Minggu, 25 Oktober 2015

Gerakan Pemulihan Israel 1878-1948

Setelah kita menyelidiki perkembangan berbagai bentuk Sionisme dalam artikel-artikel sebelumnya, kini kita akan melihat usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia.

Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris, juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel.

Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil agar impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

'Gerakan dan Usaha Pemulangan ke Palestina'

"Gerakan Aliyah"
Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki", yang mempunyai arti secara rohani “mendaki” ke Tanah Kudus. Istilah ini dipakai untuk menyebut rombongan-rombongan pemulangan orang-orang Israel dari Eropa sejak tahun 1878 hingga proklamasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

"1878 – Awal Gerakan Aliyah dan Ekspansi Pendatang Sionis"
Pedesaan pertama Sionis, Petah Tikva, didirikan pada tahun 1878. Pemimpinnya, namanya Biluim telah biasa memakai kaffiyeh sebagai penutup kepala. Penduduk Petah Tikva, awalnya diduduki oleh orang-orang Yahudi yang dulu tinggal di Yerusalem yang ingin keluar dari Yerusalem Tua yang sangat padat penduduknya dan dibatasi oleh tembok-tembok besar.
Kemudian pedesaan Rishon Le Sion didirikan pada tanggal 31 Juli 1882 oleh 10 orang Yahudi yang adalah anggota kelompok Sionis yang disebut Hovevei Sion yang berasal dari Kharkov, atau masa kini disebut, Ukraine. Pedesaan baru ini dipimpin oleh Zalman David Levontin. Komite Perintis Pedesaan Yahudi yang sudah dibentuk di Yaffa, pelabuhan ketibaan kebanyakan pendatang baru telah membeli 340 hektar (3.4 km²) tanah dekat desa Arab yaitu Uyun Qara.

"Gerakan Sionis"
Pada tahun 1883, Nathan Birnbaum, yang berumur 19 tahun, mendirikan organisasi Kadimah di Austria. Organisasi ini adalah Asosiasi Mahasiswa Yahudi pertama di Vienna. Tahun berikut terbitannya yang pertama, Selbstemanzipation atau Emasipasi Diri muncul. Tujuannya adalah untuk menggairahkan kawan-kawan Yahudi untuk mencari kebebasan dari tekanan dan aniaya yang sering menargetkan kaum Yahudi di Eropa.
Di manakah tempat kebebasan itu? Jawabannya hanya satu: di Eretz Israel.
Theodor Herzl berbicara di Kongres II Sosialis Sionisme tahun 1898 Bersama dengan Nathan Birnbaum, Herzl telah merencanakan Kongres Sionis pertama di Basel, Switzerland.
Pada kongres itu, hasil kesepakatannya adalah: Sionisme akan berusaha mendirikan tanah air untuk kaum Yahudi di Eretz-Israel yang dilindungi hukum.
Kongres itu sepakat untuk melakukan hal-hal berikut untuk mencapai tujuannya:

1. Promosi secara wajar pendudukan Eretz-Israel dengan petani-petani Yahudi, kaum buruh dan pabrik-pabrik.
2. Mengurus dan mempersatukan seluruh kaum Yahudi dengan menggunakan institusi-institusi yang wajar, baik lokal maupun internasional, sesuai dengan hukum di masing-masing negara di mana kaum Yahudi sudah berada.
3. Menguatkan dan mendukung rasa nasionalis kaum Yahudi dan kesadaran akan kewarganegaraannya sebagai warga Yahudi.
4. Melakukan langkah-langkah awal untuk memperoleh izin dari berbagai negara, untuk mencapai tujuan gerakan Sosialis Sionisme.

Pada tahun 1909, kibbutz Degania, didirikan di Israel Utara. Inilah yang diakui sebagai kibbutz yang pertama. Kibbutz-kibbutz merupakan desa-desa atau kebun-kebun Sosialis Sionisme yang menjadi ciri khas unik perkembangan Israel hingga masa kini. Juga pada tahun 1909, kota Tel Aviv didirikan. Namanya berasal dari hasil karya Theodor Herzl. Kota ini yang kemudian telah menjadi kota terbesar di Israel, telah didirikan di daerah padang pasir yang kosong sedikit ke utara dari pelabuhan Yaffa.

"Konflik dengan Orang Arab"
Pada akhir abad ke-19, nationalisme Arab sama sekali belum ada, bahkan jumlah penduduk Arab di wilayah Palestina sangat sedikit dan mereka merupakan penduduk yang bersifat non-politik. Karena jumlah penduduk Palestina adalah mayoritas Yahudi maka kebanyakan pemimpin Sionis telah percaya bahwa tidak akan terjadi konflik di antara masyarakat orang-orang Arab dan masyarakat Yahudi baru yang sedang pulang setelah hampir 1800 tahun pengasingan yang bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sejak awal ada di situ. Karena seluruh masyarakat itu, Yahudi yang asli dan Arab, telah hidup bersama dengan cukup damai selama lebih dari 1200 tahun maka mereka telah yakin konflik dapat dihindari dengan ketambahan Yahudi yang kembali dari pengasingan di Eropa. Pada waktu itu kedua belah pihak telah merasa untung dengan pengharapan perkembangan ekonomi yang akan terjadi. Kaum Yahudi sudah sangat mengharapkan dan percaya bahwa kaum Arab akan menyetujuinya dan akan sepenuhnya bekerja bersama. Namun, impian itu tidak pernah tercapai.
Memang, telah makan cukup banyak waktu untuk kaum Sionis menyadari betapa dalamnya perasaan dan intensitas konflik yang mulai terjadi, yang pada hakekatnya adalah konflik antara dua kelompok orang yang dua-duanya merasa memiliki hak milik atas seluruh tanah itu sebagai tanah airnya sendiri. Kaum Yahudi karena dasar keyakinan agama, sejarahnya dan bahwa daerah Palestina tidak pernah kosong dari penduduk Yahudi, walaupun di sebagian waktu mereka adalah penduduk minoritasnya. Kaum Arab merasa memilikinya sebab sudah 1200 tahun Palestina di bawah pemerintahan Arab atau Kalifat Ottoman, kerajaan Islam itu. Jadi mulai dari awal gerakan Aliyah itu, konflik sudah mulai terjadi.

"Sionisme dan para penduduk Arab"

Kaum Yahudi lokal Palestina yang sudah selamanya tinggal di wilayah Palestina telah hidup melalui suatu sejarah interaksi dengan penguasa Muslim dan para tetangga Arab yang sukar, yang justru menjadi semakin rumit karena permusuhan antara agama Islam dan agama Yahudi.
Di luar kota Yerusalem, kota Safed dan kota Tiberias, masyarakat Arab dan masyarakat Muslim non-Arab merupakan mayoritas besar masyarakat, sedangkan di tiga wilayah tersebut, masyarakat Yahudi adalah mayoritas besar. Kaum perintis Sionisme adalah sangat sadar tentang ketidakseimbangan ini, namun mereka mengklaim bahwa semua penduduk akan memperoleh untung dari imigrasi kaum Yahudi dari diaspora itu. Di samping itu, kaum imigran itu telah memilih untuk tidak memasuki wilayah mayoritas Arab/Islam agar menghindari konflik sehingga mereka lebih memilih untuk menduduki wilayah-wilayah yang kosong, seperti di dataran pesisir dan di Lembah Yizreel.
Slogan propaganda Sionisme, “Tanah tanpa masyarakat untuk masyarakat tanpa tanah,” telah menyimpulkan visi Sionisme, yaitu untuk menduduki tanah yang kosong bukan untuk menduduki tanah milik orang lain. Namun slogan itu telah mengabaikan fakta bahwa kaum Arab adalah kaum pengembara yang merasa tanah apapun yang pernah didudukinya, walaupun kini telah ditinggalkan adalah milik abadinya. Di sini kita dapat melihat benih konflik soal hak milik Palestina sudah ditanam dan setelah bertumbuh selama puluhan tahun akan menyebabkan permusuhan, kebencian dan konflik yang meledak pada waktu proklomasi kemerdekaan negara Israel pada tahun 1948.
Sebenarnya benih-benih itu sudah lama sekali tertanam di daerah itu, tetapi setelah gerakan aliyah dan kedatangan ratusan ribu kaum Yahudi yang pulang dari diaspora, maka benih-benih itu disiram dan mulai bertunas kembali.

"Peranan Kalifat Ottoman"

Walaupun sebagian penduduk Arab Palestina sudah menghadap pemerintahan Ottoman pada tahun 1880 an (Kalifat Ottoman adalah Kerajaan Islam Turki yang adalah penjajah Timur Tengah selama 500 ratus tahun) untuk memprotes penjualan tanah kepada pendatang Yahudi baru. Namun perlawanan serius terhadap perkembangan Sionisme dan penjualan tanah kepada kaum Yahudi yang baru datang mulai berkembang dengan cepat pada tahun 1890 an setelah visi luas Sionisme menjadi semakin nyata. Adalah penting untuk diketahui bahwa perkembangan dan perluasan pembelian tanah oleh orang-orang Yahudi baik dari Kerajaan Ottoman bahkan dari masyarakat Arab disetujui oleh Kalifat Ottoman yang melihat keuntungan ekonomi dalam mengisi tanah yang kosong dengan masyarakat yang mungkin sekali akan menghasilkan untung ekonomi bagi kerajaan Ottoman itu.
Perlawanan kaum Arab pada waktu itu tidak bersumber pada rasa nasionalisme kaum Arab sebab pada waktu itu belum ada rasa nasionalisme di antara kaum Arab melainkan perlawanan itu bersumber pada rasa ancaman terhadap nafkah dan sumber pendapatan masyarakat Arab. Kekuatiran itu telah berkembang pada awal Abad ke-20 karena usaha pengembangan ekonomi oleh kaum Sionis yang tidak mau menggunakan tenaga kerja Arab, yang dianggapnya malas, sedangkan tenaga kerja Yahudi dianggap rajin dan bersedia bekerja keras. Di manapun ada usaha untuk mempekerjakan tenaga kerja Arab, terjadi perlawanan dari Perserikatan Kaum Buruh Ibrani yang menuntut agar pendatang-pendatang baru sajalah yang dipekerjakan. Dengan demikian benih-benih kekuatiran, kecurigaan, kebencian dan permusuhan terus disiram sehingga menjadi suatu kekuatan yang di kemudian waktu akan meledak dan buah-buahnya sedang dituai pada masa kini.

"Usaha Mendirikan Negara Israel"

Setelah kita menyelidiki perkembangang berbagai bentuk Sionisme dalam Artikel sebelumnya, kini kita akan melihat usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia.
Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel. Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

Sionisme — Sarana untama Pemulangan Bangsa Yahudi

Sarana utama yang Allah pakai untuk memulihkan masyarakat Yahudi kembali ke tanah Israel adalah gerakan Sionisme. Sionisme adalah gerakan agamawi dan sosio-politik yang mempromosikan pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Israel. Di dalam hati semua orang Yahudi ada perasaan tidak utuh bila mereka di luar Israel.

Mazmur 137:4-6, “Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku!”

Kerinduan itu sudah mendalam di hati setiap orang Yahudi sejak pembuangannya dari Israel pada waktu penghancuran Bait Suci di tangan Roma pada tahun 70 M.
Di abad ke-19 dan abad ke-20, keinginan Yahudi itu sudah meninggi.

Mimpi Yahudi: Pemulihan Israel.

Selama masa Diaspora, masa Israel mengembara di luar wilayah Palestina, selamanya ada orang-orang Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina. Kebanyakan telah tinggal di daerah Galilea, dan kadang-kadang mereka diizinkan mengunjungi dan tinggal di dekat kawasan Bukit Moria, bukit letaknya Bait Suci dulu di Yerusalem. Tembok Ratapan menjadi tempat ziarah yang diizinkan bagi mereka.
Walaupun jumlahnya tidak banyak, namun ada keyakinan bahwa satu ketika mereka akan melihat suatu pemulangan massal menjelang kedatangan Mesias. Hal yang sama diyakini umat Kristen sehingga baik umat Yahudi dan umat Kristen telah memiliki kepentingan yang serupa. Maimonides, seorang rabi yang terkenal, bersama dengan cukup banyak rabi lainnya mengedepankan visi itu. Mereka telah yakin sekali bahwa Mesias akan mendatangkan perdamaian universal.
Selama berabad-abad ada usaha-usaha untuk orang-orang Yahudi kembali ke Palestina tetapi kebanyakan usaha telah gagal. Hanya dengan munculnya gerakan Sionis pada bagian kedua abad ke-19, baru terjadi pemulangan signifikan sehingga kini ada 6 juta dari 16 juta orang Yahudi di dunia yang tinggal di Israel.

Peranan Inggris.

Pemikiran untuk membantu pemulangan bangsa Yahudi telah mulai dibahas secara umum di Inggris pada Abad ke-19. Tidak semua masyarakat Inggris yang menyetujui pemulangan tersebut, namun mayoritas telah mendukungnya. Pandangan sebagian mereka dibentuk oleh keyakinan pada perjanjian Allah dalam Alkitab. Yang lain karena faham filosofi Semitisme, khususnya antara kaum elit yang berpendidikan tinggi atau oleh pandangan politik bahwa pemulangan tersebut akan membantu perluasan Kerajaan Inggris.
Atas dorongan Lord Shaftesbury, pemerintah Inggris telah menetapkan konsulat pertama di Yerusalem pada tahun 1838. Ini adalah pos diplomatik pertama di Tanah Israel.
Pada tahun 1839, Gereja Skotlandia mengutus Andrew Bonar dan Robert Murray M'Cheyne untuk menyelidiki dan melaporkan keadaan orang-orang Yahudi di Palestina. Laporan mereka diterbitkan dan disebarkan secara luas sehingga diedarkan “Memorandum kepada semua kepala Kerajaan Protestan Eropa guna Pemulihan bangsa Yahudi ke Palestina.”

Pada bulan Agustus 1840, surat kabar ‘The Times’ telah melaporkan bahwa pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan persetujuan untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi.
Lord Lindsay menulis pada tahun 1847: “Tanah ladang-ladang Palestina masih sedang menikmati sabat-sabatnya, dan sedang menantikan pemulangan anak-anaknya yang sudah dibuang, dan aplikasi industri, yang sesuai dengan kapasitas pertaniannya, agar meledak dengan perkembangan kekayaan dan kesuburan universal, lalu menjadi sama seperti pernah ada di zaman Salomo.”

Janji Damai Paris (1856) telah memberikan hak kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen untuk tinggal di Palestina dan janji tersebut telah membuka jalan untuk imigrasi makin banyak orang Yahudi.
Dalam bukunya pada tahun 1876, Daniel Deronda, George Eliot semakin kuat mendukung pemulangan masyarakat Yahudi: “Pemulihan negara Yahudi yang didirikan di tanah yang lama sebagai pusat perasaan nasional, merupakan suatu sumber perlindungan yang terhormat, suatu jalur khusus untuk energi spesial agar ada ketambahan suara di majelis-majelis dunia.”
Maksudnya, pemulangan Yahudi adalah sesuatu yang penting dan terhormat bagi bangsa-bangsa.
Benjamin Disraeli, seorang Perdana Menteri Inggris, menulis sebuah artikel berjudul: "Soal Yahudi adalah Tujuan Perjuangan Mulia” (1877) yaitu bahwa di dalam jangka waktu 50 tahun akan ada sejuta orang Yahudi yang tinggal di Palestina di bawah perlindungan dan bimbingan Inggris.
Seorang Yahudi terkemuka di Inggris, Moses Montefiore telah mengunjungi Tanah Israel tujuh kali untuk mengembangkan pemulihannya.
Karena Kerajaan Ottoman telah menyerah kepada tuntutan Kerajaan Inggris di wilayah Palestina sehingga Kerajaan Inggris diizinkan mendirikan Misi Diplomatik dan untuk memulai berbagai kegiatan dan proyek sosial di seluruh wilayah Palestina. Maka pemerintah Inggris telah mulai membangun banyak rumah sakit, proyek-proyek ilmiah, arkeologi dan pembangunan perkampungan baru untuk orang-orang Yahudi yang sedang kembali ke Palestina di bagian akhir abad ke-19. Hal itu terjadi demi kepentingan Inggris dalam melindungi jalan menuju India yang dianggap sangat penting demi kejayaan Inggris.
Para pemimpin Sionis telah menganggap Inggris sebagai calon sekutu dalam perjuangannya untuk pemulangan ke tanah nenek moyangnya. Pada waktu itu Inggris bukan saja negara adi daya terkuat; Inggris juga adalah negara di mana orang-orang Yahudi telah tinggal berabad-abad dalam keadaan aman dan damai – antara mereka adalah para pemimpin politik dan budaya Inggris yang sangat berpengaruh seperti Disraeli, Montefiore dan Lord Rothschild.

Penemuan Chaim Weizmann, yaitu sejenis bahan peledak (cordite) yang sangat penting demi kemenangan Inggris dan sekutunya dalam Perang Dunia Ke-1.
Dalam pertemuan-pertemuannya dengan Perdana Menteri Inggris, Lloyd George dan Pemimpin Utama Angkatan Laut Inggris Winston Churchill, Weizmann, pemimpin gerakan Sionis sejak 1904, menjadi sanggup memajukan tujuan Sionis dalam masa perang yang sangat menguntungkan visi Sionis tersebut.
Harapan mereka itu terealisir pada tahun 1917 waktu Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, membuat deklarasi yang sangat terkenal yang bertujuan untuk “mendirikan di Palestina sebuah rumah nasional untuk masyarakat Yahudi”. Deklarasi tersebut telah menggunakan kata ‘rumah’ daripada kata ‘negara’ dan telah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak boleh “mengganggu hak sipil dan hak agama masyarakat non-Yahudi yang juga mendiami wilayah Palestina.”

Dukungan Inggris dan Bangsa-bangsa lain.

Sepanjang abad ke-19 sampai di awal abad ke-20, pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Kudus telah didukung secara luas oleh tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh, misalnya Ratu Victoria (Inggris), Raja Edward VII (Inggris), Presiden John Adams (USA), General Smuts (Afrika Selatan), President Masaryk (Czechoslovakia), Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri dan kemudian Perdana Menteri Inggris), President Woodrow Wilson (USA), Benedetto Croce (ahli filosof dan sejarahwan Italy), Henry Dunant (pendiri Yayasan Palang Merah dan penulis Konvensi Geneva tentang hak-hak azasi), Fridtjof Nansen (ilmuwan Norwegia dan pendukung hak-hak kemanusiaan).

Di masa itu pemerintah Perancis, melalui salah satu menteri, M. Paul Cambon, telah komit secara resmi untuk mendukung “pemulihan nasional hak kewarganegaraan orang-orang Yahudi di tanah dari mana masyarakat Israel itu diusir begitu banyak abad yang lalu”.
Bahkan di China di zaman pemerintahan Nasionalis sebelum zaman komunis, Wang, Menteri Luar Negeri, menyatakan bahwa “pemerintah Nationalis adalah penuh simpati dengan masyarakat Yahudi dalam keinginannya untuk mendirikan sebuah negara bagi dirinya sendiri.”

Pada tahun 1873, Shah Nasr-ed-Din (Raja Persia-Iran) telah bertemu dengan para pemimpin Yahudi Inggris, termasuk Sir Moses Montefiore, dalam perjalanannya ke Eropa. Pada waktu itu, pemimpin Persia telah mengusulkan bahwa orang-orang Yahudi membeli tanah di Palestina agar mendirikan negara untuk masyarakat Yahudi.
Raja Faisal I dari Iraq juga telah mendukung ide Sionisme lalu menandatangani kesepakatan Faisal-Weizmann pada tahun 1919. Dia tulis: “Kami masyarakat Arab, khususnya kami yang berpendidikan, memandang dengan simpati yang mendalam gerakan Sionis. Delegasi kami di sini di Paris memahami sepenuhnya semua proposal yang diajukan kemarin kepada wakil organisasi Sionis yang mengikuti Konferensi Perdamaian, dan kami menganggap proposal-proposal itu moderat, tepat dan sesuai.”

Baik dalam mandat Palestina dari League of Nations 1922 dan mandat PBB untuk Partisi Palestina tahun 1947 telah mendukung tujuan Sionisme untuk memiliki tanah air untuk masyarakat Yahudi. Kesepakatan pada tahun 1947 itu adalah kesepakatan langkah antara Uni Soviet dan USA di zaman Perang Dingin.

Arthur Balfour: Menteri Luar Negeri dan Perdana Menteri Inggris.

Balfour, seorang yang telah berjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan sebagai Perdana Menteri Inggris telah memperjuangkan Palestina sebagai “rumah” tempat kediaman Yahudi dan bukan sebagai “negara”. Walaupun dia mengingini wilayah Palestina menjadi negara Israel, dia juga menyadari bahwa hak-hak masyarakat Arab yang sudah lebih 1000 tahun mendiami Palestina bersamaan dengan masyarakat Yahudi. Di kebanyakan waktu selama 1000 tahun itu, masyarakat Arab merupakan mayoritas penduduk setempat.
Deklarasi Balfour diumumkan pada tanggal 2 November 1917. Pada zaman itu, pemerintahan Inggris telah memiliki kuasa politik atas Yerusalem dan Tanah Perjanjian, dan sudah berinklinasi untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi. Namun, pemerintahan lokal di wilayah Palestina tidak menyetujui peningkatan masyarakat Yahudi yang tentu akan terjadi bila pemulangan Yahudi diizinkan.

Persahabatan Arthur Balfour dan Chaim Weizmann.

Inti Deklarasi Balfour 1917 adalah hasil persahabatan unik antara Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour dan seorang aktivis gerakan Sionis Chaim Weizmann, yang kemudian menjadi Presiden Organisasi Sionis Sedunia, bahkan menjadi Presiden pertama Negara Israel pada tahun 1948. Kedua pria itu sangat berpengaruh dan efektif di dalam karir masing-masing, dan bersamaan telah menjadi mitra yang sangat kuat dalam mengubah arah sejarah yang menghasilkan kelahiran bangsa Israel.
Balfour adalah seorang Kristen Injili yang menulis beberapa buku termasuk Foundations of Belief (Dasar Iman), di mana dia mengungkapkan pengajaran dasar Firman Tuhan. Dia sangat percaya nubuatan-nubuatan Alkitab tentang pemulangan bangsa Yahudi ke Israel sebagai langkah penting dalam persiapan dunia untuk kedatangan kedua Yesus di akhir zaman.
Dia menjadi Perdana Menteri Inggris dari 1902 sampai 1905. Kemudian dia menjadi Menteri Luar Negeri di bawah David Lloyd George, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia Ke-I.
Weizmann adalah seorang Sionis yang sangat semangat yang sering berkomunikasi dengan pelopor gerakan Sionis, Theodore Herzl, di Inggris dan Eropa. Dia sangat ingin untuk meningkatkan jumlah kibbuts (perkebunan Yahudi secara kolektif) di Palestina. Gerakan itu memang telah mulai dengan adanya penganiayaan terhadap masyarakat Yahudi di Rusia dan Eropa Timur. Mereka telah menemukan tempat aman dengan pindah ke Palestina dan membangun kibbuts-kibbuts di sana, khususnya di daerah Galilea.
Walaupun hasil karya Balfour dalam pemerintahan Inggris adalah banyak, namun, menjelang kematiannya, dia menyatakan bahwa hasil utama hidupnya adalah Deklarasi Balfour yang mendukung pemulangan bangsa Yahudi ke tanah airnya. Dalam hal ini dia telah merasa dirinya serupa Raja Farsi, Koresh, yang membebaskan bangsa Yahudi kembali ke Yerusalem pada zaman Daniel, Ezra dan Nehemia.

Palestina sebagai Mandat Inggris.

Sebelum Perang Dunia Ke-1, Palestina telah di bawah kekuasaan Turki (Ottoman) sejak tahun 1453. Karena Turki menjadi sekutu Jerman pada Perang Dunia Ke-1, Inggris telah menyerangnya dari Mesir dan melalui wilayah Palestina. Zaman itu penuh drama. Jenderal Inggris, Edmund Allenby merebut Yerusalem dari Turki. Pada waktu Perang Dunia menuju kesudahannya, Palestina dinyatakan sebagai Wilayah Perlindungan Inggris. Karena itu, Inggris harus memutuskan bagaimana cara memerintah wilayah tersebut dan bagaimana mengimplementasi Deklarasi Balfour yang menjanjikan tanah air kepada bangsa Yahudi di Palestina. Pemulangan Yahudi ke Palestina telah kelihatan sebagai solusi terbaik.
Deklarasi Balfour telah memulai proses yang mengubah pemulangan Yahudi dari rintik-rintik menjadi hujan deras sehingga untuk pertama kali dalam 1800 tahun ada gerakan serius untuk pemulangan massal bangsa Yahudi ke tanah Israel. Banyak ahli nubuatan Alkitab telah melihat peristiwa ini sebagai tanda penggenapan berbagai nubuatan Alkitab dan awal dari suatu masa atau suatu abad yang disebut “zaman akhir”.
Walaupun ada banyak orang percaya melihat hal-hal ini sebagai langkah positif yang akan mempercepat kedatangan kembali Yesus, ternyata masih ada sebagian nubuatan tentang Israel dan Yahudi yang belum digenapi. Di samping itu, Setan pun tidak senang untuk nubuatan-nubuatan itu digenapi karena itu adalah tanda bahwa kekalahan akhirnya mendekat. Oleh karena itu dia juga turut aktif agar semuanya ini tidak terjadi. Sejak waktu itu damai sudah diambil dari dunia. Perang dan terorisme terjadi di berbagai tempat. Namun Setan tidak akan mampu menghalangi rencana Yesus dan Dia pasti akan kembali tepat waktunya. Yang penting adalah bahwa kita adalah siap untuk menyambut Yesus waktu Dia kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar