Jumat, 09 Oktober 2015

"HARGA DIRI & KERENDAHAN HATI"

Harga diri artinya kesadaran akan berapa nilai atau penghargaan yang diberikan kepada diri sendiri.

Nilai harga diri seseorang bisa ditentukan oleh bermacam-macam ukuran sesuai dengan filosofi hidup seseorang. Ada yang menilai diri dengan materi atau kekayaan. Ada yang menilai diri dengan pendidikan. Ada yang menilai diri dengan pangkat. Ada yang menilai diri dengan “keakuan” (aku adalah aku. Aku terhormat, aku harus dihargai).
Orang-orang seperti ini akan mudah terluka kalau direndahkan oleh siapapun. Mereka biasanya menuntut untuk dihargai orang lain.

Harga diri bertalian dengan perasaan, sebab ketika nilai yang diberikan orang kepada dirinya tidak seperti yang diharapkan maka ia tersinggung atau terluka karena merasa direndahkan.
Harga diri inilah yang membuat seseorang menuntut orang memperlakukan dirinya sedemikian rupa sesuai dengan keinginannya.

Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita semuanya. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri.

Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan memasang tarif harga diri pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka bersikap menolak atau menentang secara “frontal” bila diperlakukan seperti itu.
Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana. Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit, belum sehat.
Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan dalam menilai diri. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan juga atas kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela tidak memiliki harga diri.

Dalam Filipi 2:5 tertulis. Dalam teks bahasa Indonesia diterjemahkan Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.
Kata touto (tauto) dapat diterjemahkan this (ini). Kata touto (tauto) memiliki kasus atau keterangan “demonstrative accusative neuter singular”, kata yang memberi impresi tekanan pada kalimat yang mengikutinya.
Ternyata kalimat yang mendahului kata touto (tauto) adalah nasihat Paulus kepada jemaat Filipi bertalian dengan hidup bersama dalam jemaat Tuhan.
Nasihat tersebut tertulis: Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Fil 2:1-4).

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa panggilan untuk meneladani Kristus bertalian dengan hidup bersama-sama dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa meneladani gaya hidup Kristus bertujuan agar seseorang menjadi berkat bagi orang lain, dimanapun berada mendatangkan keuntungan bagi orang lain dalam bingkai pelayanan pekerjaan Tuhan.

"Serupa Dengan Dia Dalam Kematian-Nya (Fil 3:10)"
Dalam suratnya Paulus menulis: Persekutuan dalam penderitaan-Nya supaya aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.
Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya pada dasarnya adalah kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya.
Kata mati dalam teks aslinya disini adalah thanaton kata yang sama digunakan dalam Kolose 3:3; kamu telah mati. Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan mati; thanatos, anairsis dan teleute.

Dalam Kolose 3:3, Alkitab berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah”.

Kata thanatos hendak menunjukkan bahwa kehidupan yang lama telah digantikan sama sekali, fokus hidup harus berubah sama sekali.

Berapakah harga perasaan kita sebenarnya?
Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang baru (Roma 6:4).

Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain.

Salah satu kebutuhan jiwa manusia selain rasa aman, dikasihi dll, juga rasa dihargai, “berharga”.

Merupakan persoalan kalau seseorang sudah merasa tidak dihargai oleh lingkungannya, maka ia cenderung berbuat semaunya, sesuka hatinya dan tidak memperdulikan lingkungan. Orang seperti ini cenderung rusak moralnya. Tetapi jauh lebih berbahaya dan menyedihkan kalau seseorang merasa tidak berharga di mata Tuhan.

Di dalam Mat 10:28-31 kita temukan akibat seseorang yang merasa tidak berharga di mata Tuhan.

Ada satu keistimewaan yang dimiliki Yesus yang juga menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Tuhan Yesus juga mengalami proses pertumbuhan yaitu melepaskan hak demi kepentingan orang lain (Luk 2:52).
Ini merupakan salah satu ciri dari kedewasaan seorang anak Tuhan pula. Sikap seperti ini harus pula kita teladani. Pelepasan hak yang dilakukan Yesus dijelaskan dalam Filipi 2:5-8.

Dalam fragmen kongkrit yang dicatat Alkitab kita menemukan antara lain: Ia mencuci kaki murid-murid (Yoh 13).
Ia berkata bahwa Ia datang sebagai pelayan (Mat 20:28; Luk 22:27).

Memperhatikan kebenaran ini, bagaimanakah kita mengenakannya secara kongkrit dalam hidup kita. Orang percaya yang dewasa adalah orang percaya yang juga rela melepaskan hak-haknya dan memberi pengabdiannya bagi Tuhan dan sesama.
Kita harus rela memberi tanpa menerima bahkan rela memberi lebih dari apa yang dikehendaki orang lain.
Bukankah Tuhan juga memberi lebih dari apa yang kita doakan (Mat 5:40-42).

Kita rela menghargai tetapi tidak dihargai.

Kerendahan hati berpangkal pada kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang baik dari dalam hidup kita. Mengakui diri sebagai manusia berdosa. Inilah jalan kepada pertobatan yang benar (Luk 18:9-14, Mat 5:3).

Dalam hal ini agama sebuah bentuk kesombongan yang membawa manusia justru menyalibkan Kristus.

Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik (Ef 2:8-9; Fil 3:8-9).

Kerendahan hati berpangkal pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah (Mat 23:8-12).

Dalam persekutuan umat Perjanjian Baru, harus terjalin suatu ikatan persaudaraan dimana Kristus ditinggikan.
Panggilan guru, pemimpin, penyelamat  haruslah huruf kecil. Kita semua hanya alat. Sesungguhnya Allah yang mengerjakan.

Kerendahan hati berpangkal pada sikap tidak meninggikan diri sendiri (Luk 14:7-11).
Menjadi kebiasaan manusia pada umumnya mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan segala rekayasa yang dibuatnya.
Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Kesediaan meninggalkan tahta kemuliaan-Nya adalah kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Yesus terhina diantara manusia, hal ini menunjukkan kerelaan-Nya kehilangan kehormatan.

Ketika Maria mulai mengandung, Yusuf tunangan Maria sudah berprasangka bahwa kehamilan Maria adalah aib. Itulah sebabnya Yusuf dengan diam-diam hendak meninggalkan Maria (Mat 1:18-19).
Ini berarti tuduhan yang ditujukan kepada bayi Yesus adalah “anak haram”. Dari hal ini, Anak Allah yang akan lahir, bagian dari proses inkarnasi-Nya sudah tidak memiliki kehormatan, pada hal Ia adalah pribadi yang paling terhormat.
Tentu proses ini sudah ada dalam pengetahuan Tuhan sebelum berinkarnasi, tetapi Ia bersedia.
Dalam perjalanan hidup-Nya selama 3,5 tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya dimata sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mar 3:21), juga dituduh menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk 11:15). Dengan tuduhan tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya dimata manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi panggilan Pilatus, imam besar dan Herodes (Mat 26:48-75).
Penduduk Yerusalem meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan, agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai penghujat Allah dan penyesat rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib dengan penilaian publik sebagai penjahat besar dan dipandang sebagai terkutuk (Gal 3:13).
Dalam hal ini jelas bahwa Ia merelakan kemuliaan hilang untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela kehilangan reputasi, harga diri dan prestise.

Dalam suatu percakapan Yesus berkata: “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.

Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Maha Tinggi.

Ekspresi kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan dengan tindakan-Nya mencuci kaki murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir sebelum Yesus menghadapi penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh 13). Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi ini berlatar belakang pra-paskah.
Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pra-tanda bagi makna tindakan Allah dalam Kristus.
Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna.
Paulus sebagai model seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin yang melayani, mengemukakan kesaksian hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Kor 9:19). Menjadi hamba berarti rela direndahkan, kehilangan kehormatan.

Sikap hati seperti Yesus yang telah dijelaskan diatas adalah sikap hati yang harus diteladani oleh setiap pengikut-Nya yang melayani Dia. Mereka harus rela kehilangan kehormatan dimata manusia demi tugas yang harus diemban.
Tidak ada sesuatu yang boleh dapat menjadi nilai lebih dalam kehidupan seorang pemimpin yang melayani yang oleh karenanya ia merasa memiliki hak untuk menjadi terhormat.

Perlu dikaji lebih jauh mengenai sikap rendah hati yang benar menurut ajaran Alkitab. Tidak semua sikap rendah hati yang ditampilkan orang memiliki kebenaran yang sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang mendasar untuk memiliki sikap rendah hati yang benar antara lain:

1.Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang sumber segala sesuatu.
Ini berarti semua orang terus dalam kesadaran bahwa ia ada sebagaimana ada hanya oleh karena pemberian-Nya. Semua dari Dia oleh Dia dan bagi Dia. Dengan demikian manusia tidak dapat memegahkan diri dan menjadi sombong. Kesombongan adalah sikap hati yang tidak mengakui keunggulan pihak lain di luar dirinya sendiri.
Paulus dalam suratnya berkata 1Kor 4:7; pada umumnya orang tidak mengakui bahwa apa yang dimilikinya diterimanya dari Tuhan. Sebagai bukti bahwa seseorang tidak menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber berkat. Ia tidak rela memuliakan Tuhan dengan apa yang dimilikinya. Ia takut kehilangan apa yang telah dimilikinya dan merasa rugi bila menyerahkan apa yang dimilikinya bagi Tuhan. Padahal Tuhan sanggup menambahkan apa yang telah orang percaya berikan bagi kepentingan kerajaan-Nya.
Melalui teks yang tersembunyi, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rom 11:36), memberi isyarat bahwa karena kekuatan-Nyalah ia dapat mencapai segala prestasi yang dimilikinya hari ini, kekayaan, pangkat, gelar, kekuasaan dll.
Oleh sebab itu seharusnya sebuah prestasi atau keberhasilan tidak perlu ditonjolkan dan mengharapkan orang lain mengetahui serta menghargainya. Hal inilah yang mendorong seseorang tidak merasa perlu menerima penghargaan atas jasa-jasanya. Dimanapun para pemimpin tergoda untuk berpesta dalam pujian orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini bukanlah karakter kepemimpinan hamba yang Yesus tunjukkan. Dalam lingkungan gereja, seseorang yang membanggakan apa yang dimilikinya kepada sesama berarti merendahkan orang lain, seolah-olah orang lain tidak dihargai Tuhan. Hal ini bukan saja menyakitkan hati sesama kita tetapi juga menyakitkan hati Tuhan.
Sikap ini merupakan fitnah kepada Tuhan. Tuhan ditunjuk sebagai tidak mengasihi manusia lain, selain dirinya. Oleh sebab itu kalau kita memiliki karunia khusus dari Tuhan, kita tetap bersikap rendah hati.

2.Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa Allah yang hidup menentukan segala perkara.
Ini berarti bahwa Tuhanlah yang menaungi segala sesuatu. Kesadaran ini akan nyata dalam sikap hidup orang percaya yang selalu merendahkan diri dihadapan Tuhan untuk bergantung dan berharap sepenuh dalam segala sesuatu. Orang-orang yang bersikap seperti ini akan mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Baginya kehidupan ini tidak lengkap tanpa Tuhan. Segala kesanggupan, kemampuan dan kecakapan tidak ada artinya tanpa Tuhan yang menaunginya. Tuhan yang menentukan miskin dan kaya. Tuhan yang mengangkat penguasa dan menurunkannya. Dari pada-Nya manusia beroleh jawaban dari segala kebutuhan dan pertanyaannya. Untuk hal ini manusia dituntut untuk tidak menaruh pengharapan dari sumber lain. Menaruh pengharapan pada sumber lain merupakan bentuk penghianatan yang mendatangkan kutuk.
Dari uraian ini dapat dimengerti mengapa Allah menentang kehendak bangsa Israel yang meminta seorang raja, sebab Allah merekalah sebenarnya Raja mereka. Pribadi yang menjadi tumpuan semua rakyat Israel. Pengakuan aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi harus merupakan pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang. Demikianlah umat harushidup dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.

3.Kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang mengatur kehidupan setiap individu.
Bila seseorang sadar akan hal ini maka ia akan belajar taurat Tuhan, hukum Tuhan untuk tunduk di bawah pengaturannya. Ia sadar bahwa ia tidak ada di daerah tak bertuan, tetapi ada di daerah yang bertuan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan semesta alam, Allah Israel. Setiap orang percaya harus mengakui bahwa Allah adalah Tuhan diatas segala Tuhan, Penguasa alam semesta dan tidak ada sesuatu atau seseorang yang dapat disamakan dengan Dia. Allah harus diakui sebagai Penguasa Satu-satunya yang harus dipatuhi. Bapa segala roh yang harus ditaati (Ib 12:9).

Maksud ketaatan adalah agar manusia hidup sesuai dengan moral-Nya. Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia menghendaki umat-Nya hidup sesuai dengan moral-Nya (1 Pet 1:13-16).
Dalam hal ini harus disadari, kalau Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan disenangkan dengan hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi landasan pertama adalah agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan memiliki kehidupan yang berkualitas tanpa hidup didalam moral-Nya. Kalau manusia itu mengakui Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi dengan segala kehormatan, maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala kehendak-Nya. Menuruti hukum-Nya dengan setia secara berkesinambungan adalah ibadah yang sejati dan yang dikehendaki Allah (Ams 5:24; Rom 12:1-2).

Ketidaktaatan kepada Tuhanlah yang menyebabkan tercemar dan kecemaran ini akan memisahkan dirinya dengan Tuhan. Disini hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tidak harmonis (Yes 59:1-3). Oleh sebab itu hal melakukan hukum Tuhan hendaknya tidak diterima bukan sekedar sebagi kewajiban tetapi sebagai kebutuhan.

4.Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup menjadi obyek pemujaan dan penyembahan.
Untuk dapat memiliki sikap hati yang benar memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar batas antara Allah dan umat tidak terhalangi. Dia adalah Allah yang Maha Tinggi dan manusia adalah ciptaan-Nya. Allah di dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nyalah yang harus menjadi obyek penyembahan manusia ciptaan-Nya.
Dalam Perjanjian Lama telah nampak embrio jelas bahwa Tuhan adalah sumber pengharapan yang menjadi pusat pujian, bukan alam, sekalipun bangsa Israel sangat bergantung pada alam. Hal ini seharusnya menjadi pijakan kuat umat Perjanjian Baru bersikap terhadap Allah semesta alam. Bila seseorang beranggapan demikian, niscaya dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan terpaksa dan tidak ada sukacita yang sejati. Dengan demikian pujian, pemujaan dan penyembahannya kepada Tuhan tidak berkenan kepada Tuhan.
Pujian dan penyembahan demikian ini terdapat dalam banyak agama-agama kafir, dimana umat memuji, memuja dan menyembah ilah dengan terpaksa dan dengan takut-takut terhadap hukuman sang dewa atau allahnya.
Kalau seseorang sadar dan memahami bahwa Allah adalah pribadi yang Maha Mulia maka dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan cinta kasih, kerelaan dan sukacita.
Untuk dapat menaikkan pujian dan penyembahan serta sanjungan, seseorang harus memiliki kerendahan hati yang dalam. Kerendahan hati disini berangkat dari kesadaran bahwa kita adalah “hamba”, dan Dia adalah Tuan diatas segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini bukan semata-mata mengenai kesanggupan menyanyikan lagu rohani, atau mengucapkan kalimat penyembahan yang diberi nada. Kerendahan hati ini adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Bertalian dengan hal ini hambatan atau halangan seseorang memuji, menyanjung dan menyembah Allah adalah penilaian yang tidak tepat atas diri, pengagungan diri dan ketidak-sediaan menundukkan diri dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri baik secara terang-terangan maupun terselubung adalah sikap penolakan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala prestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar