak apa bahwa tanah itu milik mereka atau sudah diambil dari mereka?
Hal ini bertentangan dengan semua fakta sejarah! Selama periode itu, suku-suku Arab hampir tidak pernah mendirikan struktur sosial atau penghunian permanen.
Waktu wilayah itu dikuasai tentara Arab (638-1071) mereka hanya memerintah atas para penduduk asli yang non-Arab, yaitu penduduk-penduduk Yahudi dan Kristen.
Kedatangan Laskar Perang Salib Eropa pada tahun 1099 telah menguasai wilayah Palestina dan mendirikan suatu kerajaan independen yang tidak pernah menghasilkan identitas nasional lokal. Itu hanya merupakan wilayah jajahan dari Eropa. Para Laskar Salib pun telah menganiaya masyarakat Yahudi bahkan telah berusaha dengan kasar dan kejam untuk menghapus semua ekspresi kebudayaan Yahudi. Orang Yahudi dianggap pembunuh Mesias sehingga juga dianggap musuh Kristen.
Pada tahun 1187, masyarakat Yahudi bergabung aktif dengan Salah-ud-Din Al'Ayyub (Saladin) untuk melawan Tentara Salib dalam usahanya menguasai kota Yerusalem. Saladin, yang adalah Jenderal Muslim terhebat bukan orang Arab tetapi seorang Kurdi. Kemudian Kerajaan Ottoman (Turki) telah menguasai wilayah Palestina sampai tahun 1917.
Selanjutnya kita perlu melihat pertumbuhan Zionisme pada Abad ke-19 yang menghasilkan gerakan pemulangan secara massal orang-orang Yahudi ke wilayah Palestina, dan tekanan-tekanan yang kemudian menghasilkan Deklarasi Balfour dan akhirnya melahirkan kembali bangsa Israel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar